Indonesia kaya akan pepatah bijak. Ada pepatah mengatakan “Buruk dibuang dengan rundingan, baik ditarik dengan mufakat” yang artinya segala perselisihan dapat didamaikan asal mau berunding. Apalagi bila perselisihan itu menyangkut kepentingan bersama. Sungguh tak elok ketika perselisihan dan saling tuding pada akhirnya mengorbankan khalayak ramai. Namun itu justru terlihat di Pemerintahan Daerah Provinsi Jawa Timur saat ini dalam menangani lonjakan kasus Covid-19.

Sejak Selasa 16 Juni 2020 hingga Kamis 18 Juni 2020 Provinsi Jawa Timur menjadi kontributor kasus positif Covid-19 tertinggi di Indonesia. Yakni sebanyak 245 kasus (16/6), 225 kasus (17/6), dan 384 kasus (18/6). Bahkan jumlah kasus positif corona Jatim yang masih aktif atau dalam perawatan kini jadi lebih tinggi daripada DKI Jakarta yang sedari awal telah menjadi episentrum penyebaran Covid-19.

Sebelum penambahan rekor kasus tersebut, Ketua Palang Merah Indonesia (PMI) Jusuf Kalla memprediksi kasus corona di Jatim dapat menyalip DKI dalam waktu satu minggu ke depan.

Sumber : CNN Indonesia[Kasus Corona Harian Jawa Timur Tertinggi Tiga Hari Beruntun]

Bukannya bersatu menyelesaikan persoalan, yang terjadi justru saling lempar kesalahan. Semua berawal dari keputusan bersama antara Pemprov Jawa Timur dengan Pemda Surabaya Raya untuk tidak melanjutkan PSBB Surabaya Raya meski berada pada zona hitam dan merah tua. Setelah itu pula, kasus Covid-19 Jatim melonjak, khususnya pada Kota Surabaya. Kendati angka corona yang terus meningkat, Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini hanya mengeluarkan Perwali Surabaya Nomor 28 Tahun 2020 tentang tatanan baru yang tak mencantumkan sanksi bagi pelanggarnya.

Pakar epidemiologi Universitas Airlangga Windhu Purnomo menyesalkan ketidaktegasan dalam Perwali. Sanksi yang diberikan hanya berupa teguran lisan, teguran tertulis, penyitaan KTP hingga pencabutan izin usaha. Padahal kawasan Surabaya Raya lainnya, yakni Gresik dan Sidoarjo menerapkan sanksi hingga Rp 50 juta.

Secara logika, seharusnya Pemprov Jatim dan Pemkot Surabaya saling berkoordinasi menyelesaikan persoalan ini. Namun yang terjadi adalah saling menyalahkan. Pada 15 Juni 2020, Gubernur Jatim Khofifah Indar Parawansa mengungkapkan alasan tingginya penyebaran virus corona di Surabaya. Ia menilai PSBB Surabaya tidak seefektif PSBB Malang Raya karena perbedaan tingkat kedisiplinan.

Dokter Tirta Mandira Hudhi turut memberikan pandangannya soal Surabaya sebagai penyumbang utama kasus corona Jatim. Menurutnya warga Surabaya memiliki nyali yang sangat besar dan tidak merasa takut akan bahaya corona. Nyali yang sangat besar ini pula yang menjadi ciri khas watak pemberani warga Jatim yang berani melawan siapa saja tak terkecuali virus corona. Oleh karena itu, dr Tirta menyarankan edukasi secara perlahan pada warga Jatim, khususnya Surabaya. Ia meyakini edukasi yang terus diberikan akan membuat warga luluh dan mau mengikuti imbauan pemerintah untuk menghindari penularan virus corona. 

Sumber : Tribunnews [Surabaya Masih Tinggi Corona, Khofifah Ungkit Keberhasilan PSBB Malang: Tradisi Kedisiplinannya Beda]

Watak yang berani melawan siapa saja ini pula yang agaknya menjadi dasar percekcokan di internal Pemerintah Jatim.

Tingginya angka corona Surabaya selepas berakhirnya PSBB justru menjadi ajang saling tuding antara Pemerintah Kota Pahlawan dengan Pemprov Jatim. Gugus Tugas (Gustu) Percepatan Penanganan Covid-19 Kota Surabaya mengklaim pada beberapa kasus data persebaran kasus konfirmasi positif corona Kota Surabaya yang dipaparkan Gustu Covid-19 Jatim tidak sesuai dengan data lapangan bahkan bisa lebih tinggi 50 persen dari angka sebenarnya. Koordinator Bidang Pencegahan Gustu Covid-19 Surabaya Febria Rachmanita menduga data Gustu Jatim mengalami kesalahan.

Gustu Covid-19 Jatim membantah tudingan tersebut. Anggota Gustu Covid-19 Jatim yang juga Sekretaris Daerah Pemprov Jatim Heru Tjahjono menyatakan data mereka tidak mungkin salah. Sebab data yang mereka rilis merupakan data himpunan dari pelacakan, laporan masyarakat, BNPB dan dinas kesehatan kabupaten/kota, serta data yang diolah para ahli dan pakar.

Sumber : CNN Indonesia [Debat Data Corona Jatim Versus Surabaya]

Tingginya data corona Surabaya bahkan menyebabkan Gustu Covid-19 Jatim mendorong Pemkot Surabaya untuk menerapkan kembali PSBB. Ketua Rumpun Kuratif Gustu Covid-19 Jatim, Joni Wahyuhadi membeberkan kajian epidemiologi terkait attack rate Surabaya yang meningkat setelah PSBB dihentikan. Yakni dari awalnya 90 menjadi 139,7 per 100.000 penduduk dengan transmission rate saat ini sebesar 1,22.

Wakil Ketua Bidang Humas Gustu Covid-19 Surabaya, M. Fikser mengatakan pihaknya tak lagi berharap adanya PSBB. Sebab saat ini mereka tengah bekerja keras menekan angka kasus Covid-19 sekaligus menggerakkan kembali roda perekonomian yang sempat lesu akibat tiga kali PSBB.

Sumber : CNN Indonesia [Gugus Tugas Jatim Dorong Pemkot Surabaya Terapkan PSBB Lagi]

Tingginya angka corona Jatim, khususnya Surabaya yang diwarnai cekcok di internal Pemda Jatim menyebabkan mantan Wapres Jusuf Kalla buka suara. Ia meminta antara Gubernur Khofifah dan Wali Kota Risma saling berkoordinasi dan menangani corona secara sistemik. Kunci koordinasinya ada di Kota Surabaya yang jumlah kasus coronanya mencapai separuh dari total kasus Jatim. Tanpa penanganan yang sistematik dan terkoordinasi, Gubernur dan Wali Kota tidak akan dapat menyelesaikan persoalan corona Surabaya. JK mengingatkan mereka berdua akan tanggung jawab ke masyarakat.

Sumber : Vivanews [Tangani Corona di Jatim, JK Minta Khofifah dan Risma Berkoordinasi]

Perbedaan pendapat ini tak boleh terjadi berlarut-larut. Internal Pemda Jatim harus ingat bahwa merekalah penentu kebijakan yang bertanggungjawab pada masyarakat Jatim. Jangan sampai saling tak mau koordinasi mengubah tujuan pemerintah. Suatu perkara yang melenceng, hendaknya dibawa ke pangkal persoalan semula. Kusut di ujung bawa ke pangkal.