Kaskus

Story

Astri.zeeAvatar border
TS
Astri.zee
Wanita yang Jatuh Cinta Pada Aksara
Aku mencintai aksara. Aku menyukai momen ketika merangkainya menjadi barisan kata dan kalimat. Bagiku menulis adalah jalan lain menuju bahagia.

Aku ingin seperti para maestro yang karya-karyanya telah mendunia. Aku memimpikan hasil tulisanku terpajang di rak-rak buku di perpustakaan besar dan toko-toko buku terkenal. Aku mendamba pengikut yang berjibun, yang senantiasa menantikan bukuku, yang suka mengutip kalimat dalam buku itu.

Untuk mencapai itu semua, tentu aku harus berusaha, kan? Seperti mengunggah karya di platform online yang belakangan memang tengah naik daun. Beragam nama aplikasi kepenulisan mengiming-imingi dengan benefit aneka rupa. Mulai dari koin yang bisa diuangkan sampai kontrak penerbitan.

Maka, itulah yang aku lakukan, mencoba mem-posting karya di salah satu platform itu. Sudah nyaris satu bulan aku aktif di sana. Sayangnya, jumlah pembaca yang mengunjungi karyaku masih bisa dihitung dengan jari. Entah apa yang salah.

Aku menelengkan kepala, meninjau kembali hasil karya di sana. Rasa-rasanya semua sudah benar. Judul oke. Sampul menarik. Pun blurb yang mengundang penasaran. Soal promosi, aku juga sudah melakukannya, bahkan meminta pada teman-teman secara khusus untuk mendukung karyaku. Namun, hasilnya tetap sama. Tak ada peningkatan yang cukup berarti. Padahal jumlah viewers jelas menjadi magnet tersendiri, kan? Orang-orang pasti akan penasaran saat melihat jumlah pembaca ratusan ribu bahkan jutaan.

Aku memutuskan untuk melihat karya-karya yang berada di posisi teratas. Judul-judul yang kerap nangkring di beranda. Mereka yang jumlah pengunjungnya membuat ileran sekaligus takjub. Bagaimana hal itu bisa terjadi?

Alisku berjengit saat menyadari sesuatu. Beberapa karya itu terdapat tanda khusus. Sebuah warning untuk usia delapan belas tahun ke atas. Ada juga yang menulisnya dua satu plus.

Apa mungkin itu menjadi salah satu penyebab?

Selain itu, dari segi kover, pun cukup mewakili arti tanda warning itu.

Aku memutuskan untuk membuka salah satu karya. Detik selanjutnya mataku membelalak karena apa yang aku baca. Paragraf pembuka cerita itu berisi adegan—ng ... apa kata yang sopan untuk menyebutnya, ranjang atau adegan yang biasa dilakukan pasangan halal? Yang jelas penggambarannya sedetail itu.

Baru membaca beberapa paragraf, tubuhku merinding. Menelan ludah kelat, aku memutuskan untuk menutup cerita pertama. Lantas beralih ke judul kedua. Sampulnya nyaris serupa gambar entah artis mana dengan pakaian yang ala kadarnya.

Pada bagian pembuka, setelah blurb terdapat peringatan dari penulisnya yang mengatakan bahwa cerita tersebut berisi adegan untuk dewasa. Jadi, diharapkan yang masih di bawah umur tidak melanjutkan membaca. Entah itu nyata-nyata peringatan atau justru cara lain menarik pembaca karena jumlah pengunjungnya lagi-lagi membuat iri.

Tercenung, telunjukku mengetuk-ketuk meja kayu di mana laptopku berada. Dalam hati mulai menerka. Bisa jadi hal itulah salah satu pemicu sebuah karya banyak peminatnya. Lalu ... haruskah aku melakukan hal yang sama?

***
“Bikin cerita lagi?”

Aku terkesiap saat suara itu terdengar. Buru-buru keluar dari aplikasi menulis. Lantas mencoba menarik sudut-sudut bibir pada lelaki itu. Tersenyum. “H-hai,” kataku.

Entah aku yang terlalu fokus menulis sampai tidak mendengar suara langkahnya atau memang jalannya sepelan itu, sehingga tahu-tahu dia sudah berada cukup dekat denganku di halaman belakang rumah ini.

Sebelah alisnya terangkat, membuat kerutan menghiasi dahi. “Kamu kenapa? Kok kayak kaget gitu?” Lelaki itu menarik kursi di depanku. Duduk di sana.

Menggeleng, aku buru-buru berujar, “Eng-gak. Cuman ... agak kaget aja, kamu gak ngasih tau kalau mau ke sini.” Aku mengusap tengkuk, melirik ponsel di samping laptop yang seingatku tak ada getaran atau bunyi notifikasi.

“Abis meeting, sekalian mampir,” ujarnya. Lantas mencondongkan tubuh ke arahku, lebih tepatnya ke arah laptop. “Mana?” tanyanya.

“Apa?”

“Bukannya lagi nulis?”

Aku menggigit bibir bawah. Dalam hati merutuk, kenapa tadi aku keluar aplikasi? Harusnya menutup file-nya saja dan mengganti dengan dokumen lain. “Itu ....” Lagi, aku mengusap tengkuk, “lagi baca-baca naskah lama aja sih, tadi.”

Keningnya kembali berkerut kali ini lebih dalam. Lantas dia memicing, “Apa yang coba kamu sembunyiin?”

Duh! Harus aku jawab apa pertanyaan itu?

“Gak ada apa-apa kok.” Kepalaku menggeleng dua kali, tapi setelah itu mengangguk tanpa kusadari.

Dia mendengkus tawa. Lalu menatapku lekat. “Coba siniin laptopnya?”

Aku menggeleng berulang, sembari menarik benda itu ke arahku.

“Rara!” serunya, seolah isyarat bahwa aku harus menurutinya.

Orang di depanku, namanya Aksa, calon suami, ah, lebih tepatnya calon tunangan, karena kami baru akan resmi bertunangan satu minggu dari sekarang. Selain mendapat gelar sebagai calon pendamping hidup, dia juga menjadi first reader karya-karyaku. Biasanya sebelum mengunggah tulisan ke publik, aku akan lebih dulu meminta pendapatnya.

Tidak. Dia bukan penulis atau editor, atau profesi lain yang berkaitan dengan literasi. Dia seorang pebisnis yang sayangnya punya hobi mengkritisi tulisanku. Hanya tulisanku.

Jika ditanya siapa orang yang paling banyak memberi suntikan semangat untukku, maka Aksa orangnya. Dia yang mengapresiasi karyaku pertama kali. Dia yang selalu menepuk pelan puncak kepalaku sembari berkata, “Gak papa, belum rezeki,” tiap kali aku gagal menembus penerbit atau tidak lolos sebuah kompetisi. Pun dia juga yang akan mengucapkan selamat dam memberi hadiah khusus jika karyaku masuk antologi. Meski masih bisa dihitung dengan jari.


Tidak ada yang aku sembunyikan darinya. Sampai dia hafal karakter tulisanku. Sampai kadang kami berdebat hanya karena urusan sebuah adegan. Misalnya saat aku menuliskan tentang seorang gadis yang mendadak panas dingin dan gagu tiap bertemu pujaan hatinya. Aksa tidak setuju hal itu.


“Lebay, ah. Masa segitunya? Setauku kalau ada orang yang disukai, harusnya didekati,” protesnya.

Aku berdecak. “Ya beda dong cowok sama cewek, mah. Apalagi tokoh aku ini punya karakter super pemalu. Udah gitu itu first love, pasti beda sensasi,” terangku, menggebu.

Dia menjebik, “Masa, sih? Kamu sendiri gimana?”

“Aku?”

“He’em.” Dia mengangguk. “Gimana sensasi yang kamu rasain pas ada aku, pas jatuh cinta sama aku?”


Sontak wajahku memanas karena pertanyaannya. “Apaan, sih. Orang lagi bahas tokoh fiksi.” Aku menunduk, mencoba menyembunyikan wajah yang entah sudah semerah apa.

“Nah, sekarang aku percaya.”

“Apa?” Aku kembali mengangkat kepala.

Dia tidak langsung menjawab, membiarkan kami saling tatap beberapa saat. “Kalau cewek yang lagi jatuh cinta tuh suka blushing pas ngadepin cowok yang disuka. Kayak kamu,” ujarnya sembari menepuk pelan puncak kepalaku.

Ya, aku memang secinta itu pada Aksa.

Pernah satu kali aku bertanya kenapa dia menyukai gadis yang senang berkhayal sepertiku. Gadis yang suka tertawa dan menangis sendiri. Gadis yang lebih suka menciptakan dunianya sendiri ketimbang berkumpul dengan orang-orang di dunia nyata.

“Gak ada yang salah sama pekerjaan kamu,” ujarnya. “Justru menulis itu bisa menjadi jembatan kebaikan. Kamu bisa menebar manfaat dari sana. Bisa nularin hal positif buat pembaca.”

“Kalau suatu saat aku melenceng gimana? Bukan kebaikan yang aku tulis?”

...

“Siniin, Rara!”

Suara bernada perintah itu kembali membawaku ke bumi. Menatap kembali lelaki yang aku cintai. Jika dia membaca ini, akankah Aksa masih mencintaiku?

Tapi aku juga tidak mungkin menyembunyikan ini darinya. Dia mengenalku sangat baik, bahkan mungkin lebih dari diriku sendiri. Seperti saat ini, dia bisa tahu dengan mudah jika aku tengah berbohong.

“Janji ya, kamu gak bakal marah?” Aku mencoba bernegosiasi terlebih dahulu. Menyiapkan pelindung diri sebelum ledakan yang mungkin terjadi.

“Kenapa harus marah? Memangnya apa yang kamu tulis?”

“Janji dulu!” tuntutku, masih mempertahankan salah satu alat elektronik itu di areaku.

Dia berdecak. “Oke,” ujarnya kemudian yang membuat senyumku mengembang.

“Janji, ya.” Namun, aku masih menuntutnya sekali lagi sebelum benar-benar menggeser laptop itu.

Dia hanya menanggapi dengan gumaman, telihat tak sabar. Mungkin karena keburu penasaran atau karena tingkahku barusan.

Pelan, aku mengubah posisi benda persegi empat itu. Yang segera disambut cepat oleh pemuda yang duduk di depanku ini. Aku tidak perlu menunjuk file-nya, karena dia sudah hafal mana-mana saja tulisan yang pernah dia singgahi. Pun yang mana yang merupakan tulisan terupdate.

Harap-harap cemas aku memperhatikannya. Melihat dengan saksama perubahan raut wajah yang terjadi. Awalnya sebelah alisnya terangkat, lalu pangkal hidungnya mengernyit, lalu kerutan di dahinya makin dalam. Lantas umpatannya menggelegar.

“Kamu gila?!”

Aku berjengit saat kalimatnya terlontar. Dugaanku benar, dia tidak menyukainya. Tapi, bukankah tadi dia sudah berjanji untuk tidak marah?

“Tu kan, marah,” rengekku, mencoba membuatnya tersentuh, “tadi kan, janji gak bakal marah?”

“Tapi ini emang pantas bikin marah, Rara!” Telunjuknya mengarah ke layar di depannya. Tatapannya menghunjam netraku.

Aku sedikit meredupkan tatapan, menggeser duduk ke belakang, hingga mentok sandaran kursi. Lantas ketika teringat alasanku membuat cerita itu, aku mulai bersuara setelah berdehem terlebih dahulu. “Ijinin aku jelasin dulu. Plis!” Kedua telapak tanganku saling menangkup di depan tubuh.

Dia menggerakkan kepala, isyarat bahwa dia memperbolehkan meski setengah hati mungkin.

Lagi aku berdehem, sejenak memandang jus jambu di sudut meja. Berhasrat membasahi tenggorokan dengan itu. Namun sadar, ini bukan saat yang tepat untuk meneguk minuman. Akhirnya saliva menjadi pengganti.

“Kemarin aku dah riset, tulisan kayak gitu tuh banyak peminatnya. Semacam magnet tersendiri. Mungkin karena memacu adrenalin.” Menjeda kalimat, aku menatapnya yang masih setegang itu.

Lantas aku melanjutkan dengan mencoba memilih kata yang tepat. “Tapi di tulisanku itu cuma pembuka kok. Suer!” Jari telunjuk dan tengahku membentuk huruf V. Tanda bahwa aku sungguh-sungguh mengucapkannya.

Tapi sepertinya itu tidak berpengaruh. Ekspresinya masih sama. Datar mendekati marah malah.

“Dan ada pesan moralnya, pasti!” Kali ini aku memberi penekanan pada kata terakhir. Karena memang itu yang akan aku lakukan, mencantumkan pesan moral pada tiap cerita.

Dia masih belum bersuara.

Aku menunduk, memainkan jemari di atas pangkuan.

“Aku gak ngeraguin jalan cerita yang kamu bikin ....”

Sedikit lega saat suara bass itu akhirnya keluar. Pelan, aku mengangkat kepala.

“Karena aku tau kamu mumpuni dalam hal itu. Selalu ada hikmah dan pelajaran yang bisa diambil.”

Baru saja aku akan tersenyum saat dia kembali berujar. Ujaran yang menohok jantungku.

“Tapi aku gak nyangka kamu bikin scene murahan kayak gini!”

Lagi aku menunduk, menggigit bibir bawah. Ya, setelah membaca beberapa judul cerita kemarin, aku memutuskan untuk mencoba. Susah tentu saja. Karena aku belum pernah menuliskan adegan seperti itu. Berulang kali ketik hapus. Bahkan sempat ingin menyerah. Namun, saat teringat alasan awalku membuatnya, aku kembali mencoba. Hasilnya 350 lebih kata telah aku goreskan. Pun aku masih ragu, tulisan itu akan menarik minat atau tidak. Tapi melihat ekspresi lelaki itu sepertinya cukup berhasil. Sayangnya, untuk dia berhasilnya dalam arti yang berbeda.

“Aku cuma lagi usaha kok, siapa tau dengan begini pembacaku bertambah,” lirihku, masih takut menatapnya.

Dengkusan kasar terdengar disusul tawa hambar darinya. “Serius kamu rela masuk jurang cuma demi segelintir pembaca?”

Kali ini entah kenapa dadaku bergemuruh. Semacam perasaan tak suka dengan kalimat pertamanya. Apa maksudnya rela masuk jurang? Dia pikir aku mau bunuh diri?

“Maksudnya apa?”

“Dengan kamu bikin adegan kayak gini itu sama aja kamu gali lubang sendiri. Mereka bakal tau sebatas apa level karyamu. Dan yang lebih penting, Rara ....” Dia menatapku tajam. “Ini juga bisa jadi catatan amal burukmu.”

Mulutku separuh terbuka tak menyangka dia akan melontarkan kalimat itu. “Udah kayak ustad aja. Tau bener mana amal baik dan buruk.” Setengah berbisik aku mengatakan itu. Pun tidak berani menatapnya.

“Rara, tatap aku!”

Awalnya aku enggan mengikuti maunya, tapi saat kembali terdengar panggilan itu, mau tidak mau aku menatapnya. Bersirobok dengan sepasang iris sepekat malam.

“Kamu tau apa yang dirasakan pembaca saat membaca cerita?”

Alisku berjengit, tak menjawab, karena tahu dia tak butuh jawaban dariku.

“Berimajinasi,” lanjutnya, “Kami membayangkan apa yang penulis tulis. Secara spontan akan terbentuk rangkain adegan seperti di cerita itu.” Dia menarik napas panjang. “Lalu kira-kira apa yang ada dalam bayangan kami saat membaca cerita seperti yang kamu tulis ini?”

Aku menelan ludah, mulai menangkap maksud perkataannya. Karena jujur saja aku pun begitu saat menuliskannya. Mendadak tubuhku merinding.

“Dan apa dampak terburuknya?” tanyanya lagi.

Aku tidak menjawab, tapi menanti dia yang membeberkan sendiri.

“Jika tadi aku terangsang, bukan tidak mungkin aku akan merudapaksamu saat itu juga Rara!”

Netraku membelalak. Tanganku refleks menutupi tubuh bagian depan. “Apaan sih? Kok jadi nakutin gitu?”

“Aku gak nakutin. Itu kemungkinan yang sangat bisa terjadi. Bukan hanya sama aku, tapi juga sama orang lain,” ucapnya menggebu.

Menunduk dalam, aku menautkan jemari di bawah meja. Ada rasa malu dan tak enak di dalam sini. “Aku kan cuma pengen pembacaku nambah,” lirih, ucapanku nyaris menyerupai gumaman untuk diri sendiri.

“Tapi kamu salah jalan, Ra. Bukannya kamu sendiri yang sering ngomong kalau tiap tulisan tuh akan berjodoh dengan pembacanya?”

Aku mengangguk. Benar aku pernah mengatakan itu.

“Kalau kamu bikin tulisan kayak gini, kira-kira pembaca seperti apa yang kamu dapat?”

Menunduk dalam, aku tak berani menatapnya. Lantas perasaan cemas mulai merambati hati. Apa setelah ini Aksa akam membenciku? Apa dia akan membatalkan rencana pertunangan itu?

“Maaf,” ucapku kemudian, “janji gak diulangin lagi.” Aku masih menunduk.

“Kenapa minta maaf?”

“Kan kamu marah?” Aku mencuri lihat ke arahnya sebentar.

“Bukan sama aku minta maafnya. Tapi ke diri kamu sendiri, Rara.”

***
Satu tahun kemudian

Gemuruh suara tepuk tangan membahana di auditorium hotel ini. Kilatan lampu blitz tumpang tindih. Seolah saling berkejaran mengambil gambar.

Sungguh, aku tidak pernah menyangka akan berada dalam momen ini. Dulu, hal seperti ini hanya bisa aku impikan.

Bahkan aku masih akan menganggap ini khayalan jika kilat kamera itu tak menyilaukan mataku. Hal yang membuatku yakin jika ini nyata. Jika orang-orang di depanku ini benar adanya.

“Mbak Rara dapat inspirasi dari mana menulis buku ini?”

Ya, ini adalah acaraku. Bedah buku perdana karya Rara yang terbit. Sebuah cerita yang telah dibaca jutaan kali di sebuah platform menulis.

“Dari kehidupan sehari-hari,” jawabku.

Jangan tanya bagaimana perasaanku. Ini benar-benar amazing. Apa yang aku rasakan antara deg-degan karena nervous, dan berdebar karena bahagia. Pun haru. Semua bercampur jadi satu.

“Kenapa tertarik mengangkat tema pergaulan bebas?” Lagi pertanyaan datang.

Sejenak aku diam, menatap para hadirin satu per satu. Mereka yang membawa bukuku. Lantas berujar, “Karena pergaulan mereka perlu diselamatkan.”

“Apa gak takut banyak protes dari anak jama now, Mbak Rara?”

Pertanyaan itu membuatku mengulum senyum. Lantas menggeleng. “Enggak. Karena saya percaya tiap tulisan punya jodoh pembacanya masing-masing.”

Gemuruh tepuk tangan kembali mengisi ruangan.

Satu lagi orang mengangkat tangan, bertanya. “Menjadi penulis apakah impian Mbak Rara?”

Setiap orang tentu punya profesi yang didambakan. Sebuah pekerjaan impian yang akan dijalani dengan suka cita, dilakukan dengan sepenuh hati. Pun diperjuangkan dengan tekad baja.

Menjadi penulis adalah pekerjaan impianku. Meski awalnya hanya sebatas mencari kesenangan, tapi tentu lebih membahagiakan manakala bisa dijadikan profesi dan sumber penghasilan. Lantas saat orang-orang bertanya, akan dengan lantang aku jawab, “Pekerjaanku adalah penulis.”

Dan begitu juga dengan profesi lain.

Jalan setiap orang untuk mendapatkan pekerjaan itu tentu juga berbeda. Pernah gagal, pernah salah, dan ingin menyerah.

Untuk aku sendiri pun pernah mencicipi semua itu. Gagal dalam event kepenulisan. Bahkan gagal mengeksekusi karya karena malas melanda.

Pernah ingin menyerah saat pembaca tidak bertambah. Bahkan pernah melakukan kesalahan. Tapi justru itu yang menjadi titik balik. Hal yang mungkin tidak akan pernah aku lupakan. Karena dari sanalah karya ini tercipta.

“Ya, penulis adalah profesi impian saya,” jawabku mantap.

Lagi, tepuk tangan bersahutan.

“Lalu adakah orang yang berjasa dalam karya ini?”

Senyumku kembali terkulum. Sepertinya itu disadari oleh mereka karena seseorang kembali mengajukan tanya, “Apa orang itu yang berinisial A seperti yang disebutkan dalam ucapan terima kasih si buku ini?”

Aku mengangguk. “Iya, dia orangnya.”

“Cieee!” kompak mereka berseru.

“Boleh tau gak, Mbak?”

“Orangnya ada di sini gak, Mbak?”

“Dia ....” Pandanganku lurus ke depan. Bukan pada barisan hadirin itu, tapi pada seorang lelaki di luar sana. Lelaki yang lebih suka memantau keberadaanku dari jauh. Lelaki yang enggan menampakkan diri ke depan khalayak. Dia yang lebih suka menyembunyikan jati dirinya.

“Dia gak ada di sini.” Jawabanku membuat mereka mendesah kecewa.

***
Senyumku terkembang lebar saat melihatnya. Lelaki dengan buket bunga besar di tangan. Dia yang selalu menjadi yang pertama dalam karyaku, tapi memilih menjadi yang terakhir mengucapkan selamat hari ini. Dia yang enggan aku tuliskan nama lengkapnya dalam buku.

Dia Aksa.

“Selamat, Rara,” ucapnya.

“Terima kasih.” Aku menerima buket bunga lily putih itu. Lantas kembali bersuara. “Terima kasih sudah mendukungku sampai sejauh ini. Terima kasih sudah mengingatkan untuk kesalahanku dulu.”

*
“Kalau suatu saat aku melenceng gimana? Bukan kebaikan yang aku tulis?”

“Aku yang akan ngingetin kamu, Rara.”



End

Sumber gambar: pixabay


Wanita yang Jatuh Cinta Pada Aksara
Diubah oleh Astri.zee 17-07-2020 13:02
brina313Avatar border
adlantaAvatar border
khozaniahAvatar border
khozaniah dan 8 lainnya memberi reputasi
9
1.4K
14
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan