ShajarAvatar border
TS
Shajar
CINTA BERWARNA HITAM (PART-1)
Sesaat kupandangi gundukan tanah itu. Di dalamnya tertanam sebuah kenangan hidup yang sangat kusayangi, dan aku mengerti mengapa kenangan itu sangat kubenci hingga akhirnya kukubur di halaman belakang rumah ini.

~**

Untuk kesekian kali aku bertemu dengan seseorang. Setelah mengalami beberapa kali patah hati, aku pernah berjanji untuk tidak jatuh cinta lagi, tapi kedatanganku ke sebuah perpustakaan yang biasa kudatangi membuatku harus mengingkari janji itu pada diri sendiri.

“Hai, aku Ernest,” ucapku tanpa basa basi mengulurkan tangan untuk berkenalan. Perempuan itu tersenyum simpul menggenggam tanganku sambil menyebutkan nama ….

“Vanita.”

Setelah perkenalan terjadi, dengan teratur dalam seminggu kami melakukan sekali pertemuan di perpustakaan itu. Perlahan dalam hubungan adalah faktor penting bagi dua orang yang menjalin kedekatan.

Sebagai laki-laki yang terlahir memiliki ketampanan lebih, tentu saja mendapatkan kekasih tidaklah susah, tapi aku bukan buaya yang dengan mudah menabur cinta hampa.

Nama lengkapnya, Vanita Indriani. Ia perempuan berusia 28 tahun yang baik, berkulit kuning langsat dengan potongan rambut sebahu. Berpenampilan biasa perempuan pada umumnya, meski begitu bagiku ia sempurna.

Satu kali pertemuan yang rutin terjadi dalam seminggu itu mau tidak mau berlanjut menjadi tiga kali dalam seminggu. Hingga akhirnya aku tidak bisa menolak rasa untuk bertemu Vanita setiap hari.

Saat kau berusaha menolak perasaan berwarna merah jambu, maka rasa itu akan mengerjarmu. Menodongmu ketika kau terdiam dan mungkin akan merampokmu untuk menyerah kalah.

Aku memang pernah berjanji tidak ingin jatuh cinta lagi, tapi rasa ini … menggila. Pendekatan gencar kulakukan sebelum melangkah ke jalur selanjutnya.

Setelah tahu alamat dan nomor ponselnya, aku jadi sering berkunjung ke rumahnya, tempat itu sengaja disewa Vanita bersama dua orang teman perempuannya yang juga satu kantor.

Tidak ada lagi dinding perpustakaan yang menjadi saksi pertemuan kami, tidak perlu lagi di kelilingi buku-buku untuk merayunya lalu membuktikan kalau aku penyuka semua bacaan itu. Rasa ini kian kuat dan kulengkapi dengan menelefonnya hampir setiap hari.

Terkadang aku datang ke tempat kerjanya untuk mengajak makan berdua di luar. Begitu malam datang dan kami telah berada di rumah masing-masing, Keinginan menyapanya di penghujung kantuk yang mulai dekat, kulakukan sebagai ritual penting. Walau itu hanya beberapa pesan.

“Selamat tidur. Bermimpilah dengan indah dan ingat, harus ada aku di sana, karena akan semakin istimewa kalau ada kita berdua.”

Aku mulai merasakan ada yang hangat di sisi lain hati. Tempat yang pernah beku karena orang-orang yang pernah menyakitiku. Sekilas khayalan-khayalan indah mulai menyelimuti isi kepala.

Timbul sebuah harapan kalau Vanita merasakan kehangatan yang sama di hatinya seperti halnya aku menginginkan hubungan kami berjalan sesuai yang kuinginkan.

Keinginan itu terkabul. Aku menyatakan cinta setelah beberapa minggu melakukan pendekatan dan Vanita menerima hatiku yang penuh bunga untuk ia miliki.

****

“Ernest, kau di mana? Sekarang aku ada di depan rumahmu.”

Pesan itu dikirim Vanita ketika aku dalam perjalanan pulang dari kantor. Kebetulan saat itu sudah lewat dari jam delapan malam. Begitu sampai di depan rumah, aku mendapatinya berdiri dengan wajah cemberut dan lusuh.

“Kenapa baru pulang? Dari tadi aku menunggumu. Lelah, lapar,” katanya dengan nada ketus sekaligus manja.  

Sebentar kulirik waktu di tangan kiri kemudian menatapnya sambil senyum. “Sudah berapa lama kau menunggu?”

Masih dengan bibir yang manyun ia melihat ke arah jam tangannya. Seolah menghitung waktu. “Hemm, tiga jam …,” jawabnya menatapku dengan helaan napas.

“Kenapa tidak bilang kalau mau datang? Tadi, di kantor, ada kerja tambahan. Makanya aku baru bisa pulang sekarang.”

Vanita menatapku salah tingkah. “Karena ingin memberi surprisepadamu, jadi aku tidak bilang apa-apa.”

“Ya sudah, ayo kita masuk.”

Sekali lagi aku merasakan indahnya berada di dunia cinta. Suasana menyenangkan meski di luar sana sedang turun hujan. Tidak perlu menantikan hari berganti untuk mendapatkan sapaan manis dari seseorang yang sangat menyayangiku.

Sebagai laki-laki, aku bahagia. Vanita sangat perhatian, kasih sayangnya tak ragu untuk ditampakkan. Sikap lucunya dan kekanakan yang sesekali terlihat, membuatku selalu rindu.

Meski pertengkaran kadang menjadi warna-warni kelabu dalam hubungan, tapi itulah kewajaran dan jelas menandakan kami sama seperti pasangan-pasangan lain.

Kisah cintaku berjalan selama beberapa bulan. Kebahagiaan memang tetap berada pada koridornya, tapi rasa manis hubungan kami sedikit berubah. Entah mengapa, Vanita mulai possesif, cemburunya membesar, hingga terkadang ketika melihat wajahnya kengerian menyerang saraf keberanianku.

Kuakui banyak teman-teman perempuan di kantor yang dengan mudah kutebak memberikan sinyal-sinyal cinta. Mereka berpikir, laki-laki tampan sepertiku gampang bermain iseng, suka ngelaba dalam perihal cinta. Tentu saja, aku tidak gemar melakukan permainan itu, karena terlihat melelahkan.

Dan aku tahu, kecemasan terbesar Vanita adalah takut kalau aku pindah ke lain hati. Hingga membuatnya selalu ingin mengawasi bahkan memonitor setiap gerak-gerik di mana pun aku berada.

Seperti tragedi hari itu. Padahal tidak ada hal besar yang terjadi. Hanya karena ada karyawati baru di kantor, atasan memintaku untuk membantunya.

Ketika itu aku dan karyawati bernama Dina ini diberi ditugas oleh bos membeli keperluan untuk rapat. Beberapa teman pun ikut memesan makan siang sekaligus cemilan, melihat daftar belanja yang lebih dari perkiraan, seorang teman yang juga karyawati ikut serta untuk membantu.

Di parkiran mall, bersama dengan Dina, aku menyusun barang yang sudah dibeli ke dalam mobil. Obrolan kami terbilang santai, mengingat perempuan itu karyawati baru di kantor, sebagai senior aku harus membuatnya nyaman berada di antara kami.

Namun yang terlihat di mata Vanita bukan keakraban biasa. Saat itu ia juga berada di parkiran yang sama bersama teman perempuannya. Melihat kami dengan sorot mata murka.

Momentnya seolah tepat saat Dina mengangkat salah satu barang dan tiba-tiba kehilangan keseimbangan. Aku yang berada dekat di sampingnya langsung menopang tubuhnya hingga posisi kami terlihat seperti hampir berciuman.

 
BERSAMBUNG
Diubah oleh Shajar 16-08-2020 05:52
bukhorigan
bukhorigan memberi reputasi
1
554
9
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Komunitas Pilihan