- Beranda
- Komunitas
- Entertainment
- The Lounge
1 Tahun Tanpa Instagram, Begini Rasanya Gan....


TS
Blitzboy
1 Tahun Tanpa Instagram, Begini Rasanya Gan....


Quote:
:strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/2740614/original/074598400_1551411800-foto2_instagram.jpg)
Sumber gambar: Liputan6.com
Selamat datang di era dimana sosial media sudah menjadi bagian dari kehidupan sebagian besar orang, terutama orang Indonesia. Seperti yang kita tau, pangsa pasar sosial media di Indonesia itu gede banget, dimana menurut riset dari We Are Social, pengguna Internet di Indonesia per awal 2020ada sekitar 175,2 juta pengguna. Ini artinya, lebih dari separuh orang Indonesia udah melek soal sosial media.
Dari Databooks, pada tahun 2020 Youtube menjadi sosial media terbanyak yang digunakan di Indonesia, dengan persentase pengguna sebesar 88%, diikuti dengan Whatsapp di angka 84%, selanjutnya ada Facebook di 82%, dan selanjutnya ada Instagram di 79%. Di bawahnya ada Twitter, Line, FB Messenger, LinkedIn, Pinterest, dan WeChat.

sumber: databooks.katadata.co.id
Ini gak bisa dipungkiri karena memang pada dasarnya sosial media itu sifatnya adiktif, dimana orang-orang berlomba-lomba menunjukkan eksistensi dirinya, tak terkecuali orang Indonesia yang memang pada dasarnya suka banget bersosialisasi. Dengan adanya sosial media, orang-orang bisa memajang apapun yang ia mau, entah itu momen bahagia, sedih, menunjukkan bahwa ia butuh bantuan, dan sebagainya.
Berkaitan dengan konteksnya "menunjukkan eksistensinya", orang-orang berlomba-lomba memajang momen bahagia di sosial medianya, dan gak mau ketinggalan momen satu dengan yang lain demi mendapatkan pengakuan demi mempertegas eksistensinya. Inilah yang membuat seakan fungsi sosial media bergeser dari sarana untuk membuat manusia semakin mudah berinteraksi satu dengan yang lain menjadi sebuah ajang masing-masing individu untuk berlomba mendapatkan pengakuan atas eksistensi mereka. Disinilah mulai terjadi persaingan yang tidak berfaedah hanya demi sebuah eksistensi.
Berhubungan dengan persaingan demi eksistensi, ane menyoroti satu sosial media, yaitu Instagram, sebuah media sosial yang menyediakan panggung bagi para penggunanya untuk memajang foto, video, dan juga story agar bisa dilihat oleh para pengikutnya. Bahkan sebuah riset lain dari RSPH pada tahun 2017 menunjukkan bahwa Instagram adalah sosial media terburuk untuk kesehatan mental.Ane menyoroti Instagram paling intens karena fitur itulah yang lebih memudahkan seseorang menunjukkan eksistensi mereka dalam bentuk visual secara lebih intens, dibandingkan dengan media sosial lain seperti halnya Facebook maupun Youtube maupun Whatsapp.
(Disclaimer: ane gak benci Instagram samasekali, bahkan ane pun punya akun Instagram sendiri. Ane hanya memutuskan untuk rehat demi meng-cut-off diri ane dari persaingan eksistensi semacam itu).
Memang benar kata orang-orang kalo main sosial media itu jangan baperan, dan sayangnya itu terjadi di ane. Sayangnya, seakan sosial media itu memang menyasar kerentanan manusia yang memiliki kebutuhan primer dan naluri untuk mendapatkan eksistensi dan pengakuan, serta merasa dianggap oleh orang lain. Sebuah bisnis yang bisa dibilang bagus, tetapi juga agak "jahat" di saat yang sama.

Sumber gambar: fonepaw.com
Karena inilah akhirnya ane memutuskan untuk rehat dari sosial media bernama Instagram ini selama SETAHUN PENUH (sebenernya lebih sedikit sih, 25 November 2018-6 Desember 2019). Sebuah pilihan yang sulit memang, mengingat ane hidup di zaman dan lingkungan yang mana sosial media ini memang menjadi primadona bagi banyak orang. Apalagi masa-masa itu adalah masa-masa dimana ane menjalani tahun terakhir menjadi seorang mahasiswa yang berkutat dengan skripsi, yang mana ini artinya bisa aja ane ketinggalan informasi tentang siapa saja yang akan wisuda.
Pilihan ane ini ane akui cukup beresiko karena ane akan kemungkinan ketinggalan banyak update dari temen-temen soal update hidup mereka, dan ane bakal ketinggalan banget untuk meng-upload momen-momen ane tersebut, terutama momen saat ane lulus sidang, wisuda, mendapat pekerjaan, dan juga perjalanan pertama ane ke luar negeri, karena semuanya terjadi di tahun yang sama, yaitu tahun 2019. Yang ane pikirkan saat itu, peduli setan? Toh satu-satunya sumber informasi soal kehidupan teman-teman dan update berita gak cuma dari Instagram. Ane masih mengaktifkan Facebook karena ane suka dengan meme-meme dan berita yang diposting disana, yang mana jumlahnya lebih banyak daripada postingan teman-teman dan orang-orang terdekat soal kehidupan mereka. Media sosial lain yang masih ane aktifkan adalah Whatsapp, demi keperluan pekerjaan dan wawancara, dan juga Line, karena waktu itu ane masih ada di grup jurusan demi informasi mengenai sidang dan wisuda dan lain-lain soal kampus. Ane cuma mau menghindari toxicnya persaingan eksistensi di Instagram, yang mana ini melibatkan ane.
"1 tahun, lama banget gan? Gak kudet tuh? Gak ada pikiran kepo tuh soal ngapain aja temen-temen ente di IG?"
Ane akui pilihan ane ini emang ekstrim bagi seorang pengguna smartphone tingkat akut seperti ane, apalagi bakal banyak momen bagus yang bakal terlewatkan seperti yang ane sebutkan tadi. Tapi balik lagi, toh IG bukan satu-satunya sumber berita dan update tentang dunia luar.
Balik ke topik. Semua itu dimulai pada akhir November 2018, ketika ane melihat update dari kehidupan temen-temen kampus ane, yang satu dari temen-temen sejurusan, dan yang satunya lagi temen-temen satu klub. Yang satunya ada proyek rame-rame, yang satunya lagi ada acara surprise-in temen ane yang ulang tahun dan juga kebetulan yang ulang tahun itu temen baik ane. Yang jadi masalah disini adalah ane gak dilibatkan dalam kedua acara tersebut, yang mana keduanya udah ane anggap temen. Disini ane merasa "Segitunya kah ane gak dianggap?".
Poin tersebut adalah titik balik terbesar hidup ane dalam usia 20an awal ini. Ane memang bodoh segitu mudahnya jatuh kedalam krisis eksistensial hanya karena update kehidupan mereka yang sebenernya gak begitu penting untuk hidup ane.Di titik itulah ane pun memutuskan untuk uninstall Instagram, dengan harapan ane gak akan lagi ngeliat update kehidupan mereka untuk sementara ini.
Setidaknya untuk saat itu, hanya sedikit pikiran jernih yang bisa ane gunakan: fakta bahwa ane gak bisa mengontrol apapun yang mereka mau posting di Instagram, dan jangan sampai kemarahan ane berbuah sesuatu yang merugikan orang lain. Ya sudah, quit Instagram dan lebih fokus ke real life dan mimpi ane menjadi pilihan yang baik.
Faktanya, selama setahun tanpa Instagram tidak se-"mundur" yang ane kira. Faktanya ane masih bisa dapet update soal kapan temen-temen ane sidang dan ane pun masih bisa menghadirinya, dan juga ane masih bisa dapet update tentang berita dan kehidupan di luar sana, dan yang jelas, mengingat tahun 2019 itu tahun politik mengingat adanya Pilpres 2019, ane gak perlu terganggu dengan perdebatan antara kubu 01 dan 02 yang memang udah panas dari 2014 dulu
.
Gak sempet eksis pun juga gak jadi masalah buat ane, toh ane gak rugi apapun begitu gak posting ane lolos sidang, gak perlu posting kehidupan ane di tempat kerja, dan juga gak perlu posting soal wisuda ane. Itu memang milestone dalam kehidupan ane, tapi sepenting itukah ane posting itu demi eksistensi? Sepenting itukah eksistensi di dunia maya yang jelas-jelas bias dari realita? Bumi tetap berputar meski ada 1 momen yang gak sempet diposting.

Sumber Gambar: thedailypretty.com
Rasanya 1 tahun tanpa sosmed itu bener-bener nyaman, jauh dari gangguan distraksi gak pentingdengan julid melihat kehidupan orang lain, social comparison dengan orang lain, dan juga yang jelas, bisa fokus dengan diri sendiri untuk hidup seperti ngeskripsi, cari kerja, dan meraih mimpi ane. Plus, ane bisa punya lebih banyak waktu untuk berpikir dan merenung soal hidup, memberikan perspektif baru soal hidup yang ane jalani, mendewasakan pola pikir ane, dan juga melakukan apa yang ane sukai demi mengalihkan pikiran ane dari pikiran-pikiran gak penting soal kehidupan yang lain "mereka sekarang lagi apa ya?". Disini ane pun memilih untuk balik lagi melakukan hobi ane yang udah lama ane tinggalkan, yaitu koleksi mainan. Bahkan, ane pun juga mendapatkan minat baru dengan menonton film-film dan serial baru yang belom pernah ane tonton sebelumnya.
Saking nyamannya hidup tanpa sosmed, pernah at some point ane kepikiran gak mau balik lagi ke Instagram loh
. Tapi tetep aja, ada sedikit rasa kepo di dalam hati ane yang bertanya "mereka lagi ngapain ya?". Akhirnya pada Desember 2019, ane pun memutuskan untuk iseng install IG lagi, dan ternyata semua gak seburuk yang ane kira. Gak ada lagi rasa iri hati atau social comparison dalam diri ane karena ane udah merasa cukup puas menjalani hidup yang ane jalani dan gak perlu dibandingkan lagi dengan kehidupan dan circle pertemanan orang lain, dan juga ane udah lebih kuat dalam menghadapi masalah serupa, masalah yang sama yang membuat ane jatuh pada setahun sebelumnya. IG pun ane perbaiki juga dengan mulai follow akun-akun yang bisa menambah pengetahuan dan wawasan ane, sehingga isi feed ane lebih positif.
Berkaitan dengan konteksnya "menunjukkan eksistensinya", orang-orang berlomba-lomba memajang momen bahagia di sosial medianya, dan gak mau ketinggalan momen satu dengan yang lain demi mendapatkan pengakuan demi mempertegas eksistensinya. Inilah yang membuat seakan fungsi sosial media bergeser dari sarana untuk membuat manusia semakin mudah berinteraksi satu dengan yang lain menjadi sebuah ajang masing-masing individu untuk berlomba mendapatkan pengakuan atas eksistensi mereka. Disinilah mulai terjadi persaingan yang tidak berfaedah hanya demi sebuah eksistensi.
Berhubungan dengan persaingan demi eksistensi, ane menyoroti satu sosial media, yaitu Instagram, sebuah media sosial yang menyediakan panggung bagi para penggunanya untuk memajang foto, video, dan juga story agar bisa dilihat oleh para pengikutnya. Bahkan sebuah riset lain dari RSPH pada tahun 2017 menunjukkan bahwa Instagram adalah sosial media terburuk untuk kesehatan mental.Ane menyoroti Instagram paling intens karena fitur itulah yang lebih memudahkan seseorang menunjukkan eksistensi mereka dalam bentuk visual secara lebih intens, dibandingkan dengan media sosial lain seperti halnya Facebook maupun Youtube maupun Whatsapp.
(Disclaimer: ane gak benci Instagram samasekali, bahkan ane pun punya akun Instagram sendiri. Ane hanya memutuskan untuk rehat demi meng-cut-off diri ane dari persaingan eksistensi semacam itu).
Memang benar kata orang-orang kalo main sosial media itu jangan baperan, dan sayangnya itu terjadi di ane. Sayangnya, seakan sosial media itu memang menyasar kerentanan manusia yang memiliki kebutuhan primer dan naluri untuk mendapatkan eksistensi dan pengakuan, serta merasa dianggap oleh orang lain. Sebuah bisnis yang bisa dibilang bagus, tetapi juga agak "jahat" di saat yang sama.

Sumber gambar: fonepaw.com
Karena inilah akhirnya ane memutuskan untuk rehat dari sosial media bernama Instagram ini selama SETAHUN PENUH (sebenernya lebih sedikit sih, 25 November 2018-6 Desember 2019). Sebuah pilihan yang sulit memang, mengingat ane hidup di zaman dan lingkungan yang mana sosial media ini memang menjadi primadona bagi banyak orang. Apalagi masa-masa itu adalah masa-masa dimana ane menjalani tahun terakhir menjadi seorang mahasiswa yang berkutat dengan skripsi, yang mana ini artinya bisa aja ane ketinggalan informasi tentang siapa saja yang akan wisuda.
Pilihan ane ini ane akui cukup beresiko karena ane akan kemungkinan ketinggalan banyak update dari temen-temen soal update hidup mereka, dan ane bakal ketinggalan banget untuk meng-upload momen-momen ane tersebut, terutama momen saat ane lulus sidang, wisuda, mendapat pekerjaan, dan juga perjalanan pertama ane ke luar negeri, karena semuanya terjadi di tahun yang sama, yaitu tahun 2019. Yang ane pikirkan saat itu, peduli setan? Toh satu-satunya sumber informasi soal kehidupan teman-teman dan update berita gak cuma dari Instagram. Ane masih mengaktifkan Facebook karena ane suka dengan meme-meme dan berita yang diposting disana, yang mana jumlahnya lebih banyak daripada postingan teman-teman dan orang-orang terdekat soal kehidupan mereka. Media sosial lain yang masih ane aktifkan adalah Whatsapp, demi keperluan pekerjaan dan wawancara, dan juga Line, karena waktu itu ane masih ada di grup jurusan demi informasi mengenai sidang dan wisuda dan lain-lain soal kampus. Ane cuma mau menghindari toxicnya persaingan eksistensi di Instagram, yang mana ini melibatkan ane.
"1 tahun, lama banget gan? Gak kudet tuh? Gak ada pikiran kepo tuh soal ngapain aja temen-temen ente di IG?"
Ane akui pilihan ane ini emang ekstrim bagi seorang pengguna smartphone tingkat akut seperti ane, apalagi bakal banyak momen bagus yang bakal terlewatkan seperti yang ane sebutkan tadi. Tapi balik lagi, toh IG bukan satu-satunya sumber berita dan update tentang dunia luar.
Balik ke topik. Semua itu dimulai pada akhir November 2018, ketika ane melihat update dari kehidupan temen-temen kampus ane, yang satu dari temen-temen sejurusan, dan yang satunya lagi temen-temen satu klub. Yang satunya ada proyek rame-rame, yang satunya lagi ada acara surprise-in temen ane yang ulang tahun dan juga kebetulan yang ulang tahun itu temen baik ane. Yang jadi masalah disini adalah ane gak dilibatkan dalam kedua acara tersebut, yang mana keduanya udah ane anggap temen. Disini ane merasa "Segitunya kah ane gak dianggap?".
Poin tersebut adalah titik balik terbesar hidup ane dalam usia 20an awal ini. Ane memang bodoh segitu mudahnya jatuh kedalam krisis eksistensial hanya karena update kehidupan mereka yang sebenernya gak begitu penting untuk hidup ane.Di titik itulah ane pun memutuskan untuk uninstall Instagram, dengan harapan ane gak akan lagi ngeliat update kehidupan mereka untuk sementara ini.
Setidaknya untuk saat itu, hanya sedikit pikiran jernih yang bisa ane gunakan: fakta bahwa ane gak bisa mengontrol apapun yang mereka mau posting di Instagram, dan jangan sampai kemarahan ane berbuah sesuatu yang merugikan orang lain. Ya sudah, quit Instagram dan lebih fokus ke real life dan mimpi ane menjadi pilihan yang baik.
Faktanya, selama setahun tanpa Instagram tidak se-"mundur" yang ane kira. Faktanya ane masih bisa dapet update soal kapan temen-temen ane sidang dan ane pun masih bisa menghadirinya, dan juga ane masih bisa dapet update tentang berita dan kehidupan di luar sana, dan yang jelas, mengingat tahun 2019 itu tahun politik mengingat adanya Pilpres 2019, ane gak perlu terganggu dengan perdebatan antara kubu 01 dan 02 yang memang udah panas dari 2014 dulu

Gak sempet eksis pun juga gak jadi masalah buat ane, toh ane gak rugi apapun begitu gak posting ane lolos sidang, gak perlu posting kehidupan ane di tempat kerja, dan juga gak perlu posting soal wisuda ane. Itu memang milestone dalam kehidupan ane, tapi sepenting itukah ane posting itu demi eksistensi? Sepenting itukah eksistensi di dunia maya yang jelas-jelas bias dari realita? Bumi tetap berputar meski ada 1 momen yang gak sempet diposting.

Sumber Gambar: thedailypretty.com
Rasanya 1 tahun tanpa sosmed itu bener-bener nyaman, jauh dari gangguan distraksi gak pentingdengan julid melihat kehidupan orang lain, social comparison dengan orang lain, dan juga yang jelas, bisa fokus dengan diri sendiri untuk hidup seperti ngeskripsi, cari kerja, dan meraih mimpi ane. Plus, ane bisa punya lebih banyak waktu untuk berpikir dan merenung soal hidup, memberikan perspektif baru soal hidup yang ane jalani, mendewasakan pola pikir ane, dan juga melakukan apa yang ane sukai demi mengalihkan pikiran ane dari pikiran-pikiran gak penting soal kehidupan yang lain "mereka sekarang lagi apa ya?". Disini ane pun memilih untuk balik lagi melakukan hobi ane yang udah lama ane tinggalkan, yaitu koleksi mainan. Bahkan, ane pun juga mendapatkan minat baru dengan menonton film-film dan serial baru yang belom pernah ane tonton sebelumnya.
Saking nyamannya hidup tanpa sosmed, pernah at some point ane kepikiran gak mau balik lagi ke Instagram loh

Quote:
Pelajaran
Ada beberapa pelajaran yang bisa ane dapatkan selama setahun tanpa Instagram tersebut, dan ane berharap bisa berguna buat agan-agan pembaca sekalian:
1. Agan-agan sekalian bukanlah pusat dunia ini.Semua orang memiliki kepentingan dan kehidupannya masing-masing, dan jangan expect mereka untuk 100% peduli sama keinginan agan-agan sekalian, dan sebaliknya, agan-agan punya kehidupan sendiri yang harus dijalani.
2. Kita gak akan bisa mengontrol apa yang orang lain mau posting atau katakan. Yang agan-agan bisa lakukan adalah: tetap nekat melihat tapi sakit hati, atau tutup mata dan telinga agan, lalu pergi menjauh. Orang bilang kita gak bisa tutup 100 mulut, tapi kita bisa tutup 2 telinga kita.
3. Jujurlah pada diri agan sendiri. Tentang apa yang ingin agan-agan lakukan, apa yang ingin agan-agan capai, dan hidup seperti apa yang agan-agan inginkan. Waktu agan-agan terlalu berharga untuk urusin kehidupan orang lain.
4. Hidup ini bukan tentang persaingan. Kita semua terlahir unik dan memiliki waktunya masing-masing. Sekali agan-agan memiliki pola pikir bersaing yang gak sehat, itu akan menyusahkan agan-agan sendiri. Begitu agan-agan menganggap pertemanan adalah suatu persaingan, maka titik kejatuhan agan-agan sudah tinggal menghitung waktu.
5. Fokuslah pada realita. Sosial media itu gak lebih dari sekedar panggung orang-orang untuk menunjukkan eksistensi diri mereka.
1. Agan-agan sekalian bukanlah pusat dunia ini.Semua orang memiliki kepentingan dan kehidupannya masing-masing, dan jangan expect mereka untuk 100% peduli sama keinginan agan-agan sekalian, dan sebaliknya, agan-agan punya kehidupan sendiri yang harus dijalani.
2. Kita gak akan bisa mengontrol apa yang orang lain mau posting atau katakan. Yang agan-agan bisa lakukan adalah: tetap nekat melihat tapi sakit hati, atau tutup mata dan telinga agan, lalu pergi menjauh. Orang bilang kita gak bisa tutup 100 mulut, tapi kita bisa tutup 2 telinga kita.
3. Jujurlah pada diri agan sendiri. Tentang apa yang ingin agan-agan lakukan, apa yang ingin agan-agan capai, dan hidup seperti apa yang agan-agan inginkan. Waktu agan-agan terlalu berharga untuk urusin kehidupan orang lain.
4. Hidup ini bukan tentang persaingan. Kita semua terlahir unik dan memiliki waktunya masing-masing. Sekali agan-agan memiliki pola pikir bersaing yang gak sehat, itu akan menyusahkan agan-agan sendiri. Begitu agan-agan menganggap pertemanan adalah suatu persaingan, maka titik kejatuhan agan-agan sudah tinggal menghitung waktu.
5. Fokuslah pada realita. Sosial media itu gak lebih dari sekedar panggung orang-orang untuk menunjukkan eksistensi diri mereka.
Quote:
Kaskuser yang baik selalu meninggalkan rate 5, komeng, dan juga 

Quote:
Referensi:
Pengalaman ane sendiri jelas
Detik.com - Ada 175,2 Juta Pengguna Internet di Indonesia
Databooks.katadata.co.id - 10 Media Sosial yang Paling Sering Digunakan di Indonesia
Tirto.id - Baik Buruk Efek Instagram Bagi Kesehatan Mental
Thread by agan ipangperalta soal "Kenapa Instagram Tidak Disukai"
Thread by agan moviegangsta "Silent HP 7 Hari Rasanya Tenang Banget"
Pengalaman ane sendiri jelas

Detik.com - Ada 175,2 Juta Pengguna Internet di Indonesia
Databooks.katadata.co.id - 10 Media Sosial yang Paling Sering Digunakan di Indonesia
Tirto.id - Baik Buruk Efek Instagram Bagi Kesehatan Mental
Thread by agan ipangperalta soal "Kenapa Instagram Tidak Disukai"
Thread by agan moviegangsta "Silent HP 7 Hari Rasanya Tenang Banget"
Quote:
Diubah oleh Blitzboy 24-06-2020 23:14






belagudech dan 77 lainnya memberi reputasi
74
12.4K
Kutip
673
Balasan


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan