Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

Astri.zeeAvatar border
TS
Astri.zee
Karena Anakku Sempurna
Karena Anakku Sempurna

Katanya anak adalah anugerah terindah, pelipur lara di kala susah, mengganti penat menjadi senyum semringah. Namun, bagaimana jika kehadirannya justru membawa masalah?

Aku tidak tahu apa yang salah. Tidak mengerti kenapa keturunan kami bisa seperti ini. Yang jelas, dari awal kemunculannya hidupku tak lagi sama.

Masih terekam jelas dalam kepala ketika aku harus menjalani operasi demi melahirkan bayi itu. Bayi yang menurut perhitungan belum saatnya lahir, tapi entah kenapa memaksa keluar. Ya, bayiku terlahir prematur.

Untuk ukuran keluarga sederhana yang hanya mengandalkan gaji suami, tentu operasi seperti itu berarti banyak buat kami. Tabungan ludes, bahkan harus meminjam uang guna rawat jalan. Entah apa yang salah, bayi mungil itu tak menangis saat dilahirkan, bahkan tak menunjukkan gerakan apa pun. Hanya helaan napasnya saja yang menandakan bahwa dia bernyawa.

Selayaknya bayi pada umumnya, para tetangga dan saudara menjenguk, mendoakan yang terbaik. Semoga menjadi anak saleh, semoga sehat, semoga berbakti pada orang tua. Aku, tentu saja mengaminkan dengan sepenuh hati. Berharap doa-doa baik itu diijabah Ilahi.

Namun, keoptimisan itu perlahan berubah jadi pesimis. Pikiran-pikiran negatif menyambangi otak. Bayangan buruk meracuni kepala. Hingga usia enam bulan, anakku belum bisa apa-apa. Tidak menangis, tidak merengek, bahkan tengkurap pun tidak. Dia seperti boneka bernyawa.

Dan selentingan itu mulai terdengar. Bisik-bisik para tetangga yang berupa cemoohan dan gunjingan.

“Anaknya kok anteng aja, ya?”

“Liat deh, mulutnya melongo gitu?”

“Disabilitas, deh, kayaknya.”

“Autis kali.”

Kalimat-kalimat bisikan tapi masih bisa tertangkap telinga dari mereka. Ucapan yang meski tidak secara langsung tertuju kepadaku, tapi berdampak pada ketahanan mental. Lalu menimbulkan tanda tanya besar di kepala, benarkah demikian adanya? Benarkah anakku tidak normal?

Pertanyaan-pertanyaan itu terjawab oleh dokter. Dia mengatakan bahwa anakku spesial, IQ-nya tidak sama dengan anak-anak umum lainnya. Itulah kenapa perkembangannya lebih lambat.

Jika anak lain mampu berjalan sebelum dua tahun, maka anakku membutuhkan waktu lebih banyak dari itu. Pun bicara, hingga usianya nyaris tiga tahun belum jelas apa-apa yang diucapkan. Bahkan sekadar menyebut ibu saja, dia tidak bisa.

“Ibuuu.” Aku berkata di depan wajahnya. Berharap dia mengikuti gerakan bibirku. Lantas mengucapkan satu kata itu. Satu kata yang aku yakin sangat didamba oleh semua orang tua.

“I-buu ... ayo, sayang, ikutin ibu, sayang, bilang ibuuu ... ibuuu.”

Netraku memanas, tak kudapati respons berarti darinya. Sungguh, andai mampu aku ingin tahu kata hatinya, mungkin di dalam sana sebenarnya dia sudah mengatakannya.

Sentuhan lembut di pipi membawa kembali kesadaranku. Tangan mungil itu menyentuhku. Hal yang justru membuat bendunganku jebol. Air mata menetes deras, mengalir di sepanjang pipi. Kapan kamu akan seperti yang lain, Nak?

***

“Uang dari mana, Bu?”

Kalimat bernada protes itu keluar dari mulut suamiku. Wajah lelahnya seketika tertekuk saat aku lontarkan ide untuk membawa anak kami ke ahli terapi.

“Ibu, kan, tau, utang yang buat operasi aja belum sah!” sungutnya lagi.

“Tapi, kata dokter, dedek perlu diterapi, Pak, supaya lancar bicara.”

Cangkir di atas meja yang sudah diangkat, diletakkannya lagi dengan sedikit kasar. “Iya, tapi gak sekarang! Lagian kamu, kan, juga bisa ngajarin dia dulu! Nganggur ini!”

Netraku membeliak. Rasa panas merambati rongga dada. Haruskah aku terangkan padanya keletihanku selama ini? Haruskah aku jabarkan apa saja yang telah aku lakukan?

Aku menarik napas panjang, mengeluarkannya lewat mulut perlahan. Berharap bisa sedikit bersabar. Lantas berujar, “Kamu gak liat tiap hari aku ngajarin dia ngomong sampe berbusa?”

“Ya udah, sabar dikit. Makanya jadi ibu tuh yang bener!”

“Maksud kamu apa?!” Emosiku kembali menggelegak.

“Harusnya kamu bisa jaga kandungan biar gak terlahir prematur! Biar gak usah operasi! Biar gak kayak gin—”

“Kamu nyalahin aku!” salakku, memotong ucapannya. “Harusnya tuh kamu yang benerin diri! Sholat jangan sampai bolong, kalau gak disuru—”

“Gak usah bawa-bawa sholat!” Lelaki itu menggebrak meja, membuatku berjengit dan berhenti bicara. “Kamu kan, gak tau capeknya kerja!”

Sedianya aku akan kembali melancarkan balasan, tapi bunyi benda jatuh lebih dulu menginterupsi. Tanpa disadari, anak kami menyenggol cangkir di atas meja, membuatnya pecah berantakan.

Aku buru-buru menghampirinya. Menjauhkan dari tumpahan air, dan pecahan cangkir.
Sementara suamiku berlalu pergi sembari berucap, “Urusin tuh anak kamu!”

Tenggorokanku tercekat, hasrat untuk menangis teramat hebat. Aku memeluk tubuh mungil itu erat. Iya, Nak, kamu memang anakku. Anakku yang hebat. Yang tahu bagaimana mendamaikan orang tua meski dengan cara berbeda. Yang tahu bagaimana menenangkan ibunya meski hanya lewat sentuhan tangan seperti ini.

Aku menggenggam telapak mungil yang semula bertengger di pipi itu, mengecupnya lama. Lantas menatapnya lekat. Ekspresi itu mungkin memang terlihat berbeda. Ekspresi yang kata orang seperti tampang idiot. Namun bagiku mendamaikan.

***

Anakku genap berusia empat tahun hari ini. Jalannya belum terlalu lancar, kadang jatuh karena keseimbangan yang kurang. Sudah ada beberapa kata yang bisa dia ucapkan setelah ikut terapi. Meski belum jelas menyebut kata ibu, tapi aku cukup senang karena setidaknya dia sudah bisa memanggilku.

Sore ini, kami bertiga tengah duduk menikmati waktu santai. Sembari aku menyuapi si kecil. Makanannya masih bubur halus karena belum bisa makan nasi. Pun cara makannya masih belepotan seperti bayi. Itulah kenapa aku tak membawanya keluar rumah. Pandangan penuh penilaian dari orang-orang seolah jijik tiap kali melihat anakku membuatku memilih menghabiskan waktu di dalam rumah.

Suara adzan Maghrib terdengar dari pengeras suara di Masjid desa. Tiba-tiba anakku tak mau lagi disuapi, dia justru bangkit berdiri. Aku membantu menegakkan tubuhnya yang kepayahan menyeimbangkan diri itu.

“Dedek mau ke mana?” tanyaku.

“Aa! Han-na!” Tangannya menunjuk keluar.

“Ini udah Maghrib, Sayang.”

Melepas tanganku, dia justru berpindah ke dekat bapaknya. Menggandeng tangannya sedikit paksa. Lantas berceloteh tak jelas yang aku asumsikan sebagai tanda meminta bapaknya berdiri.

Awalnya, suami tak mau. Tapi setelah aku memelas, ditambah si kecil yang terus merengek, akhirnya dia mau juga. Mereka berjalan bergandeng tangan menuju keluar. Sementara aku mengikuti dari belakang.

“Mau ke mana sih, Dek?” protes suamiku sepanjang perjalanan yang ditanggapi dengan celoteh tak jelas dari si kecil. Bocah lelaki itu terus memaksa jalan sembari menunjuk-nunjuk ke depan.

Lalu ketika bangunan itu terlihat, aku tak kuasa menahan gejolak di dada. Haru, bahagia, rasanya tak mampu kujabarkan keadaan hati ini. Apalagi ketika kaki-kaki kecil itu melangkah masuk ke dalam dengan menyeret bapaknya.

Air mataku berlinang, nyaris sesenggukan andai tidak aku bekap mulut ini dengan telapak tangan. Ingin rasanya aku teriakan pada dunia tentang anak disabilitas mana yang mampu membawa bapaknya menuju masjid? Bagaimana disebut ber-IQ rendah jika kemampuannya mengingat Tuhan justru lebih besar dari kami yang katanya normal?

Karena anakku sempurna.

End

Sumber gambar: pixabay.com

ummuza
lumut66
pang5biru
pang5biru dan 13 lainnya memberi reputasi
14
1.4K
29
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan