- Beranda
- Komunitas
- News
- Berita dan Politik
Ini Tanggapan Ustadz atas Fatwa MUI tentang Shalat Jum’at dan Jamaah


TS
penanusa
Ini Tanggapan Ustadz atas Fatwa MUI tentang Shalat Jum’at dan Jamaah

Penanusa.com – Majelis Ulama Indonesia (MUI) baru-baru ini mengeluarkan fatwa tentang penyelenggaraan shalat Jum’at dan jamaah untuk mencegah penularan wabah COVID-19. Fatwa nomor 31 tahun 2020 ini ditetapkan di Jakarta pada tanggal 12 Syawal 1441 H/4 Juni 2020 M.
Ada tiga poin penting dalam fatwa tersebut, yakni A) perenggangan saf saat berjamaah, B) pelaksanaan shalat Juma’at, dan C) penggunaan masker saat shalat.
Untuk mengetahui bagaimana tanggapan masyarakat terhadap fatwa tersebut, penanusa.com coba berdiskusi dengan Ustadz Kusnadi, seorang guru mengaji di Kampung Babakan Rawa Haur, Desa Sentul, Kecamatan Babakan Madang, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, pada Jumat, 5 Juni 2020.
Ustadz Kusnadi mengaku tidak setuju dengan sebagian besar isi fatwa terbaru MUI tersebut, terutama pada poin perenggangan saf saat berjamaah dan pelaksanaan shalat Jum’at bergelombang yang dalam fatwa itu terdapat perbedaan pendapat di dalam tubuh MUI sendiri.
“Rapat dan lurusnya saf itu merupakan bagian dari kesempurnaan shalat berjamaah. Kalau kesempurnaannya tidak terpenuhi, itu artinya sama saja dengan shalat sendiri-sendiri. Kalau memang alasannya untuk mencegah COVID-19, kan lebih baik shalat di rumah masing-masing,” kata Ustadz Kusnadi.
Ustadz yang pernah menimba ilmu di beberapa pondok pesantren di Kabupaten Bogor ini menambahkan, shalat di rumah masing-masing karena alasan tertentu lebih kuat dasar hukumnya ketimbang shalat berjamaah di masjid dengan meninggalkan syarat kesempurnaanya. Baginya, hal ini terkesan seperti memaksakan.
Ia menegaskan, hukum Islam itu harus jelas. Sebagai contoh, ada syarat berdiri waktu shalat, tapi karena sakit tertentu orang bisa shalat dengan duduk. Itu namanya dharurat. Tapi jika orang sakit dan masih bisa dipaksakan berdiri, maka ketika ia shalat dengan duduk maka shalatnya tidak bisa dibenarkan, karena dharuratnya batal.
“Dalam konteks pencegahan COVID-19, kan lebih baik shalat di rumah masing-masing. Karena kalau masih bisa berjamaah walaupun dengan pembatasan jarak, artinya dharuratnya menjadi tidak jelas,” katanya.
Sementara terkait shalat Jum’at, Ustadz Kusnadi menegaskan, menurut Mazhab Syafi’i, syarat wajib shalat Jum’at adalah minimal ada 40 laki-laki yang memenuhi syarat sah shalat di satu lingkungan. “Jadi soal tempat boleh di mana saja,” katanya.
Adapun soal perbedaan pendapat di tubuh MUI sendiri, Ustadz Kusnadi kembali mengingatkan bahwa hukum Islam harus jelas dan tegas. Begitu juga dengan pengeluaran fatwa, harus jelas dasar hukumnya dan tegas penerapannya. Menurutnya, jangan sampai fatwa ulama justru membuat bingung ummat.
“Wa man lam yahkum bima anjalallahu faulaaika humuzh zholimuun. Barang siapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itulah orang-orang zalim,” demikian Ustadz Kusnadi mengingatkan dengan mengutip penggalan terakhir surah Al Maidah ayat ke-45.
Berikut kami lampirkan Fatwa MUI Nomor 31 tahun 2020:
FATWA NOMOR 31 TAHUN 2020 TENTANG PENYELENGGARAAN SHALAT JUM’AT DAN JAMAAH UNTUK MENCEGAH PENULARAN WABAH COVID-19
I. KETENTUAN HUKUM
A. Perenggangan Saf Saat Berjamaah
1. Meluruskan dan merapatkan saf (barisan) pada shalat berjamaah merupakan keutamaan dan kesempurnaan berjamaah.
2. Shalat berjamaah dengan saf yang tidak lurus dan tidak rapat hukumnya tetap sah tetapi kehilangan keutamaan dan kesempurnaan jamaah.
3. Untuk mencegah penularan wabah COVID-19, penerapan physical distancing saat shalat jamaah dengan cara merenggangkan saf hukumnya boleh, shalatnya sah dan tidak kehilangan keutamaan berjamaah karena kondisi tersebut sebagai hajat syar’iyyah.
B. Pelaksanaan Shalat Jum’at
1. Pada dasarnya shalat Jum’at hanya boleh diselenggarakan satu kali di satu masjid pada satu kawasan.
2. Untuk mencegah penularan wabah Covid-19 maka penyelenggaraan shalat Jumat boleh menerapkan physical distancing dengan cara perenggangan saf.
3. Jika jamaah shalat Jum’at tidak dapat tertampung karena adanya penerapan physical distancing, maka boleh dilakukan ta’addud al-jumu’ah (penyelenggaraan shalat Jum’at berbilang), dengan menyelenggarakan shalat Jum’at di tempat lainnya seperti mushalla, aula, gedung pertemuan, gedung olahraga, dan stadion.
4. Dalam hal masjid dan tempat lain masih tidak menampung jamaah shalat Jum’at dan/atau tidak ada tempat lain untuk pelaksanaan shalat Jum’at, maka Sidang Komisi Fatwa MUI berbeda pendapat terhadap jamaah yang belum dapat melaksanakan shalat Jum’at sebagai berikut:
a. Pendapat pertama, jamaah boleh menyelenggarakan Shalat Jum’at di masjid atau tempat lain yang telah melaksanakan shalat jum’at dengan model shift, dan pelaksanaan shalat Jum’at dengan model shift hukumnya sah.
b. Pendapat Kedua, jamaah melaksanakan shalat zuhur, baik secara sendiri maupun berjamaah, dan pelaksanaan shalat Jum’at dengan model shift hukumnya tidak sah.
Terhadap perbedaan pendapat di atas (point a dan b), dalam pelaksanaannya jamaah dapat memilih salah satu di antara dua pendapat dengan mempertimbangkan keadaan dan kemaslahatan di wilayah masing-masing.
C. Penggunaan Masker Saat Shalat
1. Menggunakan masker yang menutup hidung saat shalat hukumnya boleh dan shalatnya sah karena hidung tidak termasuk anggota badan yang harus menempel pada tempat sujud saat shalat.
2. Menutup mulut saat shalat hukumnya makruh, kecuali ada hajat syar’iyyah. Karena itu, shalat dengan memakai masker karena ada hajat untuk mencegah penularan wabah COVID-19 hukumnya sah dan tidak makruh.
II. REKOMENDASI
1. Pelaksanaan shalat Jumat dan jamaah perlu tetap mematuhi protokol kesehatan, seperti memakai masker, membawa sajadah sendiri, wudlu dari rumah, dan menjaga jarak aman.
2. Perlu memperpendek pelaksanaan khutbah Jum’at dan memilih bacaan surat al-Quran yang pendek saat Shalat.
3. Jamaah yang sedang sakit dianjurkan shalat di kediaman masing-masing.
Ditetapkan di: Jakarta
Pada tanggal: 12 Syawal 1441 H/4 Juni 2020 M
MAJELIS ULAMA INDONESIA
KOMISI FATWA
PROF. DR. H. HASANUDDIN AF
Ketua
DR. HM. ASRORUN NI’AM SHOLEH, MA
Sekretaris
Mengetahui,
DEWAN PIMPINAN
MAJELIS ULAMA INDONESIA
KH. MUHYIDDIN JUNAEDI, MA
Wakil Ketua Umum
DR. H. ANWAR ABBAS, MM, MAg
Sekretaris Jenderal
Sumber : penanusa
Link post




nona212 dan nomorelies memberi reputasi
2
1.2K
2


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan