- Beranda
- Komunitas
- Story
- Stories from the Heart
Pindah Ke Tanah Angker (Part 1)
TS
anggarido
Pindah Ke Tanah Angker (Part 1)
GIF
BERSAMBUNG . . .
Pindah Ke Tanah Angker
Berjuta-juta ampun ane sampaikan ke pembaca setia cerita ane karena terkesan kentang g ada lanjutan.Tapi sebagaimana yg ane sampaikan di awal cerita bahwa ane akan lanjut cerita sesempet ane lanjutin, yah gan..ane juga manusia gan, butuh kerja, butuh refreshing, butuh momong dan becandaan ama anak² ane dan pacaran ma bini..hihi
Okeh, drpd berlama² dan agan² makin gedeg ma ane krn kelamaan update, ane bkl lgsg crotin aja cerita lanjutannya. Seperti yg udh², ane bkl ksh latar belakang ceritanya dulu. Jadi, di cerita sebelumnya ane dan keluarga memutuskan pindah dari rumah lama ane yg di komplek perumahan untuk pindah ke area kampung tempat ayah ane punya tanah dan dibangunin rumah untuk ibu ane krn ketakutan tinggal di rumah lama. Dalam tempo yg sesingkat²nya kurleb 2 bln ane udh boyongan ke rumah baru meski belum jadi 100%, yah krn ibu ngebet buat pindah. Meski tembok msh keliatan bata nya jg g mslh buat ibu ane yg penting jauh2 dah drpd sebelahan ama rumah bekas pembunuhan.
Situasi & Kondisi Rumahku saat pembangunan awal.
Denah rumahku yg baru.
Dirumah yg baru ini, ibu ane mikirnya aman² aja, krn udh jauh ama rmh lama, eh trnyta keluar dr kandang macan masuk lobang buaya. Bukan rumahnya yg angker, tp tanah sekitar rumah ane yg ternyata menyimpan sejuta misteri. Mau tau kayak apa?
Cekidot!
Okeh, drpd berlama² dan agan² makin gedeg ma ane krn kelamaan update, ane bkl lgsg crotin aja cerita lanjutannya. Seperti yg udh², ane bkl ksh latar belakang ceritanya dulu. Jadi, di cerita sebelumnya ane dan keluarga memutuskan pindah dari rumah lama ane yg di komplek perumahan untuk pindah ke area kampung tempat ayah ane punya tanah dan dibangunin rumah untuk ibu ane krn ketakutan tinggal di rumah lama. Dalam tempo yg sesingkat²nya kurleb 2 bln ane udh boyongan ke rumah baru meski belum jadi 100%, yah krn ibu ngebet buat pindah. Meski tembok msh keliatan bata nya jg g mslh buat ibu ane yg penting jauh2 dah drpd sebelahan ama rumah bekas pembunuhan.
Situasi & Kondisi Rumahku saat pembangunan awal.
Denah rumahku yg baru.
Quote:
Rumah lama dijual gan?
Yoi
Berapa lama lakunya gan? Mana ada yg mau org sebelahan ama rmh bekas pembunuhan gt?
Lakunya sebulan, kyk jual kacang ye?
Kok bisa cepet gt?
G ush tny, you know lah..siapa lg klo bkn ayah ane yg sebul.
Yoi
Berapa lama lakunya gan? Mana ada yg mau org sebelahan ama rmh bekas pembunuhan gt?
Lakunya sebulan, kyk jual kacang ye?
Kok bisa cepet gt?
G ush tny, you know lah..siapa lg klo bkn ayah ane yg sebul.
Dirumah yg baru ini, ibu ane mikirnya aman² aja, krn udh jauh ama rmh lama, eh trnyta keluar dr kandang macan masuk lobang buaya. Bukan rumahnya yg angker, tp tanah sekitar rumah ane yg ternyata menyimpan sejuta misteri. Mau tau kayak apa?
Cekidot!
Quote:
. . . Jarak yg tak begitu jauh dari rumah lamaku membuatku menganggukkan kepala saat ayah ibuku menanyakan kesediaanku untuk pindah rumah, meski repot harus berbenah, dan pindahan tak membuatku berkeluh kesah, hitung² suasana baru fikirku, toh aku pun sudahlah sangat terbiasa dengan hidup nomaden. Sejak peletakan batu pertama kali di rumah baruku hingga siap ditempati, ibuku tak kunjung berani kembali untuk sekedar menengok rumah lamanya, rasa trauma dan ketakutan sepertinya masih sangat mesra dengannya, aku memaklumi nya.
Selama dua bulan aku dan ayahku tinggal dirumah lama untuk menunggu rumah baruku selesai untuk ditempati, baru setelah itu ikut pindah kerumah yg baru. Rumah baruku jauh dari kata selesai saat aku menginjakkan pertama kalinya, masih sekitar 70%, batu bata masih tersembul terlihat, lantai masih tanah, penerangan seadanya, karena memang di kawasanku saat ini, hanyalah rumahku yg berdiri sendiri dikelilingi sawah yg hijau. Ayahku pun harus ikhlas membuat jalan sendiri karena terbatasnya akses masuk untuk keluar masuk truck muatan material. Sejuk sekali dan asri aku lihat saat itu, sejauh mata memandang hanyalah hamparan sawah yg luas karena belum ada penghuni lain selain rumahku. Jauh dari kawasan sawah tempat ku tinggal ada perkampungan dan perumahan tepat di depan rumahku dan dibelakang rumahku, itupun berjarak cukup jauh. Ku ingat saat itu berbarengan dengan ujian akhirku SLTA, ya ... langkah terakhir dalam wajib belajarku. Sebentar lagi aku harus siap meninggalkan rumah beserta orang tuaku untuk menempuh pendidikan yg lebih tinggi di perguruan tinggi.
Sebagaimana siswa yg akan menghadapi ujian akhir, aku pun di sibuk kan oleh kegiatan² belajar di sekolah yg menguras tenaga dan fikiran untuk bekal mengerjakan soal ujian. Sore itu aku baru datang dari sekolah dan akan memasuki rumah, sebelum masuk kulihat ibuku sedang berbincang dengan seseorang yg tak ku kenal, masa bodoh fikirku aku mendorong motorku masuk ke garasi dan sudah tak sabar meletakkan punggungku yg sangatlah pegal ini, baru terlelap sekitar 15 menit kakiku digoyang², sepertinya ibuku, ku buka mataku dan tak ada siapapun dihadapanku, sayup² ku dengar suara ibuku dengan orang yg mengajaknya berbincang di luar tadi, artinya ibuku masih diluar, lalu siapa yg membangunkanku dengan menggoyangkan kaki kiriku tadi? Tak ku hiraukan kejadian barusan, ku ambil guling dan meneruskan dengkuranku.
Aku terbangun lagi setelah menjelang maghrib tapi yg membangunkanku jelas, suara ayahku yg khas yg menyuruhku bangun karena hari akan gelap. Tradisi di rumahku dari dulu pun sama, secapai²nya badanmu jika menjelang maghrib kau tak boleh tidur, maghrib adalah gerbang pergantian waktu di dunia nyata dan dunia ghaib, gelap di dunia nyata dan pagi di dunia ghaib, jadi kau harus terjaga di saat pergantian itu untuk menghindari jiwa mu tak diajak ke tempat² yg tak ingin kau singgahi. Itu sih kata ayahku, entah dongeng masa kecilku atau karangan ayahku saja, yg jelas itu terbawa hingga sekarang. Sama seperti larangan ayahku untukkku tidur sebelum jam 12 malam, apalagi aku laki². Kata ayahku, orang yg tidur dibawah jam 12 malam rentan terkena sihir, tenun ataupun santet.Tak tidur pun bukan berarti bebas melakukan hal² yg tak berguna, tapi digunakan untuk pujian dalam hati ataupun berzikir. Ayahku paling sering menyanyikan lagu ciptaan Sunan Kalijaga di saat² menjelang jam 12 malam yg berjudul "Kidung Rumeksa Ing Wengi". Itu lagu favorit ayahku disaat malam hingga sekarang bahkan untuk menidurkan anak²ku yg sedang rewel. Kata ayahku, lirik²nya berupa doa mantra yg diciptakan khusus Kanjeng Sunan Kalijaga untuk membentengi diri dari ganasnya malam. Jika ku runtut sejenak liriknya pun, aku menilai ini memang lebih cocok sebagai mantra daripada lagu.
Kembali ke aktivitasku, setelah terbangun aku pun segera mandi lalu mengambil sesuap nasi untuk mengisi perut yg bermelodi dari tadi. Sambil makan, aku mendengar obrolan ayah ibuku di ruang tamu.
Ibu : Yah, aku mau diparani wong perumahan buri kui, dijak kenalan, terus ngobrol akeh. (Yah, aku tadi disamperin orang perumahan belakang itu, diajak berkenalan, terus ngobrol banyak)
Ayah : Ngobrol opo? (Ngobrol apa)
Ibu : Jarene kok wani bangun omah neng kene, sawah kene ki terkenal angker. Sering di gae guwak²an barang alus karo gaman. (Katanya, kok berani membuat rumah disini, sawah sini terkenal angker. Sering diperuntukkan pembuangan makhluk halus dan senjata ghaib)
Ayah : Mosok? (Masa)
Ibu : Iyo, aku yo kaget kok. (Iya, aku juga kaget kok)
Ayah : Lha piye, pindah neh po piye? (Sambil terkekeh) (Lha gimana, pindah lagi apa gimana?)
Ibu : Barang wis kadung ngadeg. Pagerono ae yah. (Rumah sudah terlanjur berdiri, kamu pagari saja)
Ayah : (Diam)
Mendengar cerita ibuku, aku jadi teringat kejadian sore tadi saat aku seolah dibangunkan oleh seseorang yg tak jelas. Ingin ku ceritakan ke ayahku, tapi ku urungkan niatku. Ku ambil rokokku dan ku rokok diluar rumah, hawa di sekitar rumahku yg dikelilingi sawah membuat pembeda dari rumah lamaku, sangat sejuk dan damai khas pedesaan, ditambah dengan suara jangkrik bersahutan dan hewan² sawah di malam hari yg tak ku ketahui nama nya menambah tenang di fikiran. Selang beberapa jam, ayah menyusulku ke depan, duduk di sebelahku. Diambilnya rokok satu batang dan dia nyalakan api dari koreknya, dia hirup dalam² asapnya dan "Alhamdulilah"katanya lirih. "Ngga ...", Panggilnya memulai pembicaraan denganku.
Aku tak tau sebelumnya mungkin lebih tepatnya tak mau tahu bagaimana ritual memagar rumah seperti yg dilakukan ayah terhadap rumah yg sudah², tapi tak tau kenapa di umurku yg sekarang aku lebih ingin tahu dari biasanya. Rasanya aku ingin menggali lebih dalam "kebisa'an" ayahku itu meliputi apa saja. Selang 9 hari, ayahku memberi tahuku bahwa nanti malam akan melakukan ritual pemagaran rumah, ia menanyakan kesanggupanku untuk turut serta, iya anggukku. Tak sabar segera tahu tentang salah satu kelebihan ayahku. Tapi kuingat-ingat lagi tiga hari sebelumnya ia sempat tidur di belakang pintu utama beralaskan sapu lidi pada bagian kepalanya, saat ku tanyakan lagi "Aku pengen eruh, sopo sing mbaurekso daerah kene" (Aku ingin tahu siapa yg berkuasa di daerah sini). Waktu menunjukkan pukul 22:30 wib, ayahku telah siap menggunakan kemeja batik lengan panjang, dipadukan dengan sarung dan peci favoritnya. Tak lupa ia menyiapkan kain merah beberapa centimeter, beberapa bungkusan yg tak kuketahui apa isinya, beberapa tulisan jawa yg ditulis di beberapa lembar kulit sapi berukuran sama seperti ukuran bungkus rokok. Ia menyuruhku diam saat ritual dimulai nanti, dan aku mengiyakan. Rencana ayahku, ritual dilakukan tepat pukul 00:00 nanti, sebelumnya ayahku mengajakku berbincang².
Ayahku memejamkan mata sejenak sambil tangannya bersedekap, lalu ia mengulum ibu jari tangan kanannya sambil menyuruhku memejamkan mata dan mengoleskan ibu jari nya ke kedua kelopak mataku dan dahiku lalu menyuruhku membuka mata. Ku buka pelan² dan aku teriak sejadi²nya sambil melompat dan menutup mataku lagi. Ayahku tertawa terbahak-bahak melihat tingkahku dan menasehatiku bahwa tak adil jika kita tak tahu mereka sedangkan mereka bisa bebas melihat kita. Aku masih bertahan dalam kegelapanku sendiri karena ku tutup dua bola mataku, sejenak aku merasakan tangan menyentuh dadaku dan ketika ku sadari itu tangan ayahku, tak ku ketahui apa yg dilakukannya tapi keberanianku sedikit demi sedikit muncul begitu saja untuk membuka mataku, saat ku buka pelan-pelan aku melihat sejelas²nya apa yg di gambarkan, diceritakan, dilukiskan dan sering ditampilkan di televisi tentang makhluk halus itu. Benar saja kata ayahku, mereka sangat banyak disini *di sekitar rumahku*, ada yg bergelantungan diatas rumahku sambil bersedekap, ada wanita yg sedang duduk² di sudut atap rumahku sambil mengayun²kan kakinya, didepan rumahku pun tak luput dari penglihatanku, di sawah sekitar rumahku rasanya penuh sesak akan keberadaan mereka dan masih banyak lagi wujud mereka yg aneh², tapi yg sempat terlewat dari penglihatanku adalah seekor harimauyg duduk bersantai di bawah kaki ayahku yg senantiasa melihatku daritadi dan orang tua berjenggot putih panjang berbaju putih yg ada di belakang ayahku. Harimau layaknya harimau yg sudah orang tahu, postur, warna bulu dll sama persis jika kita melihatnya di kebun binatang, mungkin itu yg melindungi ayah fikirku, yg aku baru tahu wujud dari orang tua penjaga bambu berlafadzkan Allah yg pernah ayahku dapat saat di ngawi itu yg membuatku takjub, ia cenderung pendek, rambut, alis, kumis dan jenggotnya memutih dan memakai peci putih panjang. Ia hanya terdiam menatap ke arah depan sambil tangannya saling berkaitan ke belakang pinggangnya. Saat ku tanyakan ayahku tentang hubungan orang tua ini dengan bambu berlafadzkan Allah tsb ayahku hanya mengangguk. Setelah ku rasa cukup, aku meminta ayah menutup mata bathinku dan setelah ditutup mereka yg telah ku lihat sebelumnya seperti pergi entah kemana, meski ku yakin mereka masih tetap di tempat yg ku lihat tadi hanya tabir yg menghalangiku melihat mereka semua.
Waktu menunjukkan pukul 00:00 wib dan ayahku berpamitan akan melakukan ritual, ayahku mengatakan akan mengelilingi rumah sebanyak 7x, jika ada di salah satu bagian rumah yg di rasa ayahku melontarkan hawa panas disitulah tempat penunggu terkuat. Ayahku memulai mengelilingi rumahku berlawanan dengan arah jarum jam. Aku diam mematung melihat ritual yg baru sekali ini aku saksikan secara langsung. Ayahku tampak sangat berkonsentrasi sekali, saat putaran ke-4 ayahku lama sekali tak nampak di depan rumah, lalu muncul, putaran 5 & 6 pun begitu lama di belakang, terlebih saat putaran terakhir hampir satu jam lebih di belakang tak kuketahui apa yg dilakukannya, aku hanya berusaha menuruti perintahnya diam saja di tempat dudukku. Setelah selesai, ayahku memejamkan mata sambil bersedekap menghadap rumahku tepat di depan rumahku. Setelah itu mengajakku masuk dan ayah mengambil tangga untuk naik mengikat beberapa barang yg telah dipersiapkan tadi dan membungkusnya dengan kain merah di usuk atap rumahku. Setelah selesai semua ritual tsb, ayah memintaku membikinkannya kopi 8 gelas dan ia pun mandi.
Delapan gelas kopi telah kupersiapkan di meja ruang tamu, sambil bertanya-tanya untuk siapa kopi sebanyak ini. Selang beberapa lama, ayahku keluar dari kamar dan menyuruhku tidur, aku berontak karena ingin mendengar cerita dari ayahku tapi ayahku menjawab singkat "Sesuk wae..." (Besok saja).
Keesokan hari nya, seperti rutinitas sebelum²nya aku disibukkan oleh sekolahku dan ayah pergi ke kantor. Saat sarapan, aku menanyakan perihal ritual semalam, ayahku berjanji nanti malam mengajakku begadang untuk bercerita. Semangat sekali rasanya hari itu dan tak sabar ingin segera mendengar cerita soal semalam.
Waktu ku lalui begitu cepat, aktivitas dan rutinitasku pun terhenti di sore hari ketika ku pulang sekolah. Aku rasanya ingin cepat² mandi dan menunggu kedatangan ayahku didepan rumah layaknya anak kecil yg menunggui ayahnya pulang bekerja.
Saat bercerita pun tiba, setelah ayahku makan malam lalu mengajakku bercengkerama di depan sambil membawa rokok dan kopi yg dibikinkan ibuku.
Ayahku memulai cerita dengan memperingatkanku.
Patung Nyai Rondo Kuning di Kab. Wonogiri.
Cukup tenang hati ini setelah rumah ini dipagar ghaib oleh ayahku. Setidaknya hal² yg berbau negatif akan menyingkir dengan sendirinya entah karena terusir atau diusir paksa oleh penjaga rumah ini, seperti yg pernah terjadi saat ku telah menikah dengan wanita yg kini menjadi istriku.
Suatu hari aku pernah menyuruhnya membelikanku rokok, istriku melewati perkampungan depan rumahku yg ketika menyusuri jalan tsb dan menengok ke arah rumahku terlihat jelas karena memang jarak rumah satu dengan yg lain pada saat itu belum sedekat sekarang. Iseng kata istriku menengok ke arah rumahku dan melihat aku bertelanjang dada dan hanya memakai boxer *sesuai dengan keadaan terakhir saat istriku menemuiku* berlarian di depan rumahku bolak-balik. Dan ketika datang istriku memasang wajah heran dan menanyaiku,
Meski sudah dipagar ghaib, bukan berarti bebas dari makhluk ghaib. Kalaupun ada yg sedang "mampir" biarkan saja toh mereka hanya lewat dan tak berniat mengganggu. Seperti saat almarhum nenekku dari ibuku dulu saat berkunjung ke rumahku, siang hari saat nenekku berjalan ke arah toko melewati jemuran, disudut jemuran ada seorang wanita menggendong anaknya yg sedang tidur dan ketika ditanya oleh nenekku "jenengan sinten?" (Kamu siapa?) , Wanita itu hanya tersenyum dan balik arah menembus dinding rumahku. Malam hari nya nenek bercerita ke ayah dan ayah hanya tertawa dan menimpali "Niku namung liwat mbah, kersane" (Itu hanya lewat mbah, biarkan saja).
Selama dua bulan aku dan ayahku tinggal dirumah lama untuk menunggu rumah baruku selesai untuk ditempati, baru setelah itu ikut pindah kerumah yg baru. Rumah baruku jauh dari kata selesai saat aku menginjakkan pertama kalinya, masih sekitar 70%, batu bata masih tersembul terlihat, lantai masih tanah, penerangan seadanya, karena memang di kawasanku saat ini, hanyalah rumahku yg berdiri sendiri dikelilingi sawah yg hijau. Ayahku pun harus ikhlas membuat jalan sendiri karena terbatasnya akses masuk untuk keluar masuk truck muatan material. Sejuk sekali dan asri aku lihat saat itu, sejauh mata memandang hanyalah hamparan sawah yg luas karena belum ada penghuni lain selain rumahku. Jauh dari kawasan sawah tempat ku tinggal ada perkampungan dan perumahan tepat di depan rumahku dan dibelakang rumahku, itupun berjarak cukup jauh. Ku ingat saat itu berbarengan dengan ujian akhirku SLTA, ya ... langkah terakhir dalam wajib belajarku. Sebentar lagi aku harus siap meninggalkan rumah beserta orang tuaku untuk menempuh pendidikan yg lebih tinggi di perguruan tinggi.
Sebagaimana siswa yg akan menghadapi ujian akhir, aku pun di sibuk kan oleh kegiatan² belajar di sekolah yg menguras tenaga dan fikiran untuk bekal mengerjakan soal ujian. Sore itu aku baru datang dari sekolah dan akan memasuki rumah, sebelum masuk kulihat ibuku sedang berbincang dengan seseorang yg tak ku kenal, masa bodoh fikirku aku mendorong motorku masuk ke garasi dan sudah tak sabar meletakkan punggungku yg sangatlah pegal ini, baru terlelap sekitar 15 menit kakiku digoyang², sepertinya ibuku, ku buka mataku dan tak ada siapapun dihadapanku, sayup² ku dengar suara ibuku dengan orang yg mengajaknya berbincang di luar tadi, artinya ibuku masih diluar, lalu siapa yg membangunkanku dengan menggoyangkan kaki kiriku tadi? Tak ku hiraukan kejadian barusan, ku ambil guling dan meneruskan dengkuranku.
Aku terbangun lagi setelah menjelang maghrib tapi yg membangunkanku jelas, suara ayahku yg khas yg menyuruhku bangun karena hari akan gelap. Tradisi di rumahku dari dulu pun sama, secapai²nya badanmu jika menjelang maghrib kau tak boleh tidur, maghrib adalah gerbang pergantian waktu di dunia nyata dan dunia ghaib, gelap di dunia nyata dan pagi di dunia ghaib, jadi kau harus terjaga di saat pergantian itu untuk menghindari jiwa mu tak diajak ke tempat² yg tak ingin kau singgahi. Itu sih kata ayahku, entah dongeng masa kecilku atau karangan ayahku saja, yg jelas itu terbawa hingga sekarang. Sama seperti larangan ayahku untukkku tidur sebelum jam 12 malam, apalagi aku laki². Kata ayahku, orang yg tidur dibawah jam 12 malam rentan terkena sihir, tenun ataupun santet.Tak tidur pun bukan berarti bebas melakukan hal² yg tak berguna, tapi digunakan untuk pujian dalam hati ataupun berzikir. Ayahku paling sering menyanyikan lagu ciptaan Sunan Kalijaga di saat² menjelang jam 12 malam yg berjudul "Kidung Rumeksa Ing Wengi". Itu lagu favorit ayahku disaat malam hingga sekarang bahkan untuk menidurkan anak²ku yg sedang rewel. Kata ayahku, lirik²nya berupa doa mantra yg diciptakan khusus Kanjeng Sunan Kalijaga untuk membentengi diri dari ganasnya malam. Jika ku runtut sejenak liriknya pun, aku menilai ini memang lebih cocok sebagai mantra daripada lagu.
Kembali ke aktivitasku, setelah terbangun aku pun segera mandi lalu mengambil sesuap nasi untuk mengisi perut yg bermelodi dari tadi. Sambil makan, aku mendengar obrolan ayah ibuku di ruang tamu.
Quote:
Ibu : Yah, aku mau diparani wong perumahan buri kui, dijak kenalan, terus ngobrol akeh. (Yah, aku tadi disamperin orang perumahan belakang itu, diajak berkenalan, terus ngobrol banyak)
Ayah : Ngobrol opo? (Ngobrol apa)
Ibu : Jarene kok wani bangun omah neng kene, sawah kene ki terkenal angker. Sering di gae guwak²an barang alus karo gaman. (Katanya, kok berani membuat rumah disini, sawah sini terkenal angker. Sering diperuntukkan pembuangan makhluk halus dan senjata ghaib)
Ayah : Mosok? (Masa)
Ibu : Iyo, aku yo kaget kok. (Iya, aku juga kaget kok)
Ayah : Lha piye, pindah neh po piye? (Sambil terkekeh) (Lha gimana, pindah lagi apa gimana?)
Ibu : Barang wis kadung ngadeg. Pagerono ae yah. (Rumah sudah terlanjur berdiri, kamu pagari saja)
Ayah : (Diam)
Mendengar cerita ibuku, aku jadi teringat kejadian sore tadi saat aku seolah dibangunkan oleh seseorang yg tak jelas. Ingin ku ceritakan ke ayahku, tapi ku urungkan niatku. Ku ambil rokokku dan ku rokok diluar rumah, hawa di sekitar rumahku yg dikelilingi sawah membuat pembeda dari rumah lamaku, sangat sejuk dan damai khas pedesaan, ditambah dengan suara jangkrik bersahutan dan hewan² sawah di malam hari yg tak ku ketahui nama nya menambah tenang di fikiran. Selang beberapa jam, ayah menyusulku ke depan, duduk di sebelahku. Diambilnya rokok satu batang dan dia nyalakan api dari koreknya, dia hirup dalam² asapnya dan "Alhamdulilah"katanya lirih. "Ngga ...", Panggilnya memulai pembicaraan denganku.
Quote:
Ayah : Kerasan neng kene? (Kerasan disini)
Aku : Lumayan..
Ayah : Ayah senengan neng kene timbangane nang bumi antariksa *nama perum lamaku*(Ayah lebih suka disini drpd di bumi antariksa)
Aku : Lah nyapo? (Lah, knp)
Ayah : Mbuh..(Tidak tahu)
Aku : Tapi aku krungu mau pas we ngobrol karo ibuk jare kene ki angker yah. (Tapi aku dengar tadi pas kamu ngobrol dgn ibu katanya disini angker)
Ayah : Kabeh panggonan neng alam dunyo ki enek sing manggoni disik sakdurunge menungso enek, arep golek sing bebas barang konokan yo pindah planet wae. (Semua tempat di muka bumi ini ada yg menempati terlebih dahulu sebelum manusia ada, mau mencari yg bebas hal² seperti itu ya pindah planet saja)
Aku : Iyo sih. Tapi aku mau diganggu lo yah..(Iya sih, tapi aku tadi diganggu lo)
Ayah : Opo? (Apa)
Aku : Sikilku dihoyag2 pas turu awan mau..(Kakiku digoyang² pas tidur siang tadi)
Ayah : Wi jenenge ra ganggu tp ngajak kenalan, duduhi aku enek neng kene lo. (Itu namanya tdk mengganggu tp ngajak berkenalan, memberi tahu kamu bahwa aku ada disini)
Aku : (Terdiam...)
Ayah : Tenang ae...*sambil menepuk pundakku* aku lg golek dino sing apik gae mageri omah iki. (Tenang saja..aku sedang mencari hari baik untuk memagari rumah ini.
Aku : Yo..*anggukku pelan*
Aku : Lumayan..
Ayah : Ayah senengan neng kene timbangane nang bumi antariksa *nama perum lamaku*(Ayah lebih suka disini drpd di bumi antariksa)
Aku : Lah nyapo? (Lah, knp)
Ayah : Mbuh..(Tidak tahu)
Aku : Tapi aku krungu mau pas we ngobrol karo ibuk jare kene ki angker yah. (Tapi aku dengar tadi pas kamu ngobrol dgn ibu katanya disini angker)
Ayah : Kabeh panggonan neng alam dunyo ki enek sing manggoni disik sakdurunge menungso enek, arep golek sing bebas barang konokan yo pindah planet wae. (Semua tempat di muka bumi ini ada yg menempati terlebih dahulu sebelum manusia ada, mau mencari yg bebas hal² seperti itu ya pindah planet saja)
Aku : Iyo sih. Tapi aku mau diganggu lo yah..(Iya sih, tapi aku tadi diganggu lo)
Ayah : Opo? (Apa)
Aku : Sikilku dihoyag2 pas turu awan mau..(Kakiku digoyang² pas tidur siang tadi)
Ayah : Wi jenenge ra ganggu tp ngajak kenalan, duduhi aku enek neng kene lo. (Itu namanya tdk mengganggu tp ngajak berkenalan, memberi tahu kamu bahwa aku ada disini)
Aku : (Terdiam...)
Ayah : Tenang ae...*sambil menepuk pundakku* aku lg golek dino sing apik gae mageri omah iki. (Tenang saja..aku sedang mencari hari baik untuk memagari rumah ini.
Aku : Yo..*anggukku pelan*
Aku tak tau sebelumnya mungkin lebih tepatnya tak mau tahu bagaimana ritual memagar rumah seperti yg dilakukan ayah terhadap rumah yg sudah², tapi tak tau kenapa di umurku yg sekarang aku lebih ingin tahu dari biasanya. Rasanya aku ingin menggali lebih dalam "kebisa'an" ayahku itu meliputi apa saja. Selang 9 hari, ayahku memberi tahuku bahwa nanti malam akan melakukan ritual pemagaran rumah, ia menanyakan kesanggupanku untuk turut serta, iya anggukku. Tak sabar segera tahu tentang salah satu kelebihan ayahku. Tapi kuingat-ingat lagi tiga hari sebelumnya ia sempat tidur di belakang pintu utama beralaskan sapu lidi pada bagian kepalanya, saat ku tanyakan lagi "Aku pengen eruh, sopo sing mbaurekso daerah kene" (Aku ingin tahu siapa yg berkuasa di daerah sini). Waktu menunjukkan pukul 22:30 wib, ayahku telah siap menggunakan kemeja batik lengan panjang, dipadukan dengan sarung dan peci favoritnya. Tak lupa ia menyiapkan kain merah beberapa centimeter, beberapa bungkusan yg tak kuketahui apa isinya, beberapa tulisan jawa yg ditulis di beberapa lembar kulit sapi berukuran sama seperti ukuran bungkus rokok. Ia menyuruhku diam saat ritual dimulai nanti, dan aku mengiyakan. Rencana ayahku, ritual dilakukan tepat pukul 00:00 nanti, sebelumnya ayahku mengajakku berbincang².
Quote:
Ayah : Jan uakeh eram neng kene..(luar biasa, banyak sekali disini) *Yg dimaksud ayahku disini adalah makhluk halus*
Aku : Mosok yah? (Masa)
Ayah : We pengen eruh po piye? (Kamu pengen tahu)
Aku : Iyo..*aku tak tahu dengan apa yg aku katakan saat itu, rasa penasaranku telah menghancurkan ketakutanku sendiri*
Aku : Mosok yah? (Masa)
Ayah : We pengen eruh po piye? (Kamu pengen tahu)
Aku : Iyo..*aku tak tahu dengan apa yg aku katakan saat itu, rasa penasaranku telah menghancurkan ketakutanku sendiri*
Ayahku memejamkan mata sejenak sambil tangannya bersedekap, lalu ia mengulum ibu jari tangan kanannya sambil menyuruhku memejamkan mata dan mengoleskan ibu jari nya ke kedua kelopak mataku dan dahiku lalu menyuruhku membuka mata. Ku buka pelan² dan aku teriak sejadi²nya sambil melompat dan menutup mataku lagi. Ayahku tertawa terbahak-bahak melihat tingkahku dan menasehatiku bahwa tak adil jika kita tak tahu mereka sedangkan mereka bisa bebas melihat kita. Aku masih bertahan dalam kegelapanku sendiri karena ku tutup dua bola mataku, sejenak aku merasakan tangan menyentuh dadaku dan ketika ku sadari itu tangan ayahku, tak ku ketahui apa yg dilakukannya tapi keberanianku sedikit demi sedikit muncul begitu saja untuk membuka mataku, saat ku buka pelan-pelan aku melihat sejelas²nya apa yg di gambarkan, diceritakan, dilukiskan dan sering ditampilkan di televisi tentang makhluk halus itu. Benar saja kata ayahku, mereka sangat banyak disini *di sekitar rumahku*, ada yg bergelantungan diatas rumahku sambil bersedekap, ada wanita yg sedang duduk² di sudut atap rumahku sambil mengayun²kan kakinya, didepan rumahku pun tak luput dari penglihatanku, di sawah sekitar rumahku rasanya penuh sesak akan keberadaan mereka dan masih banyak lagi wujud mereka yg aneh², tapi yg sempat terlewat dari penglihatanku adalah seekor harimauyg duduk bersantai di bawah kaki ayahku yg senantiasa melihatku daritadi dan orang tua berjenggot putih panjang berbaju putih yg ada di belakang ayahku. Harimau layaknya harimau yg sudah orang tahu, postur, warna bulu dll sama persis jika kita melihatnya di kebun binatang, mungkin itu yg melindungi ayah fikirku, yg aku baru tahu wujud dari orang tua penjaga bambu berlafadzkan Allah yg pernah ayahku dapat saat di ngawi itu yg membuatku takjub, ia cenderung pendek, rambut, alis, kumis dan jenggotnya memutih dan memakai peci putih panjang. Ia hanya terdiam menatap ke arah depan sambil tangannya saling berkaitan ke belakang pinggangnya. Saat ku tanyakan ayahku tentang hubungan orang tua ini dengan bambu berlafadzkan Allah tsb ayahku hanya mengangguk. Setelah ku rasa cukup, aku meminta ayah menutup mata bathinku dan setelah ditutup mereka yg telah ku lihat sebelumnya seperti pergi entah kemana, meski ku yakin mereka masih tetap di tempat yg ku lihat tadi hanya tabir yg menghalangiku melihat mereka semua.
Waktu menunjukkan pukul 00:00 wib dan ayahku berpamitan akan melakukan ritual, ayahku mengatakan akan mengelilingi rumah sebanyak 7x, jika ada di salah satu bagian rumah yg di rasa ayahku melontarkan hawa panas disitulah tempat penunggu terkuat. Ayahku memulai mengelilingi rumahku berlawanan dengan arah jarum jam. Aku diam mematung melihat ritual yg baru sekali ini aku saksikan secara langsung. Ayahku tampak sangat berkonsentrasi sekali, saat putaran ke-4 ayahku lama sekali tak nampak di depan rumah, lalu muncul, putaran 5 & 6 pun begitu lama di belakang, terlebih saat putaran terakhir hampir satu jam lebih di belakang tak kuketahui apa yg dilakukannya, aku hanya berusaha menuruti perintahnya diam saja di tempat dudukku. Setelah selesai, ayahku memejamkan mata sambil bersedekap menghadap rumahku tepat di depan rumahku. Setelah itu mengajakku masuk dan ayah mengambil tangga untuk naik mengikat beberapa barang yg telah dipersiapkan tadi dan membungkusnya dengan kain merah di usuk atap rumahku. Setelah selesai semua ritual tsb, ayah memintaku membikinkannya kopi 8 gelas dan ia pun mandi.
Delapan gelas kopi telah kupersiapkan di meja ruang tamu, sambil bertanya-tanya untuk siapa kopi sebanyak ini. Selang beberapa lama, ayahku keluar dari kamar dan menyuruhku tidur, aku berontak karena ingin mendengar cerita dari ayahku tapi ayahku menjawab singkat "Sesuk wae..." (Besok saja).
Keesokan hari nya, seperti rutinitas sebelum²nya aku disibukkan oleh sekolahku dan ayah pergi ke kantor. Saat sarapan, aku menanyakan perihal ritual semalam, ayahku berjanji nanti malam mengajakku begadang untuk bercerita. Semangat sekali rasanya hari itu dan tak sabar ingin segera mendengar cerita soal semalam.
Waktu ku lalui begitu cepat, aktivitas dan rutinitasku pun terhenti di sore hari ketika ku pulang sekolah. Aku rasanya ingin cepat² mandi dan menunggu kedatangan ayahku didepan rumah layaknya anak kecil yg menunggui ayahnya pulang bekerja.
Saat bercerita pun tiba, setelah ayahku makan malam lalu mengajakku bercengkerama di depan sambil membawa rokok dan kopi yg dibikinkan ibuku.
Ayahku memulai cerita dengan memperingatkanku.
Quote:
Ayah : Kowe ojo ndem²an neng kene neh..(kamu jangan mabuk²an disini lagi)
Aku : Hah? *Melongo tak percaya, tau darimana? Memang benar selama aku pindah kesini setiap sabtu aku selalu mengajak teman²ku untuk sekedar menghangatkan diri dengan minum arak didepan rumahku sambil bermain gitar karena memang suasananya yg asyik dan teman²ku pun menikmatinya*
Ayah : Sing mbaurekso kene g seneng, panggonane di nggo maksiat.(Yg berkuasa disini tdk suka tempatnya digunakan bermaksiat)
Aku : (Tertunduk)
Ayah : Kowe ora iso warisi ilmune ayah lek sek nuruti nafsumu. (Kamu tdk bisa mewarisi ilmu nya ayah jika masih menuruti nafsumu)
Aku : Aku ora pengen kok (Aku tidak mau kok)
Ayah : *Memandangku*...Ayah ora iso mati yen ilmune ayah ora enek sing marisi, kudu dikekne neng sing tunggal getih utowo mambu dulur. (Ayah tidak bisa meninggal dunia jika ilmu ayah tdk ada yg mewarisi, hrs diberikan ke orang yg sedarah atau masih saudara)
Aku : Halah wi dibahas engko wae, saiki sing penting mambengi piye? (Halah itu dibahas nanti saja, sekarang yg penting tadi malam bagaimana?)
Ayah : *Sambil menghisap dalam² rokok kreteknya* .. Sing mbaurekso kene ki jenenge NYAI RONDO KUNING. (Yg menguasai daerah sini adalah Nyai Rondo Kuning)
Aku : Hah? Sopo kui yah? (Siapa itu?)
Ayah : Yo jenenge kuwi, wujude wong wedok gae konde lan jarik werno kuning. (Ya itu namanya, wujudnya wanita memakai konde dan jarik berwarna kuning.) *Mungkin ada beberapa kesamaan atau perbedaan dengan legenda/mitos di beberapa daerah tentang Nyai Ratu Rondo Kuning*
Aku : Lha kok mambengi aku mbok kon gawe kopi 8 gelas gae sopo ae? (Kok tadi malam, aku disuruh membuat kopi 8 gelas, memang untuk siapa saja)
Ayah : Sing siji gawe aku, sing 7 gawe Nyai Rondo Kuning lan pengawale. (Yg satu untukku, yg 7 untuk Nyai Rondo Kuning dan pengawalnya)
Aku : Hah? *Melongo tak percaya, tau darimana? Memang benar selama aku pindah kesini setiap sabtu aku selalu mengajak teman²ku untuk sekedar menghangatkan diri dengan minum arak didepan rumahku sambil bermain gitar karena memang suasananya yg asyik dan teman²ku pun menikmatinya*
Ayah : Sing mbaurekso kene g seneng, panggonane di nggo maksiat.(Yg berkuasa disini tdk suka tempatnya digunakan bermaksiat)
Aku : (Tertunduk)
Ayah : Kowe ora iso warisi ilmune ayah lek sek nuruti nafsumu. (Kamu tdk bisa mewarisi ilmu nya ayah jika masih menuruti nafsumu)
Aku : Aku ora pengen kok (Aku tidak mau kok)
Ayah : *Memandangku*...Ayah ora iso mati yen ilmune ayah ora enek sing marisi, kudu dikekne neng sing tunggal getih utowo mambu dulur. (Ayah tidak bisa meninggal dunia jika ilmu ayah tdk ada yg mewarisi, hrs diberikan ke orang yg sedarah atau masih saudara)
Aku : Halah wi dibahas engko wae, saiki sing penting mambengi piye? (Halah itu dibahas nanti saja, sekarang yg penting tadi malam bagaimana?)
Ayah : *Sambil menghisap dalam² rokok kreteknya* .. Sing mbaurekso kene ki jenenge NYAI RONDO KUNING. (Yg menguasai daerah sini adalah Nyai Rondo Kuning)
Aku : Hah? Sopo kui yah? (Siapa itu?)
Ayah : Yo jenenge kuwi, wujude wong wedok gae konde lan jarik werno kuning. (Ya itu namanya, wujudnya wanita memakai konde dan jarik berwarna kuning.) *Mungkin ada beberapa kesamaan atau perbedaan dengan legenda/mitos di beberapa daerah tentang Nyai Ratu Rondo Kuning*
Aku : Lha kok mambengi aku mbok kon gawe kopi 8 gelas gae sopo ae? (Kok tadi malam, aku disuruh membuat kopi 8 gelas, memang untuk siapa saja)
Ayah : Sing siji gawe aku, sing 7 gawe Nyai Rondo Kuning lan pengawale. (Yg satu untukku, yg 7 untuk Nyai Rondo Kuning dan pengawalnya)
Patung Nyai Rondo Kuning di Kab. Wonogiri.
Cukup tenang hati ini setelah rumah ini dipagar ghaib oleh ayahku. Setidaknya hal² yg berbau negatif akan menyingkir dengan sendirinya entah karena terusir atau diusir paksa oleh penjaga rumah ini, seperti yg pernah terjadi saat ku telah menikah dengan wanita yg kini menjadi istriku.
Suatu hari aku pernah menyuruhnya membelikanku rokok, istriku melewati perkampungan depan rumahku yg ketika menyusuri jalan tsb dan menengok ke arah rumahku terlihat jelas karena memang jarak rumah satu dengan yg lain pada saat itu belum sedekat sekarang. Iseng kata istriku menengok ke arah rumahku dan melihat aku bertelanjang dada dan hanya memakai boxer *sesuai dengan keadaan terakhir saat istriku menemuiku* berlarian di depan rumahku bolak-balik. Dan ketika datang istriku memasang wajah heran dan menanyaiku,
Quote:
Istriku : Ngapain kamu lari mondar-mandir didepan rumah?
Aku : Kapan?
Istriku : Barusan pas aku keluar beli rokokmu.
Aku : Orang daritadi aku di kamar nonton film sampai kamu datang ini.
Istriku : Lah, yg tadi siapa?
Ayah : *Ayahku yg sedang duduk diruang tamu mendengar percakapanku dengan istriku dan berseloroh*.. Itu yg jaga rumah ini nduk, pagar ghaib sering mewujudkan diri sebagai salah satu dari penghuni rumah ini agar terlihat selalu ada orang di rumah jadi jauh dari terkesan sepi dan jauh dari pengintaian maling.
Aku : Kapan?
Istriku : Barusan pas aku keluar beli rokokmu.
Aku : Orang daritadi aku di kamar nonton film sampai kamu datang ini.
Istriku : Lah, yg tadi siapa?
Ayah : *Ayahku yg sedang duduk diruang tamu mendengar percakapanku dengan istriku dan berseloroh*.. Itu yg jaga rumah ini nduk, pagar ghaib sering mewujudkan diri sebagai salah satu dari penghuni rumah ini agar terlihat selalu ada orang di rumah jadi jauh dari terkesan sepi dan jauh dari pengintaian maling.
Meski sudah dipagar ghaib, bukan berarti bebas dari makhluk ghaib. Kalaupun ada yg sedang "mampir" biarkan saja toh mereka hanya lewat dan tak berniat mengganggu. Seperti saat almarhum nenekku dari ibuku dulu saat berkunjung ke rumahku, siang hari saat nenekku berjalan ke arah toko melewati jemuran, disudut jemuran ada seorang wanita menggendong anaknya yg sedang tidur dan ketika ditanya oleh nenekku "jenengan sinten?" (Kamu siapa?) , Wanita itu hanya tersenyum dan balik arah menembus dinding rumahku. Malam hari nya nenek bercerita ke ayah dan ayah hanya tertawa dan menimpali "Niku namung liwat mbah, kersane" (Itu hanya lewat mbah, biarkan saja).
BERSAMBUNG . . .
Diubah oleh anggarido 17-08-2020 16:50
bohemianflaneur dan 8 lainnya memberi reputasi
9
2.3K
Kutip
7
Balasan
Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama
Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan