- Beranda
- Komunitas
- Food & Travel
- Outdoor Adventure & Nature Clubs
Belajar dari Gunung Lawu : Keindahan yang penuh Pantangan


TS
irfanhidayat234
Belajar dari Gunung Lawu : Keindahan yang penuh Pantangan
Tepat pukul 02.00 malam menjelang pagi, saya bersama seorang teman tiba di Basecamp pendakian Gunung Lawu via Cemoro Sewu. Suhu dingin kecamatan Tawangmangu yang menyentuh tulang menyambut kedatangan kami berdua. Riuh angin, pecikan gerimis, serta kabut lembut menjadi pertanda bahwa kami sudah berada di ketinggian hampir dua ribu meter di atas permukaan laut. Saya merebahkan badan perlahan, mengembalikan energi yang terkuras setelah perjalanan menggunakan sepeda motor selama empat jam dari Yogyakarta menuju Basecamp yang berada di Kecamatan Plaosan, Kabupaten Magetan, Jawa Timur.
Pendakian kali ini saya memilih Gunung yang dikenal angker di pulau Jawa, terutama di kalangan para pendaki gunung. Kecintaan saya terhadap kegiatan mendaki gunung serta rasa ingin tahu saya terhadap hal-hal baru membuat saya “gatal kaki” untuk berjalan menyusuri gunung yang dipenuhi oleh keindahan dan pantangan ini. Meski sudah tidak aktif lagi, Gunung yang terakhir erupsi 28 November 1885 ini masih menyimpan banyak misteri dan mitologi. Sehingga banyak pantangan yang harus dihormati oleh para pendaki jika hendak mendaki Gunung Lawu.
Dalam Ensiklopedi Adat-istiadat Budaya Jawa (2007) karya Purwadi, Gunung Lawu merupakan tempat bersemayamnya Prabu Wijaya V (1468-1478), yang merupakan raja terakhir kerajaan Majapahit. Brawijaya V adalah ayah kandung Raden Patah (1475-1518) yang mendirikan Kesultanan Demak yang merupakan Kerajaan Islam pertama di Jawa. Oleh Kerajaan Demak itu pula Kerajaan Majapahit diruntuhkan.
Menurut Purwadi, Gunung Lawu dijadikan tempat melarikan diri Brawijaya V kala terjadi peperangan besar antara Kerajaan Keling (Kediri) dengan Kerajaan Majapahit sekaligus menghabiskan hidupnya sebagai pertapa. Adapula yang menyebutkan bahwa alasan Brawijaya V menyepi di Gunung Lawu ialah karena firasat burung tentang Majapahit yang akan mengalami keruntuhan dan tak bisa diselamatkan. Selain itu, perasaan gelisah karena sang anak (Raden Patah) memeluk Islam dan mendirikan Kerajaan di Demak.
Setelah selesai melakukan registrasi dan membayar simaksi, kami pun melakukan pendakian. Tepat menjelang pukul 11.00 siang, ditemani terik matahari dan hamparan bunga Edelwiss yang sangat indah, kami sampai di Sendang Derajat (salah satu sumber mata air di Gunung Lawu). Kala itu langit sangat cerah dan lautan awan memanjakan mata seolah menjadi jamuan berharga yang dipersembahkan Braijaya V bagi para tamu yang hadir di patilasannya. Di sisi lain, banyaknya dupa dan sesajen di setiap tempat yang dianggap sakral oleh masyarakat setempat menandakan bahwa Gunung Lawu sangat kental akan mitologinya.
Kesakralan Gunung Lawu merupakan suatu hal yang harus dihormati oleh setiap orang yang hendak mendakinya. Sehingga, para pendaki yang mendaki Gunung ini harus mematuhi pantangan-pantangan yang ada. Pantangan tersebut seringkali dihubungkan dengan keselamatan para pendaki ketika hendak menuju puncak bahkan selama berada di Gunung ini.
Pantangan-pantangan yang ada di Gunung Lawu di antaranya ialah dilarang mengucap kata-kata mengeluh, dilarang mengganggu atau membunuh kupu-kupu hitam dengan bulatan biru di kedua sayapnya, dilarang memakai baju hijau, dilarang mendaki dengan rombongan ganjil, dan dilarang melawan kabut dingin.
Secara sekilas, pantangan-pantangan tersebut memang tidak masuk akal. Namun, sebagai seorang tamu yang berkunjung ke tempat orang, kita harus bersikap menjadi tamu yang baik bagi tuan rumah. Terlepas dari percaya atau tidak terhadap pantangan dan mitologi kental yang ada, menghormati dan mematuhi pantangan tersebut bukanlah merupakan suatu kerugian. Karena di gunung manapun, mitos dan pantangan pasti selalu ada dan menjadi satu hal yang harus kita hormati ketika kita hendak mendaki gunung.
Rasa lelah dan panasnya terik matahari siang itu terbayar oleh keindahan puncak Hargo Dumilah (3265 MDPL). Lautan awan yang beriringan membentuk samudera, hamparan sabana yang luas, dan bunga Edelwis yang sangat memanjakan mata membuat saya lupa akan semua rasa lelah yang saya tempuh selama 6 jam pendakian. Seperti di Sendang Drajat, di puncak Hargo Dumilah pun terdapat banyak sesajen dan dupa yang diletakan masyarakat tepat dibelakang tugu puncak Lawu. Bertanda bahwa, meskipun kita sudah menginjakkan kaki di puncak, kita tetap harus menjaga dan menghormati pantangan yang ada.
Selain sebagai objek pendakian, Gunung Lawu juga sering digunakan tempat berziarah oleh masyarakat sekitar dan orang-orang yang memiliki kepentingan spiritual. Menurut salah satu pedagang di Pos 4 Gunung ini, para penziarah biasanya mendaki Gunung Lawu setiap malam 1 Suro (1 Muharram) untuk melakukan ritual kepercayaan. Domisili orang-orang yang berziarah pun bermacam-macam, ada yang dari Kudus, Demak, Probolinggo, bahkan Jawa Barat.
Di tengah mitos dan berbagai kesakralannya, Gunung Lawu tetap menjadi salah satu tujuan para pendaki. Berbagai kisah gaib, misteri, mitos, dan pantangan-pantangan yang ada mengajarkan kita untuk selalu menghargai dan menghormati setiap kepercayaan yang ada di masyarakat. Percaya tidak percaya, setuju tidak setuju, kembali ke pribadi masing-masing. Karena mendaki gunung bukan soal kebanggan diri telah menaklukan puncak, tetapi bagaimana kita bersikap dan berprilaku sepanjang pendakian. Karena itu ada istilah tentang pendaki yang baik adalah mereka yang bisa menjadi tamu yang baik.
Gunung Lawu mengajarkan kita untuk selalu memperhatikan nilai-nilai yang ada di masyarkat. Dalam setiap kehidupan bermasyarakat, selalu ada adab dalam berprilaku, bersikap, dan bertindak. Hal itu diperlukan supaya kita bisa tetap hidup damai dan tenang menjalani kehidupan. Begitu juga Gunung Lawu, banyak pantangan yang harus dihormati selama pendakiannya. Tetapi itu semua terbayar lunas oleh keindahan alam yang disajikannya.
0
581
1


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan