- Beranda
- Komunitas
- Story
- Stories from the Heart
Sate Daging
TS
tutorialhidup
Sate Daging
Quote:
Kamu memegang perut dengan kuat. Mencoba menahan rasa lapar yang semakin lama membuatmu kelimpungan. Membuka dompet, tak ada satu pun lembaran uang tersisa. Jangankan yang berlembar, koin pun tidak ada. Nasib menjadi anak rantauan di tengah pandemik tanpa ada sanak saudara. Meminta tolong pada tetangga, sungkan. Kamu tahu persis sifatmu sebelum kesusahan begini.
Pelit.
Kamu ingat saat ada seorang ibu muda—tetangga jauh—yang memohon padamu untuk memberi pinjaman uang karena bayinya sakit. Namun, kamu lebih memilih menutup mata. Dengan alasan tidak memiliki sepeser pun uang. Padahal, akun rekening bankmu membengkak.
Ternyata, Tuhan memang Maha Pengabul ucapan. Dalam sekejap, tabungan itu ludes. Kamu terlalu sibuk memperbanyak gaya hidup, tanpa menghitung biaya hidup yang kamu butuhkan selama dirumahkan.
Sialan! makimu pada diri sendiri.
Kepalamu sakit karena tidak ada teman yang dapat menolong. Semua berdalih sedang sekarat ekonomi, tetapi tak pernah absen memposting makanan-makanan enak. Baiklah, daripada pusing dan kelaparan di rumah, kamu memilih untuk keliling kompleks. Siapa tahu bertemu kenalan dan berbasa-basi mengajak makan di rumahnya. Kamu tidak akan menolak.
Sudah satu jam kamu berjalan kaki, tidak ada satu pun kenalanmu yang lewat atau menyapa. Kembali kamu memaki dalam hati. Mengapa Tuhan begitu jahat?
Lalu, indra penciumanmu menangkap bau daging yang dibakar. Sate?
Perutmu semakin keroncongan, bunyinya pun semakin kencang terdengar. Dengan mengandalkan ketajaman indra penciuman, kamu mencari dari mana sumber sate itu dibakar. Tumben sekali tukang sate jualan siang-siang, pikirmu.
Lalu, langkahmu terhenti tepat di sebuah rumah yang lumayan kamu kenali. Rumah si ibu muda, bukan tukang sate. Perut yang berontak minta diisi, memaksa untuk bertamu. Namun, egomu menolak. Mau ditaruh di mana wajahmu jika meminta makan pada orang yang dulu tidak ingin kamu bantu?
Persetan. Kamu ingin pergi. Akan tetapi, baru saja hendak berbalik, suara ibu muda itu menghentikanmu.
"Mau ke mana? Enggak mampir dulu? Kebetulan saya lagi bikin sate."
Kamu meralat. Tuhan tidak jahat. Namun, karena rasa gengsi masih terselip, kamu berbasa-basi. "I-iya, nih. Lagi jalan-jalan sore aja," ucapmu. Menunggu ibu muda di hadapanmu kembali menawari mampir. Sayang, dia hanya tersenyum sambil menatapmu. "Ehm, aku ... beneran boleh mampir?"
Ibu muda mengangguk cepat. "Ya, ya. Aku senang kalau kamu mampir. Aku bikin banyak sate, enggak bakal habis kalau makan sendiri. Kamu mau, ya, bantuin habisin?"
Bingo!
Sambil bersorak dalam hati, kamu pun mengikuti ibu muda itu masuk ke rumah. Entah dapat hoki dari mana, beberapa jam lalu kamu masih berguling-guling di ranjang karena kelaparan. Sekarang, di hadapanmu tersedia sebakul nasi panas dengan sate daging dan sambal kecapnya.
Tidak sungkan-sungkan, kamu langsung menyendok sepiring nasi dan beberapa sate sekaligus, memakannya dengan lahap. Dalam waktu singkat, makananmu ludes.
"Ayo, nambah lagi," tawar Ibu Muda.
Matamu berbinar. "Boleh?"
Dia mengangguk. Tentu saja, kamu menyendok nasi dan memakan sate itu beberapa tusuk.
"Kalau mau dibawa pulang, aku bungkuskan. Sayang kalo di sini, enggak ada yang makan."
Kamu langsung mengangguk. Lumayan untuk makan nanti malam atau besok. Dengan telaten, ibu muda itu membungkuskan nasi beserta semua satenya. Kamu langsung berpikir bahwa ibu muda itu sangat baik dan menyesal tidak membantunya saat dia sedang kesusahan. Ah, kamu jadi kepikiran. Bagaimana keadaan bayinya, ya?
Sambil mengunyah, kamu menanyakannya. "Dedek bayinya ke mana? Kok, enggak kedengaran?"
Gerakan ibu muda itu terhenti. "Itu, sedang kamu telan."
End.
Pelit.
Kamu ingat saat ada seorang ibu muda—tetangga jauh—yang memohon padamu untuk memberi pinjaman uang karena bayinya sakit. Namun, kamu lebih memilih menutup mata. Dengan alasan tidak memiliki sepeser pun uang. Padahal, akun rekening bankmu membengkak.
Ternyata, Tuhan memang Maha Pengabul ucapan. Dalam sekejap, tabungan itu ludes. Kamu terlalu sibuk memperbanyak gaya hidup, tanpa menghitung biaya hidup yang kamu butuhkan selama dirumahkan.
Sialan! makimu pada diri sendiri.
Kepalamu sakit karena tidak ada teman yang dapat menolong. Semua berdalih sedang sekarat ekonomi, tetapi tak pernah absen memposting makanan-makanan enak. Baiklah, daripada pusing dan kelaparan di rumah, kamu memilih untuk keliling kompleks. Siapa tahu bertemu kenalan dan berbasa-basi mengajak makan di rumahnya. Kamu tidak akan menolak.
Sudah satu jam kamu berjalan kaki, tidak ada satu pun kenalanmu yang lewat atau menyapa. Kembali kamu memaki dalam hati. Mengapa Tuhan begitu jahat?
Lalu, indra penciumanmu menangkap bau daging yang dibakar. Sate?
Perutmu semakin keroncongan, bunyinya pun semakin kencang terdengar. Dengan mengandalkan ketajaman indra penciuman, kamu mencari dari mana sumber sate itu dibakar. Tumben sekali tukang sate jualan siang-siang, pikirmu.
Lalu, langkahmu terhenti tepat di sebuah rumah yang lumayan kamu kenali. Rumah si ibu muda, bukan tukang sate. Perut yang berontak minta diisi, memaksa untuk bertamu. Namun, egomu menolak. Mau ditaruh di mana wajahmu jika meminta makan pada orang yang dulu tidak ingin kamu bantu?
Persetan. Kamu ingin pergi. Akan tetapi, baru saja hendak berbalik, suara ibu muda itu menghentikanmu.
"Mau ke mana? Enggak mampir dulu? Kebetulan saya lagi bikin sate."
Kamu meralat. Tuhan tidak jahat. Namun, karena rasa gengsi masih terselip, kamu berbasa-basi. "I-iya, nih. Lagi jalan-jalan sore aja," ucapmu. Menunggu ibu muda di hadapanmu kembali menawari mampir. Sayang, dia hanya tersenyum sambil menatapmu. "Ehm, aku ... beneran boleh mampir?"
Ibu muda mengangguk cepat. "Ya, ya. Aku senang kalau kamu mampir. Aku bikin banyak sate, enggak bakal habis kalau makan sendiri. Kamu mau, ya, bantuin habisin?"
Bingo!
Sambil bersorak dalam hati, kamu pun mengikuti ibu muda itu masuk ke rumah. Entah dapat hoki dari mana, beberapa jam lalu kamu masih berguling-guling di ranjang karena kelaparan. Sekarang, di hadapanmu tersedia sebakul nasi panas dengan sate daging dan sambal kecapnya.
Tidak sungkan-sungkan, kamu langsung menyendok sepiring nasi dan beberapa sate sekaligus, memakannya dengan lahap. Dalam waktu singkat, makananmu ludes.
"Ayo, nambah lagi," tawar Ibu Muda.
Matamu berbinar. "Boleh?"
Dia mengangguk. Tentu saja, kamu menyendok nasi dan memakan sate itu beberapa tusuk.
"Kalau mau dibawa pulang, aku bungkuskan. Sayang kalo di sini, enggak ada yang makan."
Kamu langsung mengangguk. Lumayan untuk makan nanti malam atau besok. Dengan telaten, ibu muda itu membungkuskan nasi beserta semua satenya. Kamu langsung berpikir bahwa ibu muda itu sangat baik dan menyesal tidak membantunya saat dia sedang kesusahan. Ah, kamu jadi kepikiran. Bagaimana keadaan bayinya, ya?
Sambil mengunyah, kamu menanyakannya. "Dedek bayinya ke mana? Kok, enggak kedengaran?"
Gerakan ibu muda itu terhenti. "Itu, sedang kamu telan."
End.
Diubah oleh tutorialhidup 04-08-2020 00:00
anton2019827 dan 11 lainnya memberi reputasi
12
2.2K
Kutip
18
Balasan
Thread Digembok
Urutan
Terbaru
Terlama
Thread Digembok
Komunitas Pilihan