Kaskus

Story

triyuki25Avatar border
TS
triyuki25
Hantu Di Rumah Gadang
Hantu Di Rumah Gadang



Blurb:

Datuak Paduko Rajo memiliki 3 orang anak. Dua perempuan, satu laki-laki. Anak tertua Marini, Kedua Emawati dan yang ketiga Zainuddin bergelar Sutan Marajo.

Datuak Paduko Rajo sudah berusia 75 tahun dan sedang sekarat. Sebelum ajal menjemput, dia memberikan wasiat kepada anak-anaknya. Wasiat yang tidak boleh dilanggar.

Namun, manusia selalu buta kalau sudah bersinggungan dengan harta. Ketiga anaknya pun berebut warisan sehingga berencana saling membunuh.

Bagaimana kisah ini bergulir?

Bismillah.

Selamat membaca:



1. WASIAT

Siapkah kalian membaca cerita ini? Jika tidak siap, aku sarankan untuk tidak membacanya. Karena cerita ini telah dikutuk.
Ingat! Kalian telah diperingatkan!


***

"Sebelum aku mati, ada beberapa hal yang harus kalian tahu, anak-anakku. Wasiat yang kutinggalkan, jangan sampai kalian langgar. Jika kalian tidak mematuhinya, maka hidup kalian berada dalam bahaya." Lelaki tua bergelar Datuak Paduko Rajo itu menatap anak-anaknya yang terdiri dari dua perempuan dan satu laki-laki. Perempuan tertua bernama Marini, 35 tahun, perempuan kedua, Emawati, 30 tahun, dan yang terakhir laki-laki, 25 tahun, Zainuddin bergelar Sutan Marajo.

Datuak Paduko Rajo menghela napas sejenak, merasakan rasa sakit yang menggumpal di dadanya. Usia yang sudah lanjut membuatnya kian rapuh, tapi sorot mata yang ia pancarkan tetap penuh aura tajam dan membuat siapa pun tidak berani menatapnya lama. Seperti yang diperlihatkan anak-anaknya. Mereka bertiga menunduk takzim.

"Dengarlah apa yang akan aku sampaikan ini. Bisa saja nyawaku lepas dari badan setelah semua urusanku selesai. Semakin cepat kalian tahu, semakin mudah kematianku. Engkau, Sutan! Mendekatlah!" Tangan tuanya melambai pelan. Sutan Marajo menggeser badannya ke sisi tempat tidur. Matanya menatap wajah ayahnya sejenak, lalu kembali merunduk.

"Ketahuilah, Sutan. Engkau satu-satunya anak lelaki yang aku miliki. Engkau adalah mamak diRumah Gadang. Anak dipangku, kemenakan dibimbing, jangan sampai engkau lupakan. Jaga martabat kaum dan keluarga. Harga diri keluarga adalah segala-galanya. Semua harta pusaka jangan pula engkau jual-jualkan. Melarat hidup engkau dan keluarga engkau. Tolong-tolong jugalah kakak-kakak engkau. Inilah wasiatku untuk engkau, Sutan. Aku tinggalkan sebidang tanah, yang bukan tanah ulayat. Lokasinya tentu engkau sudah tahu, di Balai Raba'a. Engkau dirikanlah kedai atau apa pun yang bisa engkau jadikan tempat usaha. Semoga saja berkah hidup kau, Sutan." Datuak Paduko Rajo kembali memegang dadanya, berusaha meredam rasa nyeri yang tiba-tiba datang menyerang.

"Ayah ...." Sutan Marajo memegang lengan lelaki tua itu. "Janganlah Ayah memaksakan diri. Ambo pasti akan jaga apa yang patut. Tidaklah akan ambo biarkan arang tercoreng. Tentu juga tidak perlu Ayah risaukan segala harta pusaka dan Uni-uni ambo. Selagi ada napas di badan, ambo akan siap siaga dengan segala keadaan."

Mata mereka sesaat saling bersitatap. "Engkau sudah berjanji, Sutan. Peganglah layaknya lelaki." Sorot mata Datuak Paduko Rajo jelas mencerminkan keraguan. Tampak sekali kalau ada yang mengganjal di hatinya.

"Ambo janji, Ayah." Mata Sutan Marajo terasa panas. Dia yakin, masa itu kian dekat. Genggaman tangannya di tangan ayahanda kian kuat.

"Kalian anak-anak perempuanku. Mendekatlah." Suara Datuak Paduko Rajo mulai terdengar pelan. Marini dan Emawati segera mendekat, sementara Sutan Marajo pindah ke belakang. "Anak-anakku. Rasanya aku semakin tidak sanggup untuk berpanjang-panjang kata. Masing-masing kalian sudah kubuatkan surat. Bacalah nanti setelah 7 hari kematianku."

Kedua perempuan itu saling pandang. Keheranan jelas tergurat di wajah masing-masing. Namun sebelum sempat mereka bertanya, Datuak Paduko Rajo melenguh kencang. Dadanya terasa sangat sakit. Napasnya megap-megap.

"Ayaaah!" Mereka bertiga serentak memburu tubuh yang sedang kesakitan itu. Mata Datuak Paduko Rajo membelalak. Seolah-olah dia melihat hantu. Wajahnya yang sudah pucat semakin pucat. Tangannya terulur ke atas, seolah-olah menunjuk sesuatu di langit-langit rumah.

Sutan Marajo dan kakak-kakaknya menoleh ke arah yang ditunjuk, tapi yang terlihat hanyalah kegelapan. Ketika mereka kembali menatap Datuak Paduko Rajo, mereka serentak menjerit.

"Ayaaah ...!"

TBC ....
bukhoriganAvatar border
ariefdiasAvatar border
Atlantik ThaherAvatar border
Atlantik Thaher dan 3 lainnya memberi reputasi
4
956
15
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan