- Beranda
- Komunitas
- Story
- Stories from the Heart
Gara-Gara Amplop Sumbangan


TS
sumarnisaja
Gara-Gara Amplop Sumbangan
By Sumarni Saja
=====================================
"Nduk ...."
"Iya, Mak," jawabku sambil memotong wortel yang akan kami masak sup.
"Tadi Bu Tutik ke sini marah-marah," jawab mertuaku lirih.
"Lho, memangnya kenapa, Mak?" Aku mendongakkan kepala, menghentikan tanganku memotong wortel.
"Gara-gara kemarin saat Bu Tutik hajatan emak cuma ngamplop empat puluh ribu."
Emak menghela napas pelan.
"Memang apa masalahnya, Mak?" Aku mulai penasaran.
"Dulu saat emak hajatan Bu Tutik ngamplop emak lima puluh ribu. Jadi, dia tidak terima emak cuma ngamplop empat puluh ribu. Kamu tahu sendiri 'kan minggu ini banyak orang hajatan, jadi emak bagi-bagi dulu uangnya buat mengamplop yang lain. Emak pikir Bu Tutik 'kan masih punya satu anak lagi, jadi nanti bisa emak lebihin saat Bu Tutik hajatan lagi."
Aku mengelus dada, mengucap istigfar.
"Terus Emak gimana?"
"Ya, emak ambil amplop lagi terus emak amplop lima puluh ribu. Emak suruh Hasna yang mengantarkan."
Begitulah penggalan cerita yang terjadi di sekitarku beberapa waktu yang lalu.
Bagi kalian yang tinggal di desa pasti tidak asing lagi dengan yang namanya amplop sumbangan. Baik untuk acara hajatan ataupun jika ada tetangga yang kesusahan. Besar nominalnya biasanya sesuai dengan yang mereka berikan dulu. Misalnya si A mengamplop B saat hajatan lima puluh ribu, maka si B saat si A hajatan juga harus mengamplop lima puluh ribu.
Dalam masyarakat desa sendiri amplop sumbangan dianggap sebagai hutang bagi sebagian orang. Jadi, jangan heran kalau setiap menerima amplop hajatan atau yang lainnya mereka akan mencatat berapa besar nominalnya.
Mungkin saat keadaan keuangan sedang baik hal itu tidak masalah. Namun, saat ekonomi sedang krisis hal itu bisa seperti menjadi beban tersendiri. Tak heran jika banyak orang rela berhutang demi mengembalikan amplop sumbangan agar tidak menjadi bahan pembicaraan.
Padahal yang namanya sumbangan 'kan semampu kita tanpa ada paksaan. Kalau ada yang menyumbang kalau tidak ada ya, tidak usah. Namun, semua itu sudah seperti budaya turun-temurun dalam masyarakat desa, jika kita menerima sumbangan harus mengembalikannya nominalnya minimal sama, syukur-syukur dilebihkan.
Ya, begitulah masyarakat desa dengan segala keunikannya. Tapi, hal yang patut diteladani dari masyarakat yang tinggal di desa adalah kebersamaan dan sikap gotong royongnya.






qdonx dan 2 lainnya memberi reputasi
3
1.1K
12


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan