Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

gangel160487Avatar border
TS
gangel160487
Kengerian dalam kesunyian - Perjalanan di Rumah Sakit ke Bengkayang
Bengkayang

Spoiler for Perjalanan:


Sebagai seorang jurnalis yang baru diterima di sebuah media terkemuka, ini adalah kali pertama ku bekerja di media cetak nasional, hatiku sangat gembira. Lulus dari kuliah jurusan komunikasi, menjadi seorang wartawan memang idamanku sejak lama.
Perkenalkan panggil saja aku Garry Ninawaty,
terlahir dan besar di kota plat KB yang nama kota nya sendiri diambil dari nama makhluk halus kuntilanak maka hal mistis seakan sudah menjadi sesuatu yang biasa bagiku.

Sebagai anak baru di media, aku harus bersiap ditempatkan di bidang mana saja. Termasuk yang receh-receh. Tapi buatku tugas apapun tak menjadi receh sebab untuk setiap tugas yang diberikan membutuhkan nyali besar. Untuk kali ini aku ada tugas untuk liputan laporan kecelakaan dan aku ditaruh (bahasa kerennya, penempatan) di sebuah rumah sakit di bilangan pedalaman Kalimantan Barat.
Mungkin rumah sakit itu sekarang beda dengan zaman dulu saat pertama kali didirikan, terus terang ini adalah kali pertama ku juga kesana, walaupun aku tumbuh besar di Kalimantan.

Setelah tiba di bandara Pontianak, akhirnya kuputuskan untuk menyewa mobil untuk menemani perjalanan dari Pontianak ke Bengkayang. Biasanya untuk penempatan tugas Jawa dan Bali dan Sumatra aku lebih suka menggunakan mobil ku sendiri, tetapi berhubungan mobil ku sedang di service maka mau tidak mau aku harus menyewa mobil.
Dari kota Pontianak jarak ke Bengkayang sekitar 200 KM.
Perjalanan bisa memakan waktu kurang lebih 4 hingga 5 jam dari Pontianak apabila diselingin dengan waktu istirahat.

Di sinilah, cerita ini dimulai, akhirnya setelah semua pengaturan, packing dan pengaturan charter mobil, penginapan dan sebagainya. Pagi harinya, setelah makan, aku menunggu Pak Asep driverku.
04.15, Pak Asep driver kami tiba, dan perjalanan kami pun dimulai, pertama tama kami singgah di jalan Gajah Mada untuk sarapan pagi dan setelah itu kami menuju Siantan untuk membeli bekal dan bahan makanan.
Selepas dari Siantan, perjalanan terasa begitu lambat setelah melewati Wajok, dikarenakan hujan yang begitu lebat dan jalan yang licin, rombongan bus yang biasanya berseliweran sudah tidak kelihatan dan tersisa mobil kami di dalam jalanan yang sepi, kiri kanan yang kami lihat hanyalah hutan sawit ataupun lembah dan jurang, tiba tiba mobil berhenti dan mengambil putaran lain di jalur hutan, Pak Asep beralasan bahwa jalur hutan tersebut akan lebih cepat untuk sampai ke tujuan walaupun jalan alternatif tersebut melewati hutan yang cukup seram kelihatannya apalagi di hujan lebat begini. Setelah menempuh perjalanan selama hampir 1 jam an, tanpa terasa hari sudah mulai siang, tetapi dikarenakan cuaca hujan yang disertai badai, ditambah area didalam hutan, membuat pandangan mata terbatas, dan siang terasa seperti sore menjelang malam, hujan dan petir disertai angin kencang semakin lebat dan mulai banjir di jalanan, lengkap sudah.
Dalam perjalanan, aku dan pak Asep saling bercerita mengenai kehidupan dan banyak hal untuk membuang rasa kantuk.
Samar samar di telinga ku sepanjang perjalanan aku mendengar suara dentingan Sape (alat musik khas suku Dayak. Dalam kesehariannya sape memiliki bahasa lokal yang artinya adalah memetik dengan jari). Di sepanjang perjalanan tadi, dimana awalnya aku mengira Pak Asep menyalakan radio tetapi ditengah hutan tidaklah mungkin ada sinyal radio,

tiba tiba mobil kami melambat ditengah tengah hutan. Seakan akan medan yang kami lalui dipenuhi banyak lumpur sehingga mobil agak oleng kekanan kekiri karena licin, padahal jalan yang kami lalui masih jalan aspal walaupun di tengah hutan. Dan tiba tiba kunci pintu mobil yang dari tadi dalam posisi terkunci tiba-tiba terbuka sendiri. Aku yang duduk di samping kursi pengemudi langsung melihat ke Pak Asep yang sedang menyetir dan berusaha menstabilkan arah mobil.
Kami saling berpandangan karena tahu, tidak ada yang menyentuh kunci mobil. Pak Asep yang menyetir, kedua tangannya dari tadi memegang kemudi. Belum selesai keheranan kami, tiba-tiba kunci pintu mobil terkunci kembali dengan sendiri nya.
Kami semua mulai bingung dan takut tetapi mencoba berpikir positif. Mungkin ini masalah sambungan listrik mobil yang bermasalah, sehingga kunci pintu mobilnya bisa buka tutup sendiri. Untuk mengurangi rasa tegang, aku yang duduk disamping pak Asep (sopir) pun inisiatif memutar lagu.
Sound system mobil yang kami tumpangin ini tipe otomatis memutar lagu ketika kaset lagu dimasukan ke situ. Nah sound system ini terlihat seperti sedang memutar pita kaset tersebut. Lagunya random putar, dan lalu tiba-tiba berhentilah satu lagu. Lagu yang terdengar asing, Pak Asep  yang empunya kaset tersebut tidak merasa pernah memasukkan lagu itu ke dalam kaset rekamaman nya dia.
Lagu ini dibawa oleh seorang laki-laki. Lalu tiba-tiba sampai bagian reff, terdengar suara perempuan nyanyi. Kami semua sontak keringat dingin dan saling terdiam. Karena suara perempuan yang nyanyi itu lebih terdengar seperti berasal dari kursi penumpang di belakang daripada dari speaker mobil.
Aku terburu-buru langsung menutup audio mobil. Tetapi suara nyanyian tetap ada!
Saat itu jalanan sudah sangat sepi dan gelap karena kami sudah cukup jauh dari kota P dan menuju kota Bengkayang. Selain itu, kami seharusnya juga sudah hampir mencapai lokasi peristirahatan terdekat, tetapi dari tadi tidak ada kelihatan baik perumahan ataupun Pom bensin. Pak Asep yang panik langsung saja tancap gas. Aku juga panik, di mobil kami terdiam, biarpun mobil sudah melaju kencang, dan suara hujan badai begitu keras, suara nyanyian masih terdengar, audio sudah di off tetapi kaset juga tidak mau keluar dari audio tersebut.

Dan tiba-tiba Pak Asep melihat tikungan tajam. Sontak pak Asep menginjak rem dan kami pun terpental di mobil cukup keras, beberapa barang bawaan meluncur kedepan. Ditengah jeritan kami mobil menghantam pagar pembatas jalan.
Mobil pun terhenti dan kami cukup syok, Pak Asep segera turun dan melihat kondisi mobil, setelah beberapa saat beliau masuk dan berkata, "Mobil agak lecet dan penyok tapi kondisi mesin dan lampu semua ok, kita akan lanjutkan perjalanan ya."

Akhirnya perjalanan pun dilanjutkan dan kami sepakat untuk langsung ke penginapan saja dan perjalanan ke rumah sakit dilanjutkan keesokan harinya saja.
Keesokan harinya kami tiba di rumah sakit tersebut.

Di rumah sakit tersebut aku kebagian menulis korban-korban kecelakaan, lalu memuatnya di koran sebagai pemberitahuan bagi masyarakat. Barangkali ada yang belum mendapat kabar dari sanak saudaranya yang tengah dalam perjalanan, bisa jadi dia mengalami kecelakaan. Satu-satunya yang diandalkan untuk mencari tahu adalah koran pada waktu tersebut (pada waktu tersebut media sosial dan internet masih lah tidak seterkenal dan semasif saat ini).

Masih segar dalam ingatan ku peristiwa yang kualami 25 tahun yang lalu. Malam itu sekitar pukul 23.00 WIB. Hujan dan petir mewarnai malam hari tersebut. Aku berada di gedung selatan rumah sakit, tempat kamar mayat berada. Dari teras, langsung masuk ke dalam lorong agak lebar. Belok kiri, di situ ada pintu lebar dengan tulisan besar KAMAR MAYAT. Gedungnya terpisah sehingga tak banyak orang di sana. Menakutkan memang. Tapi aku tak sendiri, banyak rekan-rekan jurnalis lain yang ada di sana. Kami bersenda gurau sambil menikmati sebatang dua batang kretek plus kopi hitam (yup aku termasuk perokok berat). Dingin tak terlalu menusuk.

Timor, salah satu rekan wartawan bercerita soal hal lucu hingga tawa kami meledak memecah keheningan. Namun ada yang janggal. Salah satu wartawan lain justru diam dan hanya menatap kami lama. 
Eh, ngapain sih, udah ah serem banget, kamu, kataku kepadanya.
Kita pergi, yuk, Gue ngerasa kalo kita lebih lama di sini bakal ada yang janggal, kata dia

Beberapa rekan terlihat merinding dan pori-porinya melebar. Rekanku itu masih saja mengajak cabut dari tempat tersebut tanpa memberi tahu maksudnya. Jelas saja kami jadi bertanya-tanya, memangnya ada apa sih? 

Tetapi rekan ku tersebut tidak mau memberi tahu kami.
Tapi aku tak bergeming. Aku dan Timor memutuskan untuk bertahan. Sementara yang lain mengikuti langkah rekan tadi untuk menjauh. Lantaran masih harus bertugas hingga pukul 04.00 WIB, maka aku tetap tinggal. Timor dengan setia menemaniku.
Nin, gue mau bikin kopi nih, mau nitip, ga? tanya Acil.

Waktu menunjukkan pukul 23.40 WIB. Aku sekilas melihat Timor.
Jangan lupa beli lihat di pantry kalau masih ada gorengan ya Tim. Lapar nih,

Timor hanya manut manut saja. Lalu dia beranjak ke lorong menuju depan rumah sakit dimana ada pantry untuk karyawan RS. Rasa rasanya di tengah hujan begini meminum tuak beras versi Kalimantan terasa sangat nikmat.

Menunggu Timor, aku sambil rebahan sejenak di lantai rumah sakit. Dengan kondisi lantai marmer yang agak-agak kusam ini. Aku tidak terlalu peduli. Toh, kami juga sering tidur-tiduran sepanjang siang di sini.

Sambil memandangi langit malam, tiba-tiba aku mendengar langkah kaki dari sebuah sepatu hak tinggi. Aku menengok ke arah lorong, karena sudah gelap, nampak seperti perempuan memakai dress putih selutut dan sepatunya menimbulkan suara khas. Tak, tok, tak, tok. Berjalan ke arahku, aku melihat wajahnya. Wah, rupawan juga. Rambutnya sebahu, dia mengenakan baju terusan berbahan melayang warna putih. Ada bercak di dada sebelah kanan, mirip tumpahan saos, entah sambal atau tomat. 

Dia menghampiriku sambil tersenyum dengan wajahnya yang putih pucat, seperti habis ketemu mayat.

Kak, numpang nanya, apa jenazah seseorang ada (dia terdiam agak lama) dibawa ke sini?

Waduh, kurang paham deh, mbak. Coba tanya suster penjaga di depan lorong, kataku.
Sudah tadi saya cari tidak ada orang di loket. Saya mau mencari tahu kondisi jenazah nya, kecelakaan di perjalanan menuju bengkayang, di bukit. Apakah kakak bisa bantu saya?

Kapan kejadiannya?

Sekitar jam 9 malam. Mungkin sampai sini jam 10-an, dia memberikan rinciannya.
Sepanjang saya tadi di sini, belum ada yang lewat, mbak. 

Aku memandangi wajah wanita itu. Dia menatap ke arah kamar mayat. Tatapannya terasa kosong, sambil terus memegang ke bagian dada kanannya yang tertumpah saos.

Nama mbak siapa? Tanyaku
Evi, kak, jawabnya.

Lalu wanita itu memandang ke arah depan. Tatapannya lagi-lagi kosong. Entah kenapa kali ini aku agak merinding. 

Merokok gak, Evi? Tanyaku lagi memecah kekakuan sambil menawari Evi sebuah rokok kretek yang sebenarnya tinggal sebatang.

Ia menolak dengan halus sambil menyunggingkan senyum tipis. Aku pernah melihat senyum seperti itu. Tapi dimana ya? Sambil kuingat-ingat, kubakar rokok terakhir sebelum Timor datang. 

Hisapan pertama aku bergidik dengan ketakutan. Ya, aku ingat. Senyum itu mirip senyum si manis Jembatan Ancol atau di film film hantu jadul! Kenapa aku jadi ketakutan begini, ya? Jelas-jelas aku mendengar langkah kakinya berjalan. Aku buru-buru menyingkirkan pikiran seram dalam otakku. Sambil membaca doa dalam hati, sesekali aku memandangi Evi.

Mbak, sama siapa kemari? tanyaku.
Sendiri, ujarnya.

Oh, naik apa kemari?
Mobil, tapi ....., dia menghentikan ucapannya.

Tapi kenapa? tanyaku lagi.

Dia hanya menghembuskan nafas sambil terus menunduk. Rambutnya sedikit menutupi wajahnya. Terus dan terus. Aku diam saja. Tetap menghisap rokokku sambil memandangnya. Sesekali aku melemparkan mata ke arah lain, tapi tetap memandangnya kembali.

Mendadak setelah lama berdiam menunduk, Evi mengangkat wajah dan tiba-tiba memandangku. Kali ini tatapan Evi ada yang beda. Kusadari bola matanya nampak semakin membesar, agak menutupi bagian putih. Sial! Aku semakin merinding! Aku buang muka sambil terus kuhisap rokokku tak karuan.

Perlahan ia kembali memandang ke arah depan. Tetap diam. Tubuhku semakin lemas tapi jantungku tetap saja berdenyut kencang. Kami diam seribu bahasa. Aku sama sekali tak berani mencari bahan pembicaraan. Hanya diam. Aku kaku. Tiba-tiba,

Saya pamit dulu, ya. Nanti ke sini lagi. Mungkin sekitar jam 03.00 WIB, kata dia.

Aku buru-buru menjawab. Oh iya, mbak. Kalau mau nanya-nanya info, ke bagian depan saja. Tanya suster yang bertugas. Mungkin sekarang sudah ada, kataku menyarankan.

Dia hanya mengangguk. Lalu berdiri dan berlalu.
Langkah kaki dari sepatu hak tingginya masih terdengar hingga ujung lorong keluar. Kupandangi terus untuk meyakinkan dia memang sudah pergi agar aku tak semakin takut.

Tak berapa lama aku mendengar langkah kaki, kutengok di ujung lorong, huft, aku lega. Itu Acil. 

Woi, Nina, lama ya? Sori tadi kenalan dulu sama cewek. Cakep banget, bro, ujarnya sambil mengaduk isi kresek yang dibawanya lalu menyerahkan sebungkus kretek kepadaku.

Aku mengambilnya sedikit kasar lantaran aku sebal padanya. Bukannya memikirkan nasib kawan, malah enak-enakan kenalan sama cewek. Padahal di sini aku setengah mampus menahan takut.

Lah, manyun, lu, kenapa? tanya Timor padaku.
Bodo amat. Gue tungguin juga. Ternyata kenalan ama cewek. Gue hampir mati berdiri di sini, kataku dengan kekesalan teramat sangat.

Yaelah, penakut lu. Kagak ada apa-apa juga. Gorengan, nih, katanya menawarkan.
Dia pake baju putih selutut gitu. Di bagian dada kanan kayak ketumpahan saos. Gue rasa saos tomat soalnya merah, gak oranye. Kalo saos sambel kan rada-rada oranye, ya, kata Acil lagi sambil terus mengunyah gorengan.

Aku terkejut. Jantungku tak karuan, sekali lagi aku merinding, lalu memandangi Timor. Dia sampai keheranan kupandangi dengan serius.

Kenapa lu, bro, merinding gitu, kayak habis ketemu setan, katanya tergelak.

Aku memegang lengannya. Buset, dingin amat tangan lu. Kenapa, sih? Tanyanya lagi, kali ini sambil menghentikan kunyahannya.
Cewek yang lu temuin, namanya Evi bukan? tanyaku.

Lah  iya, kok lu tau?
Nafasku tak karuan. Darahku mengalir cepat dan detak jantungku pun berantakan.

Tim, gue tadi ketemu dia juga. Gak berapa lama lu pergi. Dia jalan ke arah gue pake sepatu hak tinggi. Sepatunya bunyi menandakan kakinya menapak. Gue gak curiga. Tapi emang mukanya pucat pasi. terakhir jam 01.30 WIB tadi dia pamit. Nanti mau balik lagi, ngecek saudaranya yang katanya meninggal kecelakaan. Ciri-cirinya sama persis dengan yang lu katakan. Gak berapa lama dia pergi, lu ada di ujung lorong. Gue sempet takut, ada siapa lagi. Gak taunya elu. Gue agak lega. Tapi denger lu cerita begini, gue merinding lagi! kataku dengan suara sedikit gemetar.

Terkejut Timor menatapku bengong seolah tak percaya.
Ah yang bener, lu? Jadi merinding gue, katanya.

Terserah lu mau percaya apa engga? Sekarang, dari mana gue tau nama dia Evi kalo gue gak kenalan? tanyaku balik.

Timor langsung duduk merapat ke arahku. Terlihat kecemasan di wajahnya.

Dia bilang mau balik lagi jam 03.00 WIB. Tadinya kalau elu gak datang-datang, gue mau cabut aja. Sekarang lu udah datang, gue agak berani, hehehe, aku tergelak pelan.

Sudah, gue ingin tahu, apa bener itu perempuan balik lagi jam 03.00 WIB. Kita tungguin aja, yuk, kataku lagi.
Sebenarnya Timor sudah sangat enggan untuk diam di lorong kamar mayat tersebut tetapi karena aku tetap memaksa atas nama solidaritas ia pun terpaksa mengikuti keinginanku.

Sampai di ujung lorong keluar, mendadak ada tempat tidur roda yang masuk dan di atasnya sesosok mayat ditutupi kain putih. Dua orang perawat berjalan agak cepat mendorong tempat tidur beroda tersebut.

Wah, siapa tuh sus? Baru? tanyaku mengkonfirmasikan jika mayat tersebut baru meninggal.

Kecelakaan di mana, sus? tanya Timor kepada suster tersebut.

Lihat sendiri saja, sahut suster tersebut sambil terus berjalan.

Kami pun berhenti sejenak mengambil buku catatan dan bolpoin. Zaman dulu kami masih menggunakan itu untuk menuliskan informasi yang penting bagi pembaca koran. Setelah dapat, barulah kami mengejar suster tersebut. Ternyata mereka sudah berada di kamar mayat. Pintu kamar mayat yang dingin sedikit terbuka. Ruangan mayat seperti bagian freezer lemari es demi mencegah mayat tak cepat membusuk. Setelah suster menaruh mayat di atas meja bedah, mereka segera pergi tanpa melayani pertanyaan kami.

Yang jelas sekitar pukul 02.30 meninggalnya, kecelakaan kayaknya sekitar jam 21.00 WIB, tertusuk besi reng di dada. Kami melihat kronologi dan sebagainya di catatan kematian.

Di dada? tanyaku dalam hati. Aku dan Timor pandang-pandangan seolah memiliki pikiran yang sama.

Tim, lihat bareng yuk. Lu sebelah kanan, gue sebelah kiri. Kita singkap kain putihnya sama-sama. Mau gak lu? tanyaku sambil merinding, antara ngeri dan kedinginan.

Timor pun mengangguk. Dia berjalan ke arah kanan mayat.

1, 2, 3, kain pun tersingkap.

Kami pun segera kabur terbirit birit karena ketakutan..

Jenazah di depan kami adalah Evi!!!




Journal of Nina


Quote:
Diubah oleh gangel160487 03-02-2022 06:19
4iinch
sebelahblog
j0rji
j0rji dan 8 lainnya memberi reputasi
9
1.8K
4
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Komunitas Pilihan