Kaskus

Story

Astri.zeeAvatar border
TS
Astri.zee
Ibu yang Meninggalkan Anaknya
Ibu yang Meninggalkan Anaknya

Mereka bilang aku tega. Mereka bilang aku tak punya hati. Mereka bilang nuraniku tergadai.

“Anak sekecil itu mau kamu tinggal? Tega kamu!” kata orang itu.

“Demi uang kamu tega ninggalin anakmu yang masih balita?” Lain lagi komentar yang satunya. Dia memandang sinis, sembari menggelengkan kepala.

Aku ... hanya bisa tersenyum menanggapinya. Membiarkan mulut-mulut itu kembali berujar sekehendak hati. Bahkan beberapa menambahkan dalil-dalil menurut mereka sendiri.

“Anak itu amanah. Yang harus ngasuh yang ibunya. Wong udah bikin masa gak mau ngurusin!”

“Dia itu anakmu bukan anak neneknya! Masa neneknya yang harus ngerawat!”

Itu hanya segelintir yang tersortir telinga. Lainnya masih banyak sampai aku lupa mencatatnya.

Aku tidak akan melakukan pembelaan, karena aku tahu yang mereka sampaikan benar. Iya, anak itu tanggung jawabku. Betul, harusnya aku sendiri yang mengasuh dan menemaninya hingga dewasa.

Namun, izinkan aku membuka sedikit tabir yang ada di sebaliknya. Izinkan aku mengungkapkan sebentar alasan aku harus meninggalkannya.

“Gak dapet kerjaan lagi, Mas?” Aku bertanya pada seorang pria yang baru saja memasuki rumah. Melihat raut wajahnya, aku bisa menebak jika lagi-lagi dia gagal membawa rupiah di kantungnya.

Dia menatapku sekilas, lantas duduk di karpet lusuh rumah kontrakan ini. Melepas topi yang dikenakan, dia lantas menggunakan benda itu untuk mengipasi tubuhnya.

Aku mengambilkan segelas air dari teko, meletakkan di hadapannya. Dari jarak sedekat ini, aku bisa melihat titik-titik keringat di keningnya. Pertanda bahwa dia memang kelelahan. Dan mungkin juga putus asa.

Dia meneguk air itu hingga tandas. Lantas menatapku, kali ini dengan pandangan intens. “Gak ada yang butuh tenaga kerja, Dek. Lha gimana, wong karyawannya saja banyak yang diliburkan karena covid,” ujarnya. Dia baru saja keliling pasar di dekat kecamatan sana, menawarkan jasa, entah sebagai apa saja.

Namun, ya itu, seperti tadi yang dia katakan, pandemi menyebabkan beberapa penjual meliburkan karyawan bahkan memecat karena sepi. Otomatis mereka pun tak membutuhkan orang baru.

Alhasil lagi-lagi suamiku pulang dengan tangan hampa.

Sama, lelaki itu pun korban PHK. Sudah nyaris tiga bulan dia kerja serabutan. Kadang jadi kuli panggul. Kadang bantu mencangkul. Namun, lebih sering menganggur. Kerjaan seperti sangat sulit dicari. Seakan setiap tempat yang dia datangi tak membutuhkan tenaga lagi. Pun hari ini.

“Bagaimana dengan Pak Slamet, dia gak butuh orang buat nyangkul emang?” Aku menyebut salah satu orang yang biasa menyuruh suamiku membantu mencangkul di sawahnya.

“Apalagi itu, Dek.” Pria itu menggeleng. “Harga sayur sekarang ini anjlok. Mana mau petani merugi untuk mempekerjakan buruh cangkul. Apalagi sudah ada orang yang lebih dulu kerja sama Pak Slamet. Lha aku ini apa? Cuma kadang-kadang disuruh kalau memang kekurangan tenaga,” jelasnya panjang lebar.

Aku menghela napas panjang. “Terus gimana, Mas? Bu Susi udah nagih lagi tadi pagi.” Netraku menerawang. Teringat kembali dengan kedatangan pemilik kontrakan ini tadi pagi. Dia yang meminta segera dibayar uang sewa bulan ini. Wajar memang, karena sudah lebih dari seminggu kami menunggak. Sementara jawaban kami selalu sama. “Nanti, insya Allah.”

Lalu jika Tuhan belum berkehendak menitipkan rezeki, kami bisa apa?

Belum sempat dia menjawab, obrolan kami sudah lebih dulu terinterupsi oleh si kecil yang berjalan ke arahku. Semula anak itu tengah bermain dengan robot plastik. Tapi mungkin sekarang sudah bosan, sehingga menghampiri kami. Di tangannya tergenggam botol berisi susu yang tinggal sedikit.

Aku menoleh pada lelaki itu. “Susunya juga tinggal satu kali bikin lagi, Mas,” kataku lesu.

Dia menghela napas panjang, tapi berusaha tersenyum saat si kecil menghampirinya dan mengajaknya bercanda. “Nanti aku coba pinjem ibu lagi, ya?” kata suamiku.

Aku tidak menjawab. Bukan tidak setuju, hanya ... sudah bisa menebak akan seperti apa respons wanita yang telah melahirkan suamiku itu.

***

“Dicatet lho, ya!”

Nah, benarkan pemikiranku. Selalu seperti itu tanggapan dari Ibu setiap kali kami meminjam uang. Mau seratus, dua ratus atau berapa pun, dia akan menyuruh kami mencatatnya. Seperti perlakuan penjual kepada pembelinya. Padahal uang itu untuk keperluan anaknya juga. Padahal uang itu untuk kebutuhan cucunya juga.

Lantas kalimat lain mulai terdengar, meski lirih. “Makanya kamu itu cari istri yang punya keluarga, bukan yatim piatu kayak dia. Kalau lagi kepepet kayak gini, keluargamu sendiri yang rugi,” katanya pada suamiku.

Aku yang tengah menyuapi si kecil di halaman hanya bisa menelan ludah. Berusaha seolah tak mendengar meski rasa hati tetap ada. Ada yang teriris di dalam dada.

Memangnya siapa yang mau menjadi yatim piatu?

Bukan aku yang menginginkan itu. Bukan aku yang menulis takdir hidupku sendiri.

Kupandangi dia. Si kecil yang baru genap dua tahun. Sudah tidak minum ASI, tapi tetap membutuhkan susu pengganti. Dia yang juga membutuhkan banyak makanan bergizi.

Sungguh, aku lebih banyak membelikan sayur dan daging untuknya. Jika ada sepotong daging, maka akan kupastikan si kecil dan suami yang menikmati. Sementara aku cukup puas dengan lauk kerupuk.

Sungguh, semua yang diberikan Ibu aku prioritaskan untuk anak dan suami. Aku memilih sisanya. Jika ada.

Pun aku sudah berusaha berhemat sebisanya. Lalu haruskah aku ungkapkan itu pada mertuaku?

“Kalau kamu nyari kerja susah, kenapa gak dia aja yang kerja?”

Ucapan Ibu yang terdengar lebih keras mengusikku. Lantas aku mencuri lihat ke dalam. Ingin tahu seperti apa respons suamiku.

“Kasian Dedek, dong, Bu. Dia masih kecil,” kata lelaki itu.

“Udah cukup umur itu mah. Banyak juga yang masih bayi udah ditinggal. Ya gimana, masa mau minjem uang Ibu terus? Lama-lama habis dagangan di warung Ibu gara-gara kamu pinjemin mulu,” ujar wanita itu sedikit menggebu.

Suamiku diam, tidak menjawab. Sementara aku mulai memikirkan sesuatu.

***

Kupandangi wajah damai yang tengah terlelap itu. Seraut mungil yang selalu berhasil menghipnotisku. Senyumnya yang mampu mengubah sedihku. Tawanya yang seperti pemberi suntikan semangat tersendiri.

Kukecup puncak kepalanya lama. Menyalurkan lewat bahasa tubuh betapa aku menyayanginya. Pun sebagai ungkapan bahwa aku sangat mencintainya. Bahwa sebenarnya tak sanggup untuk meninggalkannya.

Dua hari lalu, aku berunding dengan suami. Mencoba mencari solusi untuk perekonomian kami.

“Bagaimana kalau aku saja yang pergi, Mas,” usulku.

Berat. Untuk mengatakan itu aku harus berdebat dengan diri sendiri. Satu sisi mengharuskan pergi, tapi sisi lain menginginkan tetap bertahan. Karena ada anak yang harus aku asuh dan besarkan. Namun, tentu saja butuh banyak tabungan untuk melakukannya.

Aku tidak meragukan jatah rezeki dari Tuhan. Karena kehadiran dua orang itu dalam hidupku juga merupakan rezeki terbesar. Tak ternilai. Namun, untuk urusan uang, setiap orang harus berusaha kan? Barangkali memang rezeki kami memang harus ditempuh lewat jalan ini. Barangkali memang lewat tubuh ini jalan itu akan terbuka.

“Tapi bagaimana dengan anak kita?” Dia memandangku sendu. Mungkin tak tega. Mungkin juga merasa tak berguna.

“Dedek gak rewelan, Mas pasti bisa mengasuhnya. Bisa, kan, Mas?” Sebenarnya kalimat itu bermakna ganda. Satu sisi aku mencoba meyakinkan lelaki itu. Tapi sisi lain meragukannya. Bayangan jika nantinya anak itu akan terlantar entah kenapa membawa kekhawatiran tersendiri. Tak mau sampai darah dagingku kekurangan perhatian.

Dia menghela napas. “Apa kamu yakin?” tanyanya lirih.

Aku tahu dia pun sudah cukup jemu dengan semua ini. Dengan keterpurukan perekonomian kami.

“Insya Allah ...,” jawabku tak kalah lirih.

Sore itu mendung seakan menggelayuti rumah kami.

Gerakan kecil dari anak itu membawaku kembali memijak bumi. Mengembalikan kesadaran yang sempat melanglang ke kejadian dua hari silam.

Si kecil itu membuka mata. Tak bersuara. Hanya sekadar menatap. Seolah dia sedang mencoba membaca isi pikiranku. Lantas tangan itu terulur, menyentuh pipiku.

Hanya itu, tapi sukses membuat tetesan bening menuruni pipiku. Tatapan itu, sentuhan tangan lembut ini, pasti akan sangat aku rindui.

Demi Tuhan, tidak ada seorang ibu yang akan dengan sengaja meninggalkan anaknya. Jika bukan karena keadaan, pasti ada sebab kuat yang memaksanya meninggalkan si buah hati.

Biarlah mereka berkomentar sekehendak hati. Biar saja orang-orang berkata apa. Yang aku tahu memperjuangkan masa depan anakku juga adalah kewajiban. Yang aku tahu mencari rezeki untuk anak juga merupakan perwujudan ibadah pada Tuhan.

***

Aku sudah bisa memprediksi jika ini tidak akan mudah. Hidup di lingkungan baru, dengan segala sesuatu yang baru membutuhkan adaptasi ekstra. Namun, yang lebih berat dari itu tentu saja rindu ini.

Tidak masalah bekerja siang malam. Tidak menjadi soal ketika tenaga diperas serupa mesin tanpa nyawa. Badan bisa diistirahatkan. Tapi hati, siapa yang bisa mengobatinya? Siapa yang bisa meredakan rasa rindunya?

Jangankan sebulan, satu malam saja rasanya sudah sangat lama. Aku merindukan dia, buah hatiku. Rindu membelainya, rindu melihat senyum dan tingkahnya.

Sungguh, hasrat untuk kembali begitu nyata merongrong jiwa. Keinginan untuk pulang selalu ada tiap detiknya.

Namun, bayangan tangis si kecil yang meminta susu dan mainan baru mencegah semua itu. Tak sanggup jika harus melihatnya merengek hanya karena kami tak mampu membeli.

Maka yang bisa aku lakukan adalah memandangi potretnya sembari berdoa. Semoga Tuhan mempercepat semuanya. Semoga dia sehat di sana.

Mereka bilang aku tega meninggalkan anak sendiri. Namun, mereka luput mempertanyakan nasib si ibu di sini.


Tamat

Sumber gambar: pixabay.com
key.99Avatar border
robienroseAvatar border
bukhoriganAvatar border
bukhorigan dan 3 lainnya memberi reputasi
4
1.4K
5
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan