- Beranda
- Komunitas
- Story
- Stories from the Heart
CINTA, SELEBARAN dan AKSI


TS
halomoan68
CINTA, SELEBARAN dan AKSI

CINTA, SELEBARAN dan AKSI
---
mohan
--- (Bila ada persamaan nama tempat dan atau nama tokoh dalam kisah ini, semata mata hanya kebetulan saja, tidak ada unsur kesengajaan)
Rutinitas yang telah menjadi tali kekang kehidupan, tanpa mampu kulepas.
Cahaya mentari mengintip dari sela sela ventilasi jendela kamar sewaan, seakan menyapa.
Kutarik kain penutup jendela, agar seluruh cahaya mentari dapat berkunjung dan dominasi ruangan dua setengah meter kali tiga meter, istana kekuasaanku, yang menyimpan segala rahasia mimpi mimpiku. Terang pagi langsung menyulap suasana. Kain penutup jendela telah berubah warna karena usang bercampur daki daki kering dari badanku telah menjadi motip hiasan yang mewah di benda yang juga berfungsi sebagai handuk mandi atau handuk mandi yang kugunakan sebagai penutup jendela, aku tak mampu menyimpulkan, kulampirkan di pundak kanan.

Sempat kusapa tetangga kamar, pria kurus, lebih kurus dariku, sedikit, kutatap wajahnya sekilas, aku tersenyum. Setiap melihat wajahnya, ada rasa bahagia yang masuk dalam diriku, karena hanya melihat raut dan bentuk wajah milik pria kurus itu, rasa percaya diri bertambah. Dalam penilaian secara sepihak aku lebih tampan darinya, "hm..., syukurlah aku masih diberi kelebihan", hatiku berbisik.
"Mau mandi, Bang?" ia memulai percakapan.
"Iya, hari ini kena shift pagi."
"Wah, bentar ya Bang. Istri saya lagi mandi, dia juga shift pagi hari ini", lalu sembari menggendong anak lelakinya yang mungkin berusia satu tahun, pria itu mendahului menuju arah kamar mandi yang kami gunakan bersama dengan penghuni kamar kamar lainnya. Satu kamar mandi untuk delapan jiwa, terdiri dari empat pria dewasa, tiga perempuan dewasa dan satu anak anak yang digendong oleh pria kurus itu, Yono nama yang biasa aku pakai untuk berkomunikasi dengannya.
"Bu, mandinya agak cepat, si Abang mau mandi", Yono berpesan kepada Istrinya.
Dalam kamar mandi terdengar suara air yang tercurah berulang ulang mengguyur badan Inem, istri Yono.
"Iya, pak ini juga sudah selesai", terdengar jawaban Inem.
"Padahal biar saja, masih ada waktu, ga perlu disuruh cepat cepat", aku mencoba bersikap bijak menutupi rasa khawatir dan bayangan aku harus berlari menuju tempat kerja.
"Maaf Bang, saya tinggal ya, ini mau beli bahan sarapan anak", Yono berpamitan.
"Silahkan mas".
Tak kurang dari tiga helaan napas terdengar kunci kamar mandi diputar dari dalam, pintu terbuka, Inem keluar dengan hanya gunakan handuk terlilit di badannya.
Ia langsung berjalan melewatiku, menundukan kepala, mungkin ia merasa canggung, aku pura pura tidak memperhatikan.
Sekilas kutahu, Bagus penghuni kamar tepat berseberangan dengan pintu kamarku tampaknya sudah mengantri untuk mandi juga.
"Duluan ya", ujarku dalam usaha mempertahankan dan melestarikan Budaya Nusantara yang penuh tata krama.
"Ya, Bang", jawab Bagus dengan sigap.
Akupun jalankan ritual tetap setelah menelanjangi diri, menyiram air ke badan beberapa gayung, kugosok badan dengan sabun, lalu musiran kembali, cepat, selain tak mau terlambat, akupun ingat sudah ada yang menunggu giliran. Agar tidak berlama lama langsung kulilitkan handuk dipinggang, kupegang pakaian yang sebelum mandi aku gunakan. Saat keluar, kulihat Hendri sudah ada di belakang Bagus, wah Ngantri juga.
Dengan pakaian kerja, aku tinggalkan kamar kontrakan setelah pintu kukunci, dengan langkah bergegas susuri gang satu ke gang lainnya, lingkungan padat, yang dihuni buruh buruh pabrik.
Di satu rumah kontrakan, satu kamar disulap oleh Nurhadi selain menjadi tempat tidur bersama istrinya dan seorang anak yang telah duduk di Kelas Satu Sekolah Dasar, kamar itu juga berfungsi sebagai warung.
Dengan sedikit menyeruak diantara beberapa pelanggan Warung Nurhadi, aku mengambil tiga potong gorengan Ubi Jalar, segelas air kemasan sembari menyerahkan selembar uang kertas, "Rokok filternya dua batang", seruku pada Nurhadi.
"Pas", ujar Nurhadi setelah melihat semua yang aku beli.
Kembali aku bergegas, sedikit lebih cepat, bagai mesin, dalam perjalanan kunikmati tiga potong gorengan ubi jalar dengan diselingi seruputan air dari gelas plastik dengan sedotan kecil, sarapan istimewa setiap pagiku.
Tak butuh lama hidangan di tangan telah habis terlahap, demikian juga gelas plastik telah kulempar ke tong sampah yang terbuka.
Aku sudah di separuh jarak menuju pabrik tempat aku bekerja, satu demi satu wajah wajah rekan kerja kujumpai, tanpa mengurangi kecepatan langkah kunyalakan sebatang rokok, bagiku serasa ada yang kurang bila setelah makan tidak menikmati hisapan rokok. Mungkin para orang kaya menikmati buah segar sebagai hidangan penutup, khayalku, aku cukup dengan rokok.
"Empat Sehat, Lima Sempurna. Mungkin itu menu keseharian para orang kaya. Aku, cukup Empat Kenyang Lima Asap", hatiku seperti biasanya menghakimi kehidupan.
Semakin dekat tempat kerja, bertambah jumlah manusia manusia robot seperti diriku menggunakan baju kerja dengan warna serupa, seragam perbudakan.
Manusia Robot, ya manusia robot, istilah yang aku gunakan sendiri bila sedang merutuki nasib. Bagaimana tidak seperti robot, kerja kami hanya dinilai berdasarkan kecepatan memenuhi target produksi, dimana batasan minimal capaian target serasa kian sulit diraih.
Tanganku saat bekerja bagai pembalap Formula di landasan pacu, bersaing kecepatan dengan mesin. Mata tak boleh lengah sekejappun, menurut staff yang selalu mengawasi aku dan lainnya bekerja, itu demi hindari cacat produksi pada kain, namun bagiku adalah keselamatan tanganku yang hanya sebangsa bahkan demi nyawa yang hanya selembar. Awal kusadari perbedaan kepentingan antara aku, kelas pekerja, dengan para pemilik modal. Hm... fakta yang harus kuterima dan syukuri, aku terdidik untuk pasrah, entah oleh siapa atau dengan apa.
Jam demi jam bagai bulan demi bulan terhenti oleh raungan sirene, pertanda jam istirahat, suara puluhan buruh serentak terdengar bersamaan. Tanpa aba menuju pintu keluar, dengat raut wajah tak beda denganku.
Bukan kelompokku saja, ternyata dari pintu lain bermunculan juga puluhan buruh, semakin dekat pintu gerbang pabrik langkah seakan berlomba, langkah manusia manusia lapar.
Warung nasi langganan telah terpenuhi oleh pekerja yang sedikit berebut piring lalu mengantrikan diri walau tak dapat dikatakan rapih. Obrolan terasa saling menguasai frekuensi di udara dalam ruangan warung nasi, aku hanya memperhatikan pojok demi pojok ruang, tampak sebagian dari mereka mengangkat alis matanya padaku sebagai isyarat sapaan karena mulut mereka ada yang telah terisi nasi, ada yang sembari menyeruput kopi, ada yang mengunyah jajanan favorit kami yaitu Bala bala, atau enggan bicara karena belum berkesempatan meraih piring guna memenuhi hasrat laparnya sepertiku. Namun bahasa tubuh yang tersampaikan adalah media komunikasi yang sidah cukup bagi kami dalam keseharian, akupun membalasnya dengan senyum sembari menganfkat alis mata dengan cepat, respon yang reflek.
Warung nasi berdinding anyaman bambu, kuperkirakan ruangan itu hanyalah seluas 12 atau 15 meter persegi, ada meja persegi panjang dimana terdapat wadah nasi, setumpuk piring beling, selusin gelas belimbing, beberapa baskom plastik ukuran sedang berisi sayur sayur matang, beberapa piring berisi aneka lauknya. Kulihat ada sayur tumis kangkung, sayur kecambah, tahu dengan bumbu sambal, ada telur goreng, ikan air tawar yang digoreng, sempat kulirik sewadah lalapan mentah. Kucari makanan favoritku yaitu rendang jengkol, tak terlihat.
Akhirnya akupun bisa meraih sebuah piring walau sedikit memaksakan posisi badan merapat dalam antrian.
"Mak, ga masak jenggol?" tanyaku pada wanita paruh baya pemilik warung yang berada diseberang pabrik tempat aku bekerja.
"Ga sempat beli, telat ke pasarnya", jawab Mak Asih.
"Tah, aya petey, mau dikupasin?" Mak Asih dengan nada keibuannya, khas, selalu membuatku menaruh hormat padanta setiap mendengarnya, nada yang yang akrab terdengar di rumah orangtua, nada bicara yang sama dari ibuku.
"Udah ga usah repot repot, biar saya pake telor dan tahu goreng ini saja, minumnya buasa aja Mak".
"Teh manis hangat?"
"Iya, mak".
Agar dapat menikmati santap siang, kulangkahkan kaki menuju bagian luar warung, bangku berbahan bambu tampak sudah penuh, akupun ke samping warung, duduk jongkok menghadap kebun singkong, tak jauh dari tempatku kulirik kandang ayam milik Mak Asih, aroma khas kandang tak mampu lagi kukenali, tak seperti beberapa bulan yang lalu saat baru bekerja di pabrik ini dan untuk pertama kalinya aku makan di warung Mak Asih.
Aroma khas kandang ayam membuat rasa lapar hilang tanpa jejak, beriring waktu hidungpun berdamai dengan perutku, kini hidung tak pernah lagi berseberangan kepentingan dengan perut, sudah selaras dalam hasrat dan cita cita.
Ritme makan tak lagi seirama dengan kebiasaan lama saat masih hidup dalam buaian orang tua.
"Makan jangan cepat cepat, tidak sopan", nasihat Ibuku, satu dari sekian banyak tata cara makan yang acap kali diucapkannya sedari aku berusia anak anak.
Dunia dewasa, keyakinan baru, makanpun harus cepat, duduk jongkokpun tak masalah.
"Kalau makan duduk di kursi, badan tegak agar makanan bisa lancar turun ke perut, bla... bla... bla...", kembali terngiang aturan makan bagi anak anak, tentunya kini tak perlu kupatuhi, aku sudah dewasa, sudah bekerja, sudah hasilkan uang sendiri.
Tak terasa piring sidah bersih, gelaspun telah kosong, akupun mengeluarkan rokok dari selipan dompet. Bentuk tak semulus saat kubeli, berliuk bagai keris, kuraih rokok temanku yang disodorkan olehnya agar aku dapat menyalakan rokok dengan bara dari rokoknya.
"Makasih", sembari kuserahkan kembali rokok pada sang pemilik.
"Gimana, jadi ga hari sabtu kita kumpul tempatnya Rina?", tanya Ahmed dengan logat Jawanya sembari semburkan asap yang ia coba membentuk lingkaran lingkaran walau belum pernah berhasil.
"Ga tau, aku ada rencana ke tempat teman sekolah dulu, persiapan reuni", jawabku santai.
"Wah, sayang sekali", lanjut Ahmed.
"Emang ada apa?" tanyaku.
"Katanya mau ada mahasiswa ngajak diskusi", Ahmed menjawab.
"Diskusi apa?"
"Soal sistem kerja, katanya", Ahmed kembali jelaskan.
"Sistem kerja? Tau apa mahasiswa soal kerja?" dengan nada sinis aku menungkas kata kata Ahmed, "Aku ga ikut, males ngikut acara seperti itu, dan lagi aku udah ada janji lain".
Tak terasa rokokpun sudah nyaris tak bertembakau lagi, bara api sudah hampir menyentuh bagian filter, kulempar sekenanya ke arah kebun.
"Ngeeeng...." terdengar bunyi sirene pertanda jam istirahat telah usai, otomatis kami berdiri dan berlari ke arah pabrik, bagai pasukan perang yang bergegas menuju medan laga.
Kembali kuhadapi mesin mesin dengan segala raungannya, fokus hadapi pekerjaan.
Sesekali kulirik jalur antara mesin satu dengan mesin lainnya, mengawasi suasana sekitar, satu persatu kuperhatikan rekan rekan kerjaku.
"Hm..., mereka kembali jadi robot", gumam hatiku.
Dengan mencoba memutarkan badan setengah lingkaran ke kiri dan ke kanan guna hilangkan penat di punggung dan pinggang, lalu kugerak gerakkan kepala agar berkurang ketegangan leher.
Waktu seakan jalan lambat tak secepat mesin, "hhh...", aku menghela nafas, jenuh.
"Ayo, jangan melamun...", suara wanita yang sangat kuhapal baik, Sinta, staff produksi, membuat aku terkejut.
"Oh, maaf Teh", spontan aku menjawab dengan cepat karena terkejut. Sinta, kuperkirakan usianya tak beda denganku, hanya karena dia Staff dan aku adalah pekerja biasa maka harus bersikap hormat padanya.
"Saya tidak melamun, hanya... terasa lelah saja", lanjutku sembari kuperhatikan bibir tipis miliknya, ada sesuatu yang membuat hati tidak nyaman, aneh.
"Sudah, kerja lagi, hati hati ya...", ia balikan tubuh dan berjalan dan meninggalkan diriku, sempat aku menduga bahwa ia seakan akan salah tingkah dan jengah padaku.
"Adakah yang salah?" hatiku bertanya bingung, entah mengapa aku tak mampu fokus lagi, karena lelah ataukah ada sesuatu yang lain?
....
(Bersambung)
....
Diubah oleh halomoan68 02-07-2020 18:51
0
650
6


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan