- Beranda
- Komunitas
- Story
- Stories from the Heart
RomansaCintaBerdarah


TS
firsaf05
RomansaCintaBerdarah
Kumcer romance

Dor! Dor!
Suara tembakan menggema di udara. Membuat siapa pun yang mendengarnya akan didera rasa takut yang menggila. Purnama yang enggan berbagi cahaya, seolah menambah ketegangan suasana. Orang-orang mulai berlarian menuju sumber kegaduhan, sebuah rumah mewah bercat hijau muda.
“Sekali saja Kau langkahkan kaki, jangan pernah menyesal jika akhirnya peluru ini bersarang di kepala ayah!” seru seorang lelaki berperawakan tinggi besar. Matanya berkilatan menunjukkan amarah.
Amelia bergeming. Dilepaskannya genggaman dari tangan sang kekasih. Air matanya menderas. Tak sanggup memilih. Ayah yang ia sayangi atau Arman--lelaki yang ia cintai.
Adakah yang lebih berat dari ini? Ketika cinta terhalang oleh restu orang tua. Lantas keadaan mendesak, untuk segera menentukan sikap.
“Kumohon, Om! Aku mencitai Amel. Izinkan aku menikahinya.” Arman bersuara parau. Pertahanannya runtuh. Tubuh yang sudah lemas akibat terkena pukulan bertubi-tubi, mulai luruh ke lantai, bersamaan dengan harga diri yang jatuh berserak. Tak peduli pada berapa pasang mata yang menyaksikan. Ia bersimpuh di kaki ayah sang kekasih. Bersujud mengiba.
Pak Bimo bergeming, tak menggubris sama sekali. Hatinya seolah membatu. Ia malah membuang pandangan, lantas bergegas menarik tangan Amelia. Memaksa gadis itu masuk ke dalam rumah. Kemudian hanya suara bantingan pintu yang terdengar.
Arman terpekur. Bangkit, lalu menghapus cairan hangat di sudut mata. Gurat kesedihan terlukis jelas dari wajahnya. Arman berlalu, meninggalkan rumah gadisnya. Ia melangkah gontai. Sebuah godam besar seolah tengah dibebankan di pundaknya. Satu per satu, fase yang pernah mereka lalui bersama terputar kembali dalam ingatannya.
***
Arman dan Amelia adalah teman sepermainan. Masa kanak-kanak mereka lalui penuh kenangan. Hingga waktu mendewasakan mereka, cinta pun tumbuh tanpa terduga.
Ya, cinta memang sering kali tumbuh subur, dari benih bernama kebersamaan. Seiring waktu yang semakin menua, rasa itu akhirnya semakin kokoh terpupuk dalam jiwa.
“Aku mencintaimu, Mel. Maukah kau jadi pasanganku?” Arman mengungkapkan perasaan malu-malu.
Amelia, gadis berparas ayu itu tersipu. Rambut lurusnya yang tergerai panjang berterbangan, tersapu angin sepoi di pinggiran Sungai Musi. Ia mengangguk perlahan dengan rona di pipi yang semakin memerah.
Senja itu, dua sejoli yang tengah dimabuk asmara saling mengungkap rasa. Di bawah Jembatan Ampera yang membentang gagah, mereka memadu kisah. Jembatan yang menjadi ikon kota Palembang itu, seolah menjadi saksi atas ikrar yang akan mereka bina.
Seperti pasangan lainnya. Arman, dan Amelia sering menghabisakan waktu berdua. Bunga-bunga cinta terus tumbuh bermekaran. pertemuan mereka semakin intens terjadi. Layaknya lem, dan perangko. Keduanya sulit terpisahkan. Hingga akhirnya menjadi bahan gunjingan para tetangga.
***
Tak butuh waktu lama. Kabar tentang kedekatan Amelia, dan Arman akhirnya terdengar sampai ke telinga Pak Bimo. Ia meradang. Sebagai pengusaha sukses nan kaya, Ia tak sudi sang anak menjalin cinta dengan pria biasa seperti Arman.
“Kamu sudah buat malu Papa, Mel! Kita ini kalangan kelas atas. Jangan mencoreng nama baik keluarga dengan mencintai anak tukang gorengan itu!” bentaknya kasar.
“Amel mencintai Arman, Pa. Apa yang salah dari itu?” Gadis bermata cokelat itu terisak.
“Cinta katamu? Kamu mencintai orang yang salah. Masih banyak laki-laki yang pantas untukmu. Biar Papa carikan. Awas, jangan berani menemui pria miskin itu lagi!” ancam Pak Bimo emosi.
Sejak hari itu, keadaan berubah drastis. Arman, dan Amelia mulai sulit untuk bertemu. Kemana pun gadis itu pergi, selalu diantar dan ditemani oleh sopir pribadi. Juga beberapa bodyguard suruhan Pak Bimo.
Pernah, Arman nekad mendatangi rumah Amelia di malam hari. Video call tak pernah cukup untuk mengobati rasa rindu yang menyiksanya. Ia mengendap-endap melompati pagar, lalu saling melepas rindu dari balik jendela.
Sekali, dua kali, masih aman. Kali ke tiga, Arman tertangkap basah. Jangan tanya apa yang terjadi. Orang-orang suruhan Pak Bimo menghujaninya dengan pukulan membabi buta. Arman tak berdaya, seperti seorang pesakitan yang pasrah menerima hukuman. Jika pun harus mati, maka Ia rela mati demi cinta.
Tangis Amelia pecah, melihat sang pujaan hati terkulai lemah.
“Ampun, Pa. Amel mohon, ampuni Arman!”
“Masuk ke kamar sana! Nggak usah ikut campur. Biarkan pria tak punya otak itu menjemput ajalnya!” Pak Bimo berteriak gusar.
“Amel janji nggak akan berhubungan dengan Arman lagi, Pa. Lepaskan, biarkan dia pulang.” Gadis berkulit putih itu bersuara lirih, nyaris tak terdengar.
“Apa Papa bisa pegang janjimu, Mel? Kau seirus?” ucap Pak Bimo semringah.
Amel mengangguk lemah. Ke dua tangannya menutup mulut rapat-rapat. Mencoba menahan isak yang mencekat tenggorokkan.
“Masuklah ke kamarmu! Orang-orang Papa akan mengantarkan pria tak tau diri itu pulang ke rumahnya.”
***
Arman terjaga dari lelapnya. Entah sudah berapa lama ia tertidur. Dipandangnya sekeliling. Dahinya mengernyit, sejak kapan ia berada di ruangan putih yang didominasi bau obat menyengat. Saat mencoba bangkit, tubuhnya merasakan sakit yang amat dahsyat. Belulangnya seolah remuk. Arman mengerang hebat.
“Arman ... sudah bangun, Nak. Jangan banyak bergerak dulu, badanmu penuh luka dan lebam. Beruntung tak ada yang patah.” Ainun mengusap sisa air mata yang masih basah. Wanita yang telah melahirkan Arman ke dunia itu, merasa hancur melihat keadaan sang putra.
“Ibu menangis?” tanya Arman cemas. Dengan cepat, wanita berjilbab biru langit itu menggelengkan kepala. Memasang senyum manis untuk putranya.
“Bu, Amel, Bu. Dia tak ingin bertemu denganku lagi. Ambilkan ponselku, aku ingin menelponnya!" Seperti seorang bocah kecil, Arman merengek di hadapan sang ibu.
“Sudah cukup, Nak. Jangan sebut nama gadis itu lagi! Lihatlah apa yang sudah ayahnya perbuat padamu. Pada keluarga kita!” Kali ini Ainun berucap penuh penekanan. Menahan titik-titik embun yang siap tumpah kapan saja dari sudut mata tuanya.
“Demi Amel, aku rela melakukan apa pun, Ibu. Seribu kali luka lebam masih sanggup kutahan. Tapi tidak untuk kehilanganya. Aku tak sanggup.”
“Apa yang bisa kau harapkan darinya lagi, Nak? Tanggal pertunangannya dengan lelaki kaya sudah di tetapkan.”
Arman tercekat. Bibirnya kelu, tak mampu berucap. Laksana gerimis, titik-titik air mulai berjatuhan dari sudut matanya. Menangis, adalah satu-satunya hal yang mampu mewakili luka hati tak terperi.
Detik berikutnya, wajah Arman mendadak berubah. Cepat-cepat ia mengusap kasar sisa air mata. Kini manik matanya menyorotkan api amarah yang berkobar-kobar. Senyum sinis mengembang dari sudut bibir.
***
Di sinilah Arman kini. Di sudut ruangan yang gelap, pengap, lagi lembab. Pria yang berusia belum genap dua puluh lima itu termenung memeluk lutut. Sesekali menjambaki rambutnya sendiri, yang terlihat mulai memanjang tak terawat. Tak jarang gemelatuk suara giginya, menjadi nada pengusir kesepian. Besarnya rasa sesal perlahan menggerogoti akal sehatnya.
Tentu saja bukan penyesalan namanya jika tak datang di akhir kisah.
Peristiwa malam itu sama sekali tak bisa lepas dari ingatan Arman. Bahkan, saat mencoba untuk memejamkan mata, potongan-potongan adegan mengerikan itu terus berputar di kepalanya. Ingatan yang sama sekali tak membiarkan Arman untuk hidup dengan tenang.
***
Malam itu, Amelia terlihat menawan dengan balutan dres berwarna gold. Sebuah liontin berlian berkilaun menghiasi lehernya yang jenjang. Di sebelahnya, seorang lelaki berhidung mancung khas Timur Tengah tersenyum memikat.
Arman merangsek masuk, menerobos barisan penjaga yang menghalangi. Hatinya memanas, melihat lelaki lain melingkarkarkan cincin di jari manis Amelia, kekasihnya.
Secepat bayangan, sebuah pisau silver menembus dada Amelia. Sekali, dua kali, tiga kali, tikaman benda tajam itu berhasil menghentikan detak jantung sang gadis.
“Selamat tinggal, Sayang. Jika kau tak jadi milikku, maka tak ada orang lain yang bisa memilikimu.” Arman terduduk. Tangisnya luruh, menyatu dengan merahnya darah yang menggenang.
Cinta, nyatanya bisa membutakan hati dan logika. Impian untuk sebuah mahligai bahagia, justru hanya menjadi petaka, romansa cinta berdarah.
END

Dor! Dor!
Suara tembakan menggema di udara. Membuat siapa pun yang mendengarnya akan didera rasa takut yang menggila. Purnama yang enggan berbagi cahaya, seolah menambah ketegangan suasana. Orang-orang mulai berlarian menuju sumber kegaduhan, sebuah rumah mewah bercat hijau muda.
“Sekali saja Kau langkahkan kaki, jangan pernah menyesal jika akhirnya peluru ini bersarang di kepala ayah!” seru seorang lelaki berperawakan tinggi besar. Matanya berkilatan menunjukkan amarah.
Amelia bergeming. Dilepaskannya genggaman dari tangan sang kekasih. Air matanya menderas. Tak sanggup memilih. Ayah yang ia sayangi atau Arman--lelaki yang ia cintai.
Adakah yang lebih berat dari ini? Ketika cinta terhalang oleh restu orang tua. Lantas keadaan mendesak, untuk segera menentukan sikap.
“Kumohon, Om! Aku mencitai Amel. Izinkan aku menikahinya.” Arman bersuara parau. Pertahanannya runtuh. Tubuh yang sudah lemas akibat terkena pukulan bertubi-tubi, mulai luruh ke lantai, bersamaan dengan harga diri yang jatuh berserak. Tak peduli pada berapa pasang mata yang menyaksikan. Ia bersimpuh di kaki ayah sang kekasih. Bersujud mengiba.
Pak Bimo bergeming, tak menggubris sama sekali. Hatinya seolah membatu. Ia malah membuang pandangan, lantas bergegas menarik tangan Amelia. Memaksa gadis itu masuk ke dalam rumah. Kemudian hanya suara bantingan pintu yang terdengar.
Arman terpekur. Bangkit, lalu menghapus cairan hangat di sudut mata. Gurat kesedihan terlukis jelas dari wajahnya. Arman berlalu, meninggalkan rumah gadisnya. Ia melangkah gontai. Sebuah godam besar seolah tengah dibebankan di pundaknya. Satu per satu, fase yang pernah mereka lalui bersama terputar kembali dalam ingatannya.
***
Arman dan Amelia adalah teman sepermainan. Masa kanak-kanak mereka lalui penuh kenangan. Hingga waktu mendewasakan mereka, cinta pun tumbuh tanpa terduga.
Ya, cinta memang sering kali tumbuh subur, dari benih bernama kebersamaan. Seiring waktu yang semakin menua, rasa itu akhirnya semakin kokoh terpupuk dalam jiwa.
“Aku mencintaimu, Mel. Maukah kau jadi pasanganku?” Arman mengungkapkan perasaan malu-malu.
Amelia, gadis berparas ayu itu tersipu. Rambut lurusnya yang tergerai panjang berterbangan, tersapu angin sepoi di pinggiran Sungai Musi. Ia mengangguk perlahan dengan rona di pipi yang semakin memerah.
Senja itu, dua sejoli yang tengah dimabuk asmara saling mengungkap rasa. Di bawah Jembatan Ampera yang membentang gagah, mereka memadu kisah. Jembatan yang menjadi ikon kota Palembang itu, seolah menjadi saksi atas ikrar yang akan mereka bina.
Seperti pasangan lainnya. Arman, dan Amelia sering menghabisakan waktu berdua. Bunga-bunga cinta terus tumbuh bermekaran. pertemuan mereka semakin intens terjadi. Layaknya lem, dan perangko. Keduanya sulit terpisahkan. Hingga akhirnya menjadi bahan gunjingan para tetangga.
***
Tak butuh waktu lama. Kabar tentang kedekatan Amelia, dan Arman akhirnya terdengar sampai ke telinga Pak Bimo. Ia meradang. Sebagai pengusaha sukses nan kaya, Ia tak sudi sang anak menjalin cinta dengan pria biasa seperti Arman.
“Kamu sudah buat malu Papa, Mel! Kita ini kalangan kelas atas. Jangan mencoreng nama baik keluarga dengan mencintai anak tukang gorengan itu!” bentaknya kasar.
“Amel mencintai Arman, Pa. Apa yang salah dari itu?” Gadis bermata cokelat itu terisak.
“Cinta katamu? Kamu mencintai orang yang salah. Masih banyak laki-laki yang pantas untukmu. Biar Papa carikan. Awas, jangan berani menemui pria miskin itu lagi!” ancam Pak Bimo emosi.
Sejak hari itu, keadaan berubah drastis. Arman, dan Amelia mulai sulit untuk bertemu. Kemana pun gadis itu pergi, selalu diantar dan ditemani oleh sopir pribadi. Juga beberapa bodyguard suruhan Pak Bimo.
Pernah, Arman nekad mendatangi rumah Amelia di malam hari. Video call tak pernah cukup untuk mengobati rasa rindu yang menyiksanya. Ia mengendap-endap melompati pagar, lalu saling melepas rindu dari balik jendela.
Sekali, dua kali, masih aman. Kali ke tiga, Arman tertangkap basah. Jangan tanya apa yang terjadi. Orang-orang suruhan Pak Bimo menghujaninya dengan pukulan membabi buta. Arman tak berdaya, seperti seorang pesakitan yang pasrah menerima hukuman. Jika pun harus mati, maka Ia rela mati demi cinta.
Tangis Amelia pecah, melihat sang pujaan hati terkulai lemah.
“Ampun, Pa. Amel mohon, ampuni Arman!”
“Masuk ke kamar sana! Nggak usah ikut campur. Biarkan pria tak punya otak itu menjemput ajalnya!” Pak Bimo berteriak gusar.
“Amel janji nggak akan berhubungan dengan Arman lagi, Pa. Lepaskan, biarkan dia pulang.” Gadis berkulit putih itu bersuara lirih, nyaris tak terdengar.
“Apa Papa bisa pegang janjimu, Mel? Kau seirus?” ucap Pak Bimo semringah.
Amel mengangguk lemah. Ke dua tangannya menutup mulut rapat-rapat. Mencoba menahan isak yang mencekat tenggorokkan.
“Masuklah ke kamarmu! Orang-orang Papa akan mengantarkan pria tak tau diri itu pulang ke rumahnya.”
***
Arman terjaga dari lelapnya. Entah sudah berapa lama ia tertidur. Dipandangnya sekeliling. Dahinya mengernyit, sejak kapan ia berada di ruangan putih yang didominasi bau obat menyengat. Saat mencoba bangkit, tubuhnya merasakan sakit yang amat dahsyat. Belulangnya seolah remuk. Arman mengerang hebat.
“Arman ... sudah bangun, Nak. Jangan banyak bergerak dulu, badanmu penuh luka dan lebam. Beruntung tak ada yang patah.” Ainun mengusap sisa air mata yang masih basah. Wanita yang telah melahirkan Arman ke dunia itu, merasa hancur melihat keadaan sang putra.
“Ibu menangis?” tanya Arman cemas. Dengan cepat, wanita berjilbab biru langit itu menggelengkan kepala. Memasang senyum manis untuk putranya.
“Bu, Amel, Bu. Dia tak ingin bertemu denganku lagi. Ambilkan ponselku, aku ingin menelponnya!" Seperti seorang bocah kecil, Arman merengek di hadapan sang ibu.
“Sudah cukup, Nak. Jangan sebut nama gadis itu lagi! Lihatlah apa yang sudah ayahnya perbuat padamu. Pada keluarga kita!” Kali ini Ainun berucap penuh penekanan. Menahan titik-titik embun yang siap tumpah kapan saja dari sudut mata tuanya.
“Demi Amel, aku rela melakukan apa pun, Ibu. Seribu kali luka lebam masih sanggup kutahan. Tapi tidak untuk kehilanganya. Aku tak sanggup.”
“Apa yang bisa kau harapkan darinya lagi, Nak? Tanggal pertunangannya dengan lelaki kaya sudah di tetapkan.”
Arman tercekat. Bibirnya kelu, tak mampu berucap. Laksana gerimis, titik-titik air mulai berjatuhan dari sudut matanya. Menangis, adalah satu-satunya hal yang mampu mewakili luka hati tak terperi.
Detik berikutnya, wajah Arman mendadak berubah. Cepat-cepat ia mengusap kasar sisa air mata. Kini manik matanya menyorotkan api amarah yang berkobar-kobar. Senyum sinis mengembang dari sudut bibir.
***
Di sinilah Arman kini. Di sudut ruangan yang gelap, pengap, lagi lembab. Pria yang berusia belum genap dua puluh lima itu termenung memeluk lutut. Sesekali menjambaki rambutnya sendiri, yang terlihat mulai memanjang tak terawat. Tak jarang gemelatuk suara giginya, menjadi nada pengusir kesepian. Besarnya rasa sesal perlahan menggerogoti akal sehatnya.
Tentu saja bukan penyesalan namanya jika tak datang di akhir kisah.
Peristiwa malam itu sama sekali tak bisa lepas dari ingatan Arman. Bahkan, saat mencoba untuk memejamkan mata, potongan-potongan adegan mengerikan itu terus berputar di kepalanya. Ingatan yang sama sekali tak membiarkan Arman untuk hidup dengan tenang.
***
Malam itu, Amelia terlihat menawan dengan balutan dres berwarna gold. Sebuah liontin berlian berkilaun menghiasi lehernya yang jenjang. Di sebelahnya, seorang lelaki berhidung mancung khas Timur Tengah tersenyum memikat.
Arman merangsek masuk, menerobos barisan penjaga yang menghalangi. Hatinya memanas, melihat lelaki lain melingkarkarkan cincin di jari manis Amelia, kekasihnya.
Secepat bayangan, sebuah pisau silver menembus dada Amelia. Sekali, dua kali, tiga kali, tikaman benda tajam itu berhasil menghentikan detak jantung sang gadis.
“Selamat tinggal, Sayang. Jika kau tak jadi milikku, maka tak ada orang lain yang bisa memilikimu.” Arman terduduk. Tangisnya luruh, menyatu dengan merahnya darah yang menggenang.
Cinta, nyatanya bisa membutakan hati dan logika. Impian untuk sebuah mahligai bahagia, justru hanya menjadi petaka, romansa cinta berdarah.
END
Diubah oleh firsaf05 15-01-2020 22:09






sofiayuan dan 18 lainnya memberi reputasi
19
1.2K
46


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan