- Beranda
- Komunitas
- Story
- Stories from the Heart
Rasa yang Sudah Tak Seirama


TS
WardahRos
Rasa yang Sudah Tak Seirama
Kisah tentang minda yang terabaikan

Malam yang gigil, hanya tikus dan kucing yang tak lelah saling berkejaran di luar sana. Aku membuka kembali laptop dan membaca deretan email yang terkirim. 105 email telah kukirimkan kepadamu, tapi tak sekalipun kau balas. Nomerku sudah kamu blokir, jadi hanya inilah satu-satunya cara agar aku bisa menghubungimu.

Empat tahun lalu kamu berjanji akan menikahiku. Tidakkah kamu tahu bahwa meskipun kamu mengucapkannya dengan candaan tapi aku sungguh mengutipnya dan menyimpannya rapat-rapat di kedalaman hatiku?
Aku sampai rela tak melirik pria lain dalam kurun waktu itu. Aku rela menolak lamaran Farel, anak dari teman baik ayahku. Demi kamu. Demi seorang pria dengan senyum termanis yang telah mencuri hatiku.
Dulu kamu berpamitan padaku untuk kuliah di negara lain. Padahal kita sebelumnya berencana untuk masuk ke kampus yang sama. Tapi apalah dayaku? Orangtuamu ingin kamu kuliah di sana sedangkan aku di sini menahan diri agar tak berlaku murahan, merengek-rengek agar kamu tak menuruti orangtuamu.
Sebulan, dua bulan, sampai hampir satu semester kamu masih lancar berkirim pesan bahkan bertelepon tiap hari. Aku habis pulsa internet berapapun tak masalah. Demi bisa mendengar suaramu, atau melihat wajahmu ketika melakukan panggilan video.
Bulan berikutnya kamu mulai jarang bertelepon. Aku memakluminya karena kamu mulai sibuk ujian, aku di sini juga sudah mulai sibuk. Entah sejak kapan pastinya kamu sudah tak pernah mengirimku pesan lebih dulu. Aku yang berinisiatif berkirim pesan percakapan, menanyakan kabarmu, menanyakan hal-hal remeh seperti sudah makan atau belum. Bahkan sekedar pesan stiker yang menggambarkan suasana hatiku saat itu.
Kamu selalu menjawabnya, tapi dengan kalimat yang sangat singkat. Kungin kamu tahu kalau aku berharap lebih. Rindu ini semakin menggerogotiku. Setidaknya ijinkan aku mendengar suaramu atau melihat wajahmu meskipun ragamu tak berada di sini.
Aku beranikan diri untuk menelepon lebih dulu karena sudah tak sanggup menahannya. Lama panggilan itu belum kau jawab. Aku sampai berkali-kali melihat jam dan konversi waktunya di negara yang kamu tinggali.
Apakah terlalu malam? Tidak, kita hanya berjarak satu jam saja. Kemudian kamu mengangkat panggilanku. Kau tahu rasanya? Seperti ada bunyi “POP!” di dalam dadaku. Dan sesuatu yang meledak di dalam sana mengeluarkan kupu-kupu multi warna.
Namun, sayangnya kamu tak merasakan hal yang sama denganku. Jawabanmu sangat datar, seperti seorang teman yang tidak terlalu dekat. Padahal kita sudah menjalani hubungan lebih dari itu.
Sebuah kecurigaan melintas di kepalaku, tapi segera kutepis dengan alasan mungkin kamu sedang capek. Atau mungkin mengantuk, dan alasan-alasan klise yang kuciptakan sendiri.
Perlahan tapi pasti, kamu menjauh dariku. Kita hampir lulus. Aku fokus kepada tugas akhir sehingga tak dapat menghubungimu.
Sampai saat reuni tiba. Kamu tak datang waktu itu, dengan alasan harus menghabiskan waktu bersama keluarga karena tidak bisa libur lama. Kamu berencana terbang kembali keesokan harinya.
Kata teman SMA kita, dia bertemu kamu di sebuah mall. Kamu terlihat merangkul seseorang. Dara cantik berambut panjang sepinggang, senyumnya sangat manis. Aku menghibur diri dengan asumsi bahwa kalian hanya teman.
Dengan bodohnya aku mengirimkan pesan kepadamu kalau aku akan ke rumahmu. Aku sengaja mematikan ponsel setelah yakin pesan itu terkirim. Agar aku tak mendengarkan atau membaca pesan penolakan darimu.
Hanya sekarang satu-satunya kesempatanku untuk bertemu. Besok kamu kembali meninggalkan negara ini.
Bergegas kutinggalkan acara reuni yang belum usai, menuju ke rumahmu.
Dengan harapan sebesar gunung Himalaya, kupacu motor. Debaran di dada semakin menggila dengan hentakan dari rasa terpendam untuk bisa bertemu denganmu dan melepas rindu.
Tak berharap banyak, ekedar bicara secara langsung saja aku sudah berpuas diri. Bagaimana kabarmu? Bagaimana kabar tugas akhirmu? Apa rencanamu setelah lulus? Aku ingin mendengarkan jawaban itu langsung dengan melihat wajahmu. Seperti dulu, empat tahun lalu ketika kita masih sering menikmati es krim bersama setelah bimbel di lapangan sekolah.
Aku ingin bercerita tentang betapa susahnya membuat skripsi. Kamu tahu bahwa dari dulu aku tak suka pelajaran mengarang bebas. Sedangkan menyusun skripsi seperti halnya menulis untuk sebuah buku cerita.
Aku ingin mengetuk pintu rumahmu dan berteriak, “Surprise!”
Sayangnya anganku itu menguap tak bersisa. Kamu ada di sana, di halaman kecil samping rumah. Wajahmu terlihat lebih dewasa dengan rahang yang membentuk tegas. Senyum yang sama, cara bicara yang sama.
Akan tetapi, di sebelahmu ada dia. Dara cantik berambut panjang dengan senyuman manis.
Dengan gerakan pelan aku mundur. Tak ingin mengagetkan kalian yang tampak menciptakan dunia kalian sendiri.
Dia bukan teman biasa. Aku tahu dari cara kamu memandanginya. Seperti itu juga kamu memandangku empat tahun lalu.
Sayangnya, kakiku yang bodoh ini menginjak kerikil dan menimbulkan bunyi yang mengagetkanmu.
Kamu sontak berdiri, dan aku membeku di tempat. Ada yang ingin kutanyakan padamu, tapi aku lupa apa itu. Ada yang ingin kusampaikan padamu tapi aku juga lupa.
“Siapa dia?” adalah pertanyaan pertama kali yang meluncur dari bibirku.
“Dia ... Karin.”
“Aku tak butuh namanya.” Kalimat tegas itu membuatmu terkejut. “Apa hubunganmu dengannya?” lanjutku bertanya.
“Dia ... kami jalan sekarang.”
Butuh beberapa detik untuk mencerna kalimat itu. Namun butuh waktu lebih lama untuk meredam gejolak di dada setelah paham artinya.
Kau hancurkan angan yang sudah aku pupuk selama bertahun-tahun. Setidaknya jujurlah padaku. Walau sesakit apa, aku akan tahan. Bukan dengan cara seperti itu.
Kehilanganmu mungkin memang sebuah keniscayaan yang telah terlintas di benakku sejak lama. Namun aku menolak untuk percaya. Terpisah jarak dan waktu, bahkan mungkin restu orang tua tapi aku tak punya kesempatan untuk mengetahuinya. Semua itu tak terjawab karena kamu memutuskan kontak denganku.
Aku tersenyum dan menganggap bahwa itu merupakan tindakanmu yang paling dewasa menurut versimu sendiri. Aku jadi bertanya-tanya selama ini apa arti diriku untukmu?
Mungkin aku hanya ingin menghibur diri, dengan mengirimkan tiap hari email yang nyatanya tak pernah engkau baca. Namun, hati ini tak ingin berhenti melakukannya. Jari-jariku seakan terprogram untuk mengirimkannya setiap hari tanpa lelah.
Setidaknya bacalah sekali saja. Kamu akan tahu bahwa aku sudah lulus dan mendapatkan pekerjaan di sebuah kantor kecil yang bergerak di bidang ekspor impor. Jaraknya sekitar satu jam perjalanan dari rumahku. Melenceng sedikit dari cita-citaku dulu yang ingin bekerja di sebuah bank.
Setidaknya bacalah email terakhir yang kukirimkan. Kamu akan tahu bahwa aku baru mendapatkan lamaran dari Farel lagi. Namun, kali ini aku menerimanya.


Malam yang gigil, hanya tikus dan kucing yang tak lelah saling berkejaran di luar sana. Aku membuka kembali laptop dan membaca deretan email yang terkirim. 105 email telah kukirimkan kepadamu, tapi tak sekalipun kau balas. Nomerku sudah kamu blokir, jadi hanya inilah satu-satunya cara agar aku bisa menghubungimu.

Empat tahun lalu kamu berjanji akan menikahiku. Tidakkah kamu tahu bahwa meskipun kamu mengucapkannya dengan candaan tapi aku sungguh mengutipnya dan menyimpannya rapat-rapat di kedalaman hatiku?
Aku sampai rela tak melirik pria lain dalam kurun waktu itu. Aku rela menolak lamaran Farel, anak dari teman baik ayahku. Demi kamu. Demi seorang pria dengan senyum termanis yang telah mencuri hatiku.
Dulu kamu berpamitan padaku untuk kuliah di negara lain. Padahal kita sebelumnya berencana untuk masuk ke kampus yang sama. Tapi apalah dayaku? Orangtuamu ingin kamu kuliah di sana sedangkan aku di sini menahan diri agar tak berlaku murahan, merengek-rengek agar kamu tak menuruti orangtuamu.
Sebulan, dua bulan, sampai hampir satu semester kamu masih lancar berkirim pesan bahkan bertelepon tiap hari. Aku habis pulsa internet berapapun tak masalah. Demi bisa mendengar suaramu, atau melihat wajahmu ketika melakukan panggilan video.
Bulan berikutnya kamu mulai jarang bertelepon. Aku memakluminya karena kamu mulai sibuk ujian, aku di sini juga sudah mulai sibuk. Entah sejak kapan pastinya kamu sudah tak pernah mengirimku pesan lebih dulu. Aku yang berinisiatif berkirim pesan percakapan, menanyakan kabarmu, menanyakan hal-hal remeh seperti sudah makan atau belum. Bahkan sekedar pesan stiker yang menggambarkan suasana hatiku saat itu.
Kamu selalu menjawabnya, tapi dengan kalimat yang sangat singkat. Kungin kamu tahu kalau aku berharap lebih. Rindu ini semakin menggerogotiku. Setidaknya ijinkan aku mendengar suaramu atau melihat wajahmu meskipun ragamu tak berada di sini.
Aku beranikan diri untuk menelepon lebih dulu karena sudah tak sanggup menahannya. Lama panggilan itu belum kau jawab. Aku sampai berkali-kali melihat jam dan konversi waktunya di negara yang kamu tinggali.
Apakah terlalu malam? Tidak, kita hanya berjarak satu jam saja. Kemudian kamu mengangkat panggilanku. Kau tahu rasanya? Seperti ada bunyi “POP!” di dalam dadaku. Dan sesuatu yang meledak di dalam sana mengeluarkan kupu-kupu multi warna.
Namun, sayangnya kamu tak merasakan hal yang sama denganku. Jawabanmu sangat datar, seperti seorang teman yang tidak terlalu dekat. Padahal kita sudah menjalani hubungan lebih dari itu.
Sebuah kecurigaan melintas di kepalaku, tapi segera kutepis dengan alasan mungkin kamu sedang capek. Atau mungkin mengantuk, dan alasan-alasan klise yang kuciptakan sendiri.
Perlahan tapi pasti, kamu menjauh dariku. Kita hampir lulus. Aku fokus kepada tugas akhir sehingga tak dapat menghubungimu.
Sampai saat reuni tiba. Kamu tak datang waktu itu, dengan alasan harus menghabiskan waktu bersama keluarga karena tidak bisa libur lama. Kamu berencana terbang kembali keesokan harinya.
Kata teman SMA kita, dia bertemu kamu di sebuah mall. Kamu terlihat merangkul seseorang. Dara cantik berambut panjang sepinggang, senyumnya sangat manis. Aku menghibur diri dengan asumsi bahwa kalian hanya teman.
Dengan bodohnya aku mengirimkan pesan kepadamu kalau aku akan ke rumahmu. Aku sengaja mematikan ponsel setelah yakin pesan itu terkirim. Agar aku tak mendengarkan atau membaca pesan penolakan darimu.
Hanya sekarang satu-satunya kesempatanku untuk bertemu. Besok kamu kembali meninggalkan negara ini.
Bergegas kutinggalkan acara reuni yang belum usai, menuju ke rumahmu.
Dengan harapan sebesar gunung Himalaya, kupacu motor. Debaran di dada semakin menggila dengan hentakan dari rasa terpendam untuk bisa bertemu denganmu dan melepas rindu.
Tak berharap banyak, ekedar bicara secara langsung saja aku sudah berpuas diri. Bagaimana kabarmu? Bagaimana kabar tugas akhirmu? Apa rencanamu setelah lulus? Aku ingin mendengarkan jawaban itu langsung dengan melihat wajahmu. Seperti dulu, empat tahun lalu ketika kita masih sering menikmati es krim bersama setelah bimbel di lapangan sekolah.
Aku ingin bercerita tentang betapa susahnya membuat skripsi. Kamu tahu bahwa dari dulu aku tak suka pelajaran mengarang bebas. Sedangkan menyusun skripsi seperti halnya menulis untuk sebuah buku cerita.
Aku ingin mengetuk pintu rumahmu dan berteriak, “Surprise!”
Sayangnya anganku itu menguap tak bersisa. Kamu ada di sana, di halaman kecil samping rumah. Wajahmu terlihat lebih dewasa dengan rahang yang membentuk tegas. Senyum yang sama, cara bicara yang sama.
Akan tetapi, di sebelahmu ada dia. Dara cantik berambut panjang dengan senyuman manis.
Dengan gerakan pelan aku mundur. Tak ingin mengagetkan kalian yang tampak menciptakan dunia kalian sendiri.
Dia bukan teman biasa. Aku tahu dari cara kamu memandanginya. Seperti itu juga kamu memandangku empat tahun lalu.
Sayangnya, kakiku yang bodoh ini menginjak kerikil dan menimbulkan bunyi yang mengagetkanmu.
Kamu sontak berdiri, dan aku membeku di tempat. Ada yang ingin kutanyakan padamu, tapi aku lupa apa itu. Ada yang ingin kusampaikan padamu tapi aku juga lupa.
“Siapa dia?” adalah pertanyaan pertama kali yang meluncur dari bibirku.
“Dia ... Karin.”
“Aku tak butuh namanya.” Kalimat tegas itu membuatmu terkejut. “Apa hubunganmu dengannya?” lanjutku bertanya.
“Dia ... kami jalan sekarang.”
Butuh beberapa detik untuk mencerna kalimat itu. Namun butuh waktu lebih lama untuk meredam gejolak di dada setelah paham artinya.
Kau hancurkan angan yang sudah aku pupuk selama bertahun-tahun. Setidaknya jujurlah padaku. Walau sesakit apa, aku akan tahan. Bukan dengan cara seperti itu.
Kehilanganmu mungkin memang sebuah keniscayaan yang telah terlintas di benakku sejak lama. Namun aku menolak untuk percaya. Terpisah jarak dan waktu, bahkan mungkin restu orang tua tapi aku tak punya kesempatan untuk mengetahuinya. Semua itu tak terjawab karena kamu memutuskan kontak denganku.
Aku tersenyum dan menganggap bahwa itu merupakan tindakanmu yang paling dewasa menurut versimu sendiri. Aku jadi bertanya-tanya selama ini apa arti diriku untukmu?
Mungkin aku hanya ingin menghibur diri, dengan mengirimkan tiap hari email yang nyatanya tak pernah engkau baca. Namun, hati ini tak ingin berhenti melakukannya. Jari-jariku seakan terprogram untuk mengirimkannya setiap hari tanpa lelah.
Setidaknya bacalah sekali saja. Kamu akan tahu bahwa aku sudah lulus dan mendapatkan pekerjaan di sebuah kantor kecil yang bergerak di bidang ekspor impor. Jaraknya sekitar satu jam perjalanan dari rumahku. Melenceng sedikit dari cita-citaku dulu yang ingin bekerja di sebuah bank.
Setidaknya bacalah email terakhir yang kukirimkan. Kamu akan tahu bahwa aku baru mendapatkan lamaran dari Farel lagi. Namun, kali ini aku menerimanya.

Diubah oleh WardahRos 03-08-2020 18:10






riwidy dan 46 lainnya memberi reputasi
47
1.4K
66


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan