Kaskus

News

god.romushaAvatar border
TS
god.romusha
Kasus Rasisme Marak Jelang Pilpres AS 2020, Bakal Jegal Donald Trump?
Sekitar 2.000 orang mengenakan masker dengan setelan rapi hadir di halaman selatan Gedung Putih, Washington D.C. Mereka menantikan sang calon presiden Amerika petahana melangkahkan kaki ke atas mimbar untuk menyampaikan pidato di Konvensi Nasional Partai Republik (RNC) 2020.

Itu adalah malam besar bagi Donald Trump. Kamis, 27 Agustus 2020 adalah saat di mana ia secara resmi menerima pencalonan sebagai presiden dari Partai Republik.

Istri, anak-anak, menantu hingga cucu juga ikut tampil. Di awal-awal pidato bahkan ia langsung memuji First Lady dan anak emasnya Ivanka Trump.

Dengan penuh keyakinan Donald Trump menyerang lawan politiknya Joe Biden. Ia menyebut kemenangan Biden hanya akan memperburuk krisis yang mengepung Amerika Serikat.

"Ia bukanlah penyelamat Amerika," ujar Trump.

"Jika diberi kesempatan, dia akan menjadi perusak kejayaan Amerika Serikat," tambahnya.

Pidato selama kurang lebih 70 menit itu ditutup dengan sorak-sorai pendukung dan pesta kembang api. Lanturan musik dan lagu "Hallelujah" karya Leonard Cohen juga dimainkan oleh band Opera secara live.

Padahal, di luar sana publik AS tengah bersiap untuk demo. Para pengunjuk rasa anti-rasisme berencana akan membanjiri jalanan di ibu kota AS pada Jumat 28 Agustus, setelah penembakan yang dilakukan seorang polisi kulit putih terhadap warga Amerika keturunan Afrika, Jacob Blake.

Kejadian tersebut telah mengobarkan kembali kemarahan atas kekerasan polisi dan memicu gerakan boikot dari seluruh dunia. Isu ini juga digunakan kubu lawan politik Trump, Joe Biden yang terlebih dahulu telah menyampaikan pidato dalam Konvensi Nasional Partai Demokrat.

Mantan Wakil Presiden di era Barack Obama itu menyampaikan kritik keras seputar isu rasisme yang ia anggap telah disepelekan Donald Trump.

Dalam beberapa waktu terakhir, kasus rasisme menyedot kemarahan warga Amerika Serikat dan dunia. Sebut saja kasus kematian George Floyd dan terbaru Jacob Blake yang menggambarkan krisis rasisme di negara tersebut.

"Seorang presiden yang tidak bertanggung jawab, menolak untuk memimpin, menyalahkan orang lain, diktator, dan mengobarkan api kebencian dan perpecahan. Ia akan selalu yakin pada pemikirannya dan bukan tentang Anda (warga AS)," ujar Biden demikian dikutip dari CNBC.

"Itukah Amerika yang Anda inginkan untuk keluarga dan anak-anak Anda?"

"Saya melihat Amerika yang berbeda. Yang murah hati dan kuat. Tanpa pamrih dan rendah hati."

Calon presiden dari Partai Demokrat itu terus menyuarakan isu rasial, ekonomi dan sosial. Donald Trump pun menanggapinya dengan mengatakan, "di Konvensi Nasional Demokrat, Joe Biden dan partainya berulang kali menyerang dan menyebut AS sebagai tanah ketidakadilan rasial, ekonomi, dan sosial," seperti dikutip dari CNN.

"Jadi malam ini, saya mengajukan pertanyaan yang sangat sederhana: Bagaimana Partai Demokrat bisa meminta untuk memimpin negara ketika mereka menghabiskan begitu banyak waktu untuk menghancurkan negara kita?"

Lalu, dampak apakah yang akan terjadi akibat isu rasisme kian menyulut kemarahan warga AS. Mengingat pemilihan presiden kurang lebih tiga bulan dari sekarang, siapakah yang diuntungkan atau bahkan dirugikan dari situasi ini?

Perbesar
Infografis Penembakan Jacob Blake Picu Kerusuhan Rasial. (Liputan6.com/Triyasni)

Kasus-kasus rasisme ini terjadi jelang pemilihan presiden pada November mendatang. Hal ini menimbulkan perdebatan tentang masa pemerintahan petahana Donald Trump dan kompetensi Joe Biden jika terpilih.

Menurut pemerhati politik Amerika Serikat Didin Nasirudin, isu rasisme belum tentu bisa menjauhkan Donald Trump dari kekuasaan. Belum lagi demontrasi Black Lives Matter bisa membuat pemilih jadi antipati terhadap gerakan tersebut dan akhirnya malah simpati kepada pemerintahan Donald Trump.

Hal itu justru bisa menguntungkan Donald Trump, sebab salah satu kunci kemenangan pilpres AS adalah pemilih moderat yang tidak condong ke Partai Demokrat atau Partai Republik.

"Kalau misalnya demo itu semakin tidak terkontrol, artinya semakin radikal, akhirnya kelompok moderat jadi antipati," jelas Didin kepada Liputan6.com, Jumat (28/8/2020).

Selama ini, Donald Trump berpihak pada polisi lewat narasi "law and order" ketika ada demonstrasi beberapa bulan terakhir. Donald Trump juga mendapat dukungan politik dari asosiasi polisi di New York.

Namun, Didin menilai isu terkuat saat ini adalah ekonomi dan COVID-19. Jika Donald Trump berhasil dalam dua aspek itu, maka peluang ia terpilih semakin kuat.

Ukuran yang dipakai Didin adalah Misery Index (Indeks Kesengsaraan) di Amerika Serikat. Indeks itu mengukur tingkat inflasi dan pengangguran. Jika indeks itu melewati angka sembilan persen, maka presiden akan kesulitan terpilih.

Itu sempat terjadi pada periode Presiden Jimmy Carter ketika Misery Index di pemerintahannya jebol hingga 16 persen. Skor indeks Trump saat ini sudah di atas sembilan persen dalam tiga bulan terakhir.

"Semakin kecil Misery Index pada tahun pemilihan semakin besar peluang capres petahana untuk terpilih kembali. Misery Index AS periode Januari - Maret 2020 rata2 sekitar enam persen; pada April - Juli rata-rata sekitar 13,5 persen," ujar Didin.

Pilpres AS adalah pada November mendatang, sehingga Presiden Trump masih punya kesempatan memperbaiki Misery Index miliknya. Jika vaksin COVID-19 berhasil dan pengangguran menurun, maka hal itu bisa membawa dampak positif ke kampanye Donald Trump.

Saat ini, total kematian COVID-19 di AS sudah mencapai 180 ribu orang. Bulan lalu, tingkat pengangguran terpantau turun hingga 10,2 persen, namun masihi lebih tinggi ketimbang sebelum pandemi.

Baca Juga

George Floyd hingga Jacob Blake, Deretan Kasus Rasisme Jelang Pilpres AS 2020
Buntut Penembakan Jacob Blake, Masyarakat AS Bersiap Unjuk Rasa di Washington D.C
Penembak 2 Demonstran Kasus Jacob Blake Hadapi Banyak Dakwaan di Pengadilan

Senada dengan Didin Nasirudin, Ketua Indonesian Institute of Advanced International Studies (INADIS) Suzie Sudarman, yang sempat dihubungi oleh Liputan6.com beberapa waktu lalu saat kematian George Floyd ramai diperbincangkan, juga memiliki penilaian yang sama terkait peluang Donald Trump.

Ia menilai, rentang waktu hingga ke hari pemilihan presiden AS masih sangat lama. Dalam masa itu, berbagai macam hal bisa dilakukan para calon dan pendukungnya untuk mendongkrak elektabilitas.

"Di Amerika Serikat, rentan waktu dari Juni hingga November 2020 nanti seperti seabad. Manipulasi bisa kapan saja terjadi," ujar Suzie yang juga pengajar Ilmu Hubungan Internasional di Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Indonesia ini.

"Manipulasi dari pihak asing seperti Rusia yang menggelorakan sayap kanan Amerika Serikat dan pendekatan orang-orang kaya yang pro akan Trump bisa membuat situasi berubah," tambahnya.

Terkait dengan manuver politik yang dilakukan Joe Biden, menurut Suzie, sosok Biden berbeda jika dibandingkan dengan Barack Obama ataupun Berny Sander.

"Obama pada masa kampanyenya memberikan pengharapan. Biden kurang atraktif. Sebab, warga AS jauh lebih tertarik pada orang yang atraktif," jelas Suzie.

Berny Sander juga dinilai Suzie sebagai sosok yang sebelumnya bisa menggaet kaum milenial. Ia pernah menekankan pada Pilpres 2016 bahwa rakyat AS harus bangkit, rakyat berhak menuntut asuransi.

"Warga AS itu hidupnya sudah terlalu nyaman. Jika isu pengangguran masih terjadi sampai November, maka Donald Trump bisa saja kalah," Suzie memungkasi.


2 dari 5 halaman
Pendukung Donald Trump Tak Lagi Setia?
FOTO: Penembakan Jacob Blake Picu Kerusuhan di Amerika Serikat
Perbesar
Polisi berusaha untuk mendorong kembali pengunjuk rasa di luar Gedung Pengadilan Kenosha, Wisconsin, Amerika Serikat, Senin (24/8/2020). Protes dipicu oleh penembakan Jacob Blake oleh petugas polisi Kenosha sehari sebelumnya. (AP Photo/David Goldman)

Terlepas dari kaitan dengan pemilu, isu rasisme semacam ini sejatinya telah mengakar di Negeri Paman Sam sejak dulu. Menurut sejarah, orang kulit hitam atau kerap disapa sebagai Afrika-Amerika awalnya dibawa untuk diperbudak dan dijual. Hal tersebut merupakan fakta yang tidak dapat dipungkiri lagi dari sejarah AS.

Hal tersebut disampaikan oleh Amisha Cross, salah satu panelis dalam sesi diskusi virtual bersama FPCI pada Jumat (28/8/2020).

Bahkan setelah Barack Obama terpilih sebagai presiden beberapa waktu lalu, imbuhnya, masalah rasisme di negara tersebut tidak dapat serta merta menghilang begitu saja.

"Dengan terpilihnya Barack Obama sebagai presiden kulit hitam pertama di Amerika Serikat, tidak membuat kekerasan atau kebrutalan polisi terhadap warga kulit hitam hilang begitu saja. Aksi protes yang terjadi saat ini sesungguhnya telah berlangsung selama lebih dari satu dekade, di mana orang-orang melakukan unjuk rasa sambil menuntut kesetaraan dan keadilan."

Amisha menambahkan, tidak heran jika isu ini suatu saat akan meledak pada puncaknya, tepat seperti apa yang terjadi belakangan ini.

Intinya, ia menyampaikan bahwa Amerika Serikat hanya membutuhkan pemerintahan yang benar-benar dapat menerima dan mendengarkan keluh kesah hingga rintihan warganya, terlepas siapa yang akan menjadi presidennya.

Panelis lainnya, Bob Blake menambahkan bahwa sejauh ini pemerintah AS terkesan seperti menambahkan bahan bakar ke api yang sedang berkobar.

Hal itu lantaran dikirimnya pasukan garda keamanan ke jalan-jalan yang dinilai bakal menambah tensi di tengah protes. Hal ini yang kemudian jadi dasar dimana para petugas atau otoritas keamanan bertindak semena-mena dan apa yang terjadi selama ini merupakan suatu hal yang memang seharusnya terjadi.

Sementara itu, ada juga pandangan berbeda tentang peluang Donald Trump di pilpres tahun 2020. Walaupun memasuki masa kepemimpinan yang kedua jika terpilih, jalan Donald Trump menuju posisi dinilai tidaklah mulus. Para pendukungnya di tahun 2016 dinilai tak lagi memiliki pandangan yang sama terhadapnya. Ia dianggap akan kehilangan para pendukungnya pada pemilu sebelumnya.

Dalam diskusi terbuka bertajuk US Update: America at The Crossroad 2020 yang diadakan oleh FPCI dan dimoderatori oleh CEO Dino Pati Djalal, salah satu panelis yakni Paxton Baker menilai bahwa setiap presiden memiliki segmen populasinya masing-masing. Ia memberi gambaran ketika mantan Presiden Barack Obama didukung oleh rakyat kulit hitam di AS atau ketika Hillary Clinton didukung oleh lebih dari tiga juta warga AS kala itu.

"Saya rasa pernyataan itu bisa dikatakan benar di satu sisi namun juga tidak di sisi yang lain," ujar Baker.

Sedangkan panelis lainnya yang juga hadir dalam diskusi virtual tersebut, yakni Bob Blake menilai bahwa Presiden Donald Trump terpilih karena sejumlah alasan yang berbeda.

Blake menyampaikan bahwa posisi Trump akan terlihat lebih sulit kali ini lantaran ia telah menjabat selama empat tahun sebelumnya di posisi tersebut. Sedangkan Joe Biden hadir sebagai orang baru yang belum dikenal banyak orang dalam memegang jabatan tersebut.

Blake menyatakan bahwa Trump akan membutuhkan upaya lebih untuk menarik pendukung, mengingat berbagai hal yang telah terjadi selama masa kepresidenannya sebelumnya.
poseidon57Avatar border
poseidon57 memberi reputasi
-1
444
19
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan