Kaskus

Story

Iqiramadan21Avatar border
TS
Iqiramadan21
Cerita Pendek (Cerpen) Tema "KEKUATAN TAKDIR"
Hai agan, siang ini saya akan share contoh cerita pendek karya saya sendiri, no copas-copas. Cerita pendek ini mengisahkan sebuah cerita yang bertema Takdir, penasaran ceritanya yuk simak selengkapnya.

Lukisan mangata, riakan ombak, dan siulan kapal mengiringi kepergianku bersama ibu, meninggalkan yang nanti akan kukenang sebagai masa lalu. Entah di situasi bahagia atau sebaliknya, akan tetapi kita tetap optimis menjalankan kehidupan dan membiarkan Tuhan yang menyetujui jalannya. Pelukan hangat ibu, buat aku terlelap lemah di pangkuannya yang jadi tegar dengan semua yang menimpanya. Di malam itu, kita bersandar menutup mata di kapal laut yang berjalan ke tempat yang akan dijalani.

Suhu semakin mendingin, hantaman ombak pada karang menyadarkan tidur ibuku, dan mengatakan jika kita telah tiba di dermaga yang penuh dengan kerlap-kerlip urban.

"Nak, kita sudah sampai, ayo bangun," kata ibu menggoyangkan tubuhku.

Aku terbangun dan ibu berkata lagi, "Sekarang, ayo kita Shalat subuh dulu, habis itu kita pergi ke tempat Ibu akan bekerja," ajak ibu mendudukkan tubuhku.

Mataku masih menikmati kantuk, tapi apalah daya aku harus terbangun dan pergi bersama ibu dari kapal ini. Kugosoki mataku, kuhirup dalam-bau pantai yang amis, dan tubuh mulai cukup segar untuk berjalan.

Arunika mulai terlihat, selepas menjalankan Shalat subuh di sebuah mesjid, kini kita sedang berjalan di pinggir jalan, dihempas angin kendaraan yang masih melaju kencang.

Sebuah rumah besar terpampang di pinggir jalan setelah berjalan sekitar satu kilo dari dermaga.
"Assalamualaikum ..." sahut ibuku.
"Waalaikumsalam ... eh, ini dengan ibu ...," balas ibu pemilik rumah dengan kalimat negosiasi, mungkin meminta izin ibuku.

"Siti Bu," potong ibuku cepat.
"Oh iya, ayo masuk Bu," ajak seseorang wanita yang serba serba glamor.
"Eh kenapa berdiri, ayo duduk Bu, pasti ibu sudah capek di perjalanan," katanya sembari membawa dua gelas teh dan stoples kue dari dapur.

"Maaf Bu, baju saya kotor, saya tidak berani duduk di kursi megah nan bersih ini," ujar ibuku sambil tersenyum.
"Oh, enggak papa Bu, ayo duduk, minta diminum dulu," tawarnya kepada kami.

Kemudian kami duduk dengan malu-malu. "Eh Bu, saya ikut berduka cita atas kepergian suami ibu. Saya bingung siapa lagi mengantar antar jemput, pengurus kebun, dan tukang di rumah ini kalau bukan suami ibu. Makannya saya memilih ibu, memang ibu tidak bisa menjadi pengendara, tetapi ibu bisa membantu Jadi, ibu pilihan yang tepat untuk saya, dan soal sopir, biar nanti saya yang urus, "katanya panjang lebar.

Aku menghela nafas, pertanda ikut senang mendengarkan ucapan perempuan, baya itu dan kulirik ke arah ibu yang sedang tersenyum.
"Terima kasih sebelumnya, dan aku meminta maaf jika aku mau bekerja di sini, banyak sekali yang yang disengaja atau tidak. Oh iya Bu, panggil aku saja Siti Bu," pinta ibuku.
"Ya, sudah aku panggil Saja bi Siti, bolehkan," tanya ibu itu.

"Boleh Bu." Ibu mengangguk.
Setelah berbincang-bincang, kami diajak pergi ke kamar tamu yang terlihat cukup kotor yang mungkin tidak ada yang diperlukan, tetapi kamarnya besar dengan kasur empuknya. sungguh, pemilik rumah ini sangat baik hati, bahkan sampai kamar pembantunya saja layak di acungkan jempol.
"Ini kamar saya Bu?" tanya ibuku terheran.

"Iya, memangnya kenapa, terlalu kecil?" Ibu itu membalik tanya.
"Bukan Bu, tapi ..." ucap ibu memegang.
"Iya saya mengerti, pembantu saya yang dulu juga pernah mengatakan seperti ini, memang kita harus minta tolong, kita juga harus menyediakan fasilitas yang perlu nyaman dan bekerja dengan baik," ujar wanita itu menjelaskan.

"Ya, pasti sekarang ibu bereskan kamar ini senyaman mungkin, setelah itu, ibu boleh mandi atau beristirahat, pasti ibu capek kan di perjalanan, nanti zuhur belanja ke pasar ya, nanti biar aku yang antar. Pasti kan ibu belum tahu daerah sini, dan untuk kamu Tegar, nanti main sama Tyo saja ya, "pungkasnya tinggalkan kami di kamar.
Setahun sudah aku tinggal di rumah mewah ini, semua berjalan normal dihubungi mestinya. Hanya saja aku tak tahan dengan Tyo yang selalu mengusik, kini saja aku sudah kembali aktif sekolahan dulu.

"Masuk!" bentak bu Gadis setuju, ia bisa sekejam ini saat marah.
Kulihat ibu sangat senang melihat aku dijewer dan dikurung di gudang, kakiku juga menjadi sasaran empuk sebuah pecut oleh bu gadis. dari sela-sela pintu, mataku menangis mendengar ibu yang sedang dimarahi oleh bu Gadis.
"Ada apa ini?" Kudengar suara pak Galih datang dari luar.
"Ini Yah, Tegarakkan Tyo sampai jatuh, lihatlah anakmu di kamar, ia sedang di urut," kata bu Gadis menjelaskan. Mendengar itu, pak Galih langsung pergi ke kamar Tyo tanpa sepatah kata pun, dan ibu masih menjadi bahan amarah bu Gadis.

Hari sudah gelap, dan aku masih dikurung tahan rasa lapar dan suhu gudang yang dingin sekali. Tiba-tiba saya melihat bayangan hitam di jendela mondar-mandir ke sana kemari, ditambah cuaca di luar sana sedang hujan, ditambah jepretan-jepretan kilat dan suara guntur. Aku sangat menyukai, bulu kudukku berdiri, sesekali aku mengambil air ludahku dan menggigit keras kerah bajuku. Bayangan itu sekarang diam menghadap ke Arah sini,

"Breng ... Breng ... Breng ..."
Tiba-tiba bayangan itu mengetuk-ngetuk kaca jendela, aku semakin takut saja, tak lama bayangan itu berhenti dan mulai menggerakkan telunjuknya di permukaan kaca, ia menulis beberapa huruf "B - U - K - A - I -N - I - I - I - B - U "yang jika di rangkai menjadi" Buka ini ibu "aku tidak yakin, ditambahkan di saat cuaca sangat buruk seperti ini. Tapi, saat melihat bayangan itu mulai menulis lagi, dengan kalimat yang sama dengan bayangan tangan membentuk hati, yakinlah itu adalah ibu.

Kuseret gorden jendela, dan benar-benar di luar sana ibu sedang menunggu dengan pakaian basah kuyup, menggigil kedinginan. Saat jendela terbuka aku berkata,
"Ibu kenapa di situ?" tanyaku sambil menangis.
"Ini makanan buat kamu Nak, makan semuanya, habiskan." Ibu menyodorkan sebuah kantong berisi makanan.
Tangannya sangat dingin, jelas sejak tadi ibu kehujanan di luar sana. ingin rasanya memeluk ibu, tetapi semua jendela di rumah ini dilengkapi dengan tralis yang akan menyusahkan seseorang masuk atau keluar. Karena takut ia kedinginan, aku menyuruhnya untuk pergi dari sini, dan aku mulai memakan nasi itu dengan lahap.

Beberapa tahun tinggal di rumah ini, banyak sekali rintangan yang harus saya dan ibu hadapi, kadang-kadang aku difitnah, dihardik, kadang juga fisik jadi sasarannya. Hanya do'alah yang selalu membuatku bertahan dan sabar, karena Tuhan bersama kita.
Tahun berganti, tibalah hari kelulusan di SMP diumumkan, dengan nilai Ujian Nasional tertinggi di kota dan pertama di sekolah. Sungguh ini bikin ibu bangga, sebelum di sekolah kepala kalau saya minta beasiswa dan tunjangan sekolah ke jenjang yang lebih tinggi. Malamnya, kompilasi aku selesai berwudhu tiba-tiba seseorang menarik kerah bajuku dan berkata.

"Tegar, mungkin sekarang kamu sedang jadi bahan pujian di rumah ini dan itu sangat disetujui. Dari awal aku sudah tidak suka denganmu, kamu harusnya sadar di sini kamu cuma bisa bantu. Pokoknya aku enggak mau tahu, tolongnya kamu harus pergi dari rumah ini , kecuali ibumu. Jika dalam tiga hari aku masih melihatmu, aku bisa membuat ibumu di pecat. Sekarang kamu tinggal memilih, pergi dan tetaplah bekerja, atau tetap tinggal di sini dan ibumu dipecat, yang mana kamu mau kamu akan terbawa sesuai, mengerti? " ancam toyo. Aku hanya diam memandangi Tyo yang pergi berlalu. Apa dayaku, melawan saja tak berhak.

Semua yang disampaikan Tyo kuceritakan kembali pada ibu, ibu terkejut dengan ceritaku, dari jadi masalah disetujui, akhirnya ibu menyuruhku untuk kembali ke kampung halamanku dan melanjutkan sekolah di sana. Tiga hari terakhir setelah tantangan itu, aku pergi untuk pulang ke kampung halamanku, merasa tidak senang sebaliknya, karena aku sudah tidak tahan lagi jika ada masalah di rumah itu, akulah yang harus mengalah dari Tyo, tapi aku yakin Allah maha tahu.

Kapal melaju dengan cepat, lambaian tangan ibu, kini semakin jauh dari pandangan, kulihat senyuman terakhir dengan pipi yang dibasahi oleh air mata, melarutkan ketegaran ini, dan membuat kisah hidupku menjadi sangat bermanfaat. Langkah kaki ini membawaaku duduk di kursi penumpang kapal, ibu sudah tak terlihat dari pandangan, hilang bersama dermaga dan pulaunya, bersama rindu yang akan selalu kutitip setelahnya.

Swastamita telah terlukis di ujung barat, menghentikan kapal di dermaga baru, kini berangkat menuju rumah nenek. Di sana aku tidak terlalu dihiraukan, diberikan setelah ayah meninggal, hubungan antar keluarga menjadi renggang, nenek moyang masih memiliki rasa sayang menerima, karena aku adalah darah dagingnya sendiri. Merasa tidak nyaman dengan sikap saudara saudara-saudara, berbicara kemudian aku daftar ke SMA plus Pesantren. Alhamdulillah, dengan modal prestasi aku bisa diterima di sekolah itu, karena sekolah ini lengkap dengan pesantrennya, aku bisa langsung mondok tanpa harus menunggu kapan saja sekolah mulai aktif lagi, aku sangat bersyukur, aku punya tempat tinggal di sini, bisa pulang ke rumah nenek pun rasanya tidak mungkin.

Setelah beberapa tahun berpisah, hari ini aku kembali ke rumah pak Galih dan bu Gadis. Kupandangi dalam-dalam pintu rumah itu, rumah yang menyimpan berbagai kenangan untukku.
"Assalamualaikum ...," sahutku.

"Waalaikumsalam ... Tegar, ini kamu Nak?" Tanya pak Galih takjub.
"Iya Pak, ini Tegar," jawabku dengan senyuman.
"Alhamdulillah ... Ayo masuk ke dalam" kemudian aku masuk ke dalam rumah mulai langkah Pak Galih.
"Yah itu siapa," tanya bu Gadis bingung.
"Ini Tegar Bu, apa yang tidak diketahui ibu?" pak Galihalikan tanya.
"Ya ampun Tegar, saya pangling liat kamu, kamu suka ustadz, ayo silahkan duduk. Ngomong-ngomong mana ibumu kok tidak di ajak?" aku terkejut mendengar pertanyaan itu dan kembali bertanya.

"Loh setuju ibu kerja di sini?" Tanyaku bingung.
"Ibumu sudah tidak bekerja lagi di sini, berhubung ibumu sudah tua kami sudah memberhentikannya dan menggantinya dengan pembantu baru. Sekarang ibumu tinggal di rumah sendiri, waktunya sudah kami minta ibumu mau beli kue yang disediakan dengan kamar mandi, dapur dan kamar mandi seperti layaknya rumah. Ya, sebagai tanda terima kasih kami, dan sebagai modal ibumu untuk lolos, sekarang usahanya efisien, kamu tahu 'kan toko kue yang ada di depan rumah ini, nah itu tokonya, "pungkasnya.

"Alhamdulillah ... terima kasih bus, pak, sudah percaya dan bantu kembali keluarga kami," ujarku senang.
"Tidak papa Nak, karena kami juga sangat berhutang budi kepada ibumu, waktu itu Tyo mengidap penyakit gagal ginjal, Tyo harus cuci darah, Karena golongan daranya cocok dengan ibumu, maka ia akan mendonorkan darahnya, alhasil Tyo kembali, mencari kami menerima hadiah untuk" ibumu ..., "jelas bu Gadis.
"Tegar!" teriak Tyo dari atas tangga memotong perkataan bu Gadis.
"Eh, bang Tyo ... Apa kabar?" tanyaku kegirangan.

Berkat hidayah Allah, ternyata sekarang Tyo sudah berubah, kemudian Tyo memelukku dengan penuh, dengan terbata-bata ia berkata,
"Aku baik-baik saja, ini semua berkat ibu kamu. Sekarang aku sadar aku terlalu berlebihan kepadamu, aku minta maaf Gar, dulu aku jahat sekali padamu," katanya terharu.
"Aku sudah memaafkanmu, lagi pula dulu kan kita masih bocah, wajarlah," kataku sambil mengusap-usap punggungnya.
Aku pamit, dengan alasan masih harus bertemu ibu, karena pasti ia sudah merindukanku. Saat tiba di rumah ibuku tidak mengenaliku, dan saat mendengar suaraku ibuku langsung menangis dan memelukku dengan penuh, ibu terlihat senang melihat aku kembali.

"Alhamdulillah Bu, ini semua berkat ibu, sebenarnya Tyo membawa berita baik untuk ibu, ini didukung di baca"
Saya menyodorkan sebuah sertifikat Perlombaan Qori Internasional melalui paket Umroh gratis dari sekolah, yang akan berangkat bulan depan.
"Nak Alhamdulillah, ibu sangat bangga dengan prestasimu. Terima kasih Ya Allah, ayah telah mendukung kebahagiaan ini dengan indah." ibu bersujud syukur dan diikuti olehku.
Satu bulan berlalu kami berangkat Umroh ke tanah suci, dan sepulangnya dari sana kami menerima kabar jika penyakit Tyo kambuh lagi. Saya mengerti di rumah karena beberapa alasan, setiap hari aku selalu menengoknya, hingga setiap hari Tyo kritis.

"Lailahailallah Muhammadurrasulullah ...," kataku menuntun Tyo.
Kemudian Tyo mengikutiku, "La-i-la-ha-ila-llah Mu-ha-mmad-dur-rasu-lullah ...."
"Innalillahi wainna ilaihi rajiun," kataku dengan bersedih.
Tyo telah meninggal, semua orang yang ada di rumah menangis, sebagian besar Gadis yang menjerit-jerit, tidak terbentang ibuku yang menenangkannya. Kemudian kukerahkan warga untuk membantu kiriman jenazahnya Tyo, dengan berat hati aku memanggil pak Galih dengan alasan Tyo sedang kritis.

Aku tak berkuasa menahan kesedihan ini, yang dimulai tegar, kini dinding wajahku telah dibanjiri air mata. Setelah beberapa menit, aku bangkit melangkahkan kaki untuk berwudhu. Ruang tamu bergemuruh dengan tangisan, kulihat ke arah sana, tiba-tiba pak Galih berteriak dari luar.
"Tyo ... Tyo ... Anakku," teriak pak Galih dari luar.
Jelas, teriakan itu tidak di dengar oleh siapa pun, termasuk oleh bu Gadis yang sekarang sedang memeluk erat ibuku. Atmaku terpanggil, niat pergi ke kamar mandi kuurungkan, padahal sudah tampak di depan mata. Tapi, aku lebih memilih menghampiri pak Galih.

"Gar, Tyo kenapa?" tanya pak Galih mengumpulkan sembari menggoyangkan tubuhku.
"Pak ... hidup itu hanya sementara, kita tidak boleh berharap terlalu tinggi, ada yang harus mengerti manusia, dan harus belajar ikhlas. Setiap orang memberi diawa dengan waktu yang berbeda, semua telah disetujui saat kita ada di rahim, lebih baik kita pergi berwudhu yuk ,? " ajakku pada pak Galih lembut.
Seketika pak Galih bengong, tak lama ia langsung menyeretku ke kamar mandi pertanda ia mengerti dengan apa yang kukatakan. Sementara itu, Prasetyo Putra Galih yang akrab dengan sapa Abang, kini telah selesai di mandikan. Begitu pun dengan aku dan pak Galih yang telah selesai berwudhu dan diganti pakaian serba putih nan bersih. Kuhentikan langkah pak Galih, dan berkata, "Pak ... dibuka," sangkalku.

"Mmm ...?" tanya pak Galih tanpa kata.
"Bapak janji, Bapak harus tegar dan ikhlas bertemu ini." Pintaku memelas.

Anggukannya cukup meyakinkan, arahkan kakiku ke ruang tamu, untuk mengajikan mayat Tyo yang sudah terbungkus rapi oleh kain kafan. Aku tahu dalam hati pak Galih pasti menjerit-jerit, tapi sungguh aku kagum dengan ketegarannya. Setelah semua selesai, menyisakan satu proses pemakaman sebagai jalan menuju alam lain bagi Tyo. Kerumun orang-orang telah selesai disapu waktu meninggalkan aku, pak Galih, bu Gadis dan ibuku. Semerbak pancarona bunga-bunga yang kutaburkan di atas tanah kuburan Tyo, dihempas angin bersama alam yang mulai gelap. Kedua retinaku menerima objek swastamita yang indah dengan seribu kepiluan, ingat pada latar belakang belakang hidupku yang sangat memprihatinkan.

Kini Tyo telah tiada, meninggalkan dunia dan masa depan, harta dan takhta bukan hal yang utama dalam peradaban manusia, semua karena usaha yang dibarengi dengan do'a, di sini ada tandingan antara takdir muallaq dan takdir mubran, takdir dan percaya takdir kuat.

Itulah cerita yang dapat saya sampaikan, mohon maaf bila ada kekurangan twrimakasih telah menyempatkan membaca

Wassalamualaikum... Wr. Wb
Diubah oleh Iqiramadan21 18-11-2019 07:49
nona212Avatar border
nomoreliesAvatar border
siskapuspita701Avatar border
siskapuspita701 dan 7 lainnya memberi reputasi
6
2.1K
9
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan