- Beranda
- Komunitas
- Story
- Stories from the Heart
WARUNG GAIB
TS
Muasyaroh
WARUNG GAIB
Demi memberi nafkah keluarga, aku harus rela menjadi sales rokok. Pekerjaan ini sudah kutekuni sejak beberapa bulan lalu setelah aku terkena PHK dari tempatku bekerja dulu.
Pagi-pagi, aku harus mengambil barang dagangan, lantas menitipkan ke warung-warung. Semakin banyak warung yang dititipi, itu artinya akan semakin banyak barang yang terjual. Dengan begitu, bonusku juga semakin besar.
Sebuah warung di pinggir jalan menarik perhatian. Warung tua dengan dinding dari papan kayu terlihat masih sepi. Aku segera berhenti tepat di depannya.
“Permisi ....”
Tak ada sautan sampai beberapa kali. Sampai akhirnya muncul seseorang dari balik pintu belakang. Wanita tua dengan rambut yang telah memutih.
“Silahkan,” ucapnya.
Aku duduk di bangku yang telah disediakan. Tanpa basa-basi, kuutarakan maksud kedatanganku.
“Bu, ini saya ada rokok. Kalau saya titip di sini, apa boleh, Bu?”
“Oh. Boleh.” Pemilik warung menjawab ramah. Mendengar penuturan itu, aku cukup bahagia. Karena targetku bertambah.
“Ini sistemnya saya titip dulu. Seminggu kemudian, saya ke sini lagi. Ambil uangnya. Bisa, ya, Bu?”
“Bisa.”
“Warung Ibu ramai tidak, ya? Biar saya bisa mengira-ngira harus menitipkan berapa bungkus.”
“Ramai. Nanti banyak yang mampir, sopir-sopir, atau para pekerja. Banyak, kok.”
Peluang yang cukup besar. Wah, harusnya sejak lama, aku memperluas jangkauan. Ternyata ada warung cukup strategis. Penjualanku bisa semakin banyak.
“Sepuluh bungkus, habis, Bu?”
“Kurang itu, Mas.”
Aku tercengang mendengar ucapannya yang begitu optimis.
“Berapa kira-kira?”
“Lima puluh.”
Jumlah yang cukup fantastis. Aku mulai membayangkan keuntungan yang didapat. Jika memang benar seminggu bisa habis lima puluh bungkus, maka keuntunganku pasti besar.
“Ini beneran lima puluh habis?”
“Habis.”
“Kalau biasanya, Ibu ambil rokok di mana?”
“Di pasar.”
“Oh. Kalau gitu, sekarang Ibu nggak perlu ambil di pasar. Saya pasok, ya, Bu.”
Setelah terjadi kesepakatan, aku langsung mengambil rokok yang masih berada di atas motor. Sesuai permintaanya, 50 bungkus kutitipkan di warung itu. Sebelumnya, kami saling bertukar nomor telepon. barangkali, ada yang perlu dikomunikasikan.
***
Seminggu berlalu. Kini jadwalku mengambil uang hasil dagangan ke warung kayu pinggir jalan. Setiap harinya memang sudah kubuat jadwal. Senin ke arah selatan, selasa ke arah timur dan seterusnya. Dengan begitu, pekerjaanku akan lebih terarah.
Sampai tempat, terlihat warung masih tutup. Mungkin, pemiliknya memang belum datang. Sembari menunggu, kuputuskan ke warung lain terlebih dahulu. Warung ini bisa dikunjungi lagi, sekalian pulang.
Namun, sampai siang, warung itu masih tertutup. Aku hanya berpikir, mungkin sedang ada acara, sehingga Ibu itu tidak berjualan.
Aku memutuskan pulang ke rumah dan akan mengunjungi kembali keesokan harinya.
Di rumah, kucoba menghubungi nomor yang pernah kuminta dari pemilik warung. Nihil, ternyata nomornya tidak aktif.
"Dek, ini nomor pemilik warung, ternyata nggak aktif. Aku takut kena tipu. Padahal, rokok yang dititipkan di sana banyak. Bisa rugi aku, Dek. Kalau dia beneran nipu." Aku mengadu ke suami. 750 ribu, nominal yang cukup besar untuk kami.
"Enggaklah. Nggak mungkin nipu, Mas. Lagi pula, alamatnya jelas. Tinggal samperin ke sana."
"Tapi, tadi warungnya tutup."
"Kan, baru tutup sehari, Mas."
"Iya juga."
***
Pagi hari, aku sudah berada di depan warung. Namun, tetap saja tutup seperti kemarin. Kutunggu beberapa saat, tapi pemilik warung tak kunjung datang.
Tidak jauh dari warung itu, ada depo air minum. Aku menghampiri. Mungkin, karyawan di sana tahu di mana rumah asli pemilik warung.
"Permisi, Mas."
"Iya. Ada apa?"
"Saya mau tanya, Mas tau pemilik warung itu." Aku menunjuk warung kayu.
"Warung yang mana?"
"Itu." Sekali lagi, kutunjuk warung itu.
Kedua karyawan terlihat saling pandang. "Nggak ada warung, kok."
Aneh. Jelas-jelas, warung itu buka beberapa hari lalu. Ada banyak dagangan di sana.
"Mas, mungkin karyawan baru, ya. Jadi, nggak tau kalau ada warung di sana?"
"Enggak, Mas. Sudah tahunan kami bekerja di sini."
Aku semakin kebingungan. "Pemilik warungnya ibu-ibu. Agak tua, rambutnya sudah putih. Mungkin Mas kenal?"
"Nggak kenal, Mas. Kalau rumah kayu itu, punya Mbak Yanti. Emang dulunya mau dibikin warung, tapi belum pernah ditempati sama sekali."
Aku tertegun. Kuamati warung itu sekali lagi. Astagfirullah ... memang terlihat tak terawat. Seperti tak mungkin pernah ditempati.
Tamat ....
Nantikan cerpen-cepen ane selanjutnya, ya, Gan!
padasw dan 5 lainnya memberi reputasi
6
1.4K
7
Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama
Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan
