Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

Š 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

wiwinindah10Avatar border
TS
wiwinindah10
Bakso Ular #6



🐍🐍🐍


Kini tujuanku hanya ke rumah Alya, memastikan keberadaanya. Aku berlari secepat mungkin, mencari ojek untuk mengantarku ke rumah Alya. Bayangan tentang nasib Gita mengiringi langkah. Bahkan, kini beban pikiranku bertambah, aku tak bisa memaafkan diri ini jika Alya juga ikut hilang seperti nasib Gita. Semoga itu hanya ketakutanku saja.

Saking kencangnya berlari, aku tak bisa mengontrol tubuh, dan ....
Bruuukh! Aku jatuh tersungkur hingga kepala terbentur. Nyeri dan pusing membuat penglihatanku kabur. Lalu ... gelap!
***

Saat aku mulai tersadar, berusaha membuka mata yang terasa lengket. Kurasakan bau anyir dan busuk yang cukup mengganggu indera penciuman, membuat perut ini terasa mual. Entah di mana aku berada, yang jelas aku di sebuah ruangan gelap dan terasa pengap.
Mencoba berdiri meski kepala terasa berat. “Tempat apa ini?

Mengapa aku ada di sini?” gumamku. Lalu perlahan melangkah, tangan meraba dinding yang terasa lembap. Ada rasa jijik, tapi tak kuhiraukan demi untuk mencari sakelar lampu. Cukup lama, sampai akhirnya aku berhasil menemukanya.
Klik!

Seketika cahaya lampu menusuk pupil mataku hingga terasa menyilaukan. Kemudian mencoba melihat keadaan sekitar.

“Astaghfirullah!” Aku terkejut saat mendapati ruangan ini begitu menjijikan. Berbagai jenis ular melikar di dalam kandang yang sangat besar. Bahkan sebagian ada yang bergelantungan di beberapa bambu yang melintang di atas.

“Arrrghhh! Tolong ....! Aku berteriak histris. Rasa takut begitu menguasai, jantung ini terasa mau copot. Aku menangis meraung-raung hingga terkencing, ruangan ini bertambah pengap karena bau kencingku.

“Tolong aku! Aaarggh!” teriakku memecah keheningan di dalam ruangan yang cukup besar ini. Perlahan aku mundur demi menjauh dari ular-ular itu sembari terus menelisik ke atas. Takut-takut ular yang bergelantungan tiba-tiba jatuh mengenaiku.

“Allah ... Allah ....” Aku terus menyebut-Nya, meski bibir ini bergetar hebat karena melawan rasa takut yang luar biasa. Tiba-tiba aku terjungkal ke belakang karena sesuatu menyandung kaki ini.

“Aw!” pekikku. Namun, sesuatu yang aneh membuatku segera bangun.

Baru tersadar aku menindihi salah satu mayat yang tergeletak dan tertutupi kain putih. Ya, ada tiga mayat di sana. Seketika aku bergidik ngeri, rasa takut kian bertambah. Tempat apa ini, hingga begitu banyak ular dan mayat di sini? Ya Allah ... tolong aku, batinku menjerit.

Dengan hati-hati kudekati ketiga mayat itu, rasa penasaran menghampiri. Siapa mereka?

Perlahan membuka kain putih yang menutupi salah satu mayat itu, jantungku berdegup lebih cepat.
Bismillah ... sekuat tenaga kukumpulkan keberanian, kemudian menarik kain itu.

“Astaghfirullahaladzim!” Aku kembali terkejut saat melihat wajah mayat itu. Aliran darah seakan berhenti mengalir dalam tubuh ini.

“Mas Beni!?” ucapku tak percaya. Siapa yang melakukan ini?

Rasa penasaran semakin membuncah. Kini, aku berada di tengah-tengah dua mayat yang lain. Dengan kedua tangan yang terasa gemetar, aku bergegas membukanya secara bersamaan.

“Mbak Sarah ... Alya!” Tak percaya dengan apa yang kulihat.

“Ti-tidak mungkin! Bangun, Mbak, bangun!” teriakku seraya menggerakkan tubuh Mbak Sarah yang sudah terbujur kaku. Mataku beralih pada Alya.

“Alya, bangun, Al! Bangun! Apa yang terjadi pada kalian? Ya Allah ... kenapa semuanya jadi seperti ini?”
Aku terus menangisi dua sahabat yang kini sudah menjadi mayat, entah apa yang terjadi padanya.

Bahkan, Mas Beni juga meninggal, apakah ini ulah si Kumis itu? Hanya karena membantuku untuk menguak rahasianya, mereka harus menghadapi kematian? Jika benar, tentu saja sebentar lagi aku akan menyusul mereka. Apa yang sebenarnya Bang Kumis inginkan?

Otakku kebas, begitu banyak pertanyaan menari-nari di kepala. Apa yang harus aku lakukakan?
Aku menangis di kaki Mbak Sarah, bagaimana nasib anak-anaknya? Bagaimana dengan keluarga mereka? Ya Allah ....

Tiba-tiba kudengar suara langkah kaki, sepertinya menuju kemari. Dadaku bergemuruh, jantungku kembali berpacu lebih cepat.

Pikiranku nge-blank seketika, tidak tahu harus berbuat apa. Meski hati ini berontak, ingin sekali membalaskan dendam para sahabatku.

Kemudian kuputuskan pura-pura belum sadarkan diri. Biarlah nanti kupikirkan langkah selanjutnya, aku harus memastikan terlebih dulu apa maksud si pembunuh itu.

Terdengar derit pintu terbuka. Aku masih menunggu dengan dada yang masih terasa bergemuruh menahan rasa takut. Suara langkah kakinya semakin dekat, bisa kurasakan kini ia berada di dekatku.

“Hehehe ... dasar, Bocah-bocah Bodoh! Inilah akibatnya jika terlalu berani melawanku! Sebentar lagi akan kucincang tubuhmu, biar jadi santapan ular-ularku. Hahaha ...,” ucapnya begitu mengerikan. Gelagak tawanya membuatku takut.

Aku bergetar hebat mendengar apa yang dikatakannya. Sudah sangat jelas, dia memang si Kumis psikopat itu!

Sraang ... sraang ....
Suara apa itu? Ya Allah, selamatkan hamba!

Kemudian aku sedikit membuka mata, mengintip apa yang dilakukannya. Samar-samar kulihat manusia gila itu tengah mengasah benda tajam nan panjang, terlihat mengkilap. Benarkah dia akan mencincang tubuh kami? Seketika gigi ini gemerutuk menimbulkan suara karena ketakutan yang teramat besar. Aku membuka mata dan segera bangun, menjauh dari pria di hadapanku.

Tiba-tiba ia tertawa. “Ternyata kau hanya pura-pura tidur. Apa kau takut?” ucapnya seraya terus mengasah pedang di tangannya. Wajah bengis si Kumis bersama suara gesekan pedang semakin menambah rasa ngeriku.

Perlahan dia mendekat dengan tatapan menyeringai penuh nafsu, bersama itu aku mundur. Terus menjauh darinya, tiba-tiba pedang itu ia angkat tinggi-tinggi.

“Hiyaaaa!” Suara Bang Kumis begitu menggelegar bersama tubuhku yang gemetar hebat.

Kini pedang itu berada tepat di leherku, meski hanya menempel. Namun, bisa kurasakan sayatannya. Sakit! Pelan tapi, pasti. Sebentar lagi nyawaku akan melayang dengan putusnya kepala ini.

“Hahaha ... kupikir kau tidak takut dengan apa pun, tapi sekarang bisa kurasakan detak jantungmu yang seperti bom akan meledak. Dug-dug-dug! Tapi tenang, sebentar lagi akan kucabut jantung itu, supaya kau tidak akan merasakan lagi rasa takut Bocah Bodoh!” ucapnya penuh kesombongan. Ia terus mengasah pedang yang ada di tangan kanannya. Di tangan kiri ia memegang benda kecil yang dipergunakan untuk mengasah pedangnya.

Kini bukan jantungku yang seperti bom akan meledak, tapi aliran darahkulah yang terasa mendidih, adrenalin seakan terpancing oleh kepongahan laki-laki gila itu.
Ingin kuludahi saja wajah bengisnya yang membuatku semakin jijik.

Dengan sekuat tenaga mengumpulkan keberanian, kutendang ular miliknya yang tersimpan di dalam celanannya.

“Rasakan ini!”

Bugh! Suara kakiku tepat mengenai sesuatu di dalam sana.

“Aaaarrggh!” Ia mengerang kesakitan. Bahkan pedang yang sedari tadi dipegangnya ikut terjatuh bersama tubuhnya yang hilang keseimbangan.
“Kurang ajar! Awas kau!” teriaknya begitu murka.

Aku tak menyia-nyiakan kesempatan ini. Berlari secepat mungkin, tapi pintu sulit dibuka. Untung saja masih bisa terbuka dengan sisa tenaga yang kumiliki. Buru-buru aku keluar. Namun, saat aku melangkah keluar, benda keras menghantam kaki ini hingga aku terjatuh. Ternyata Bang Kumis sudah berada di belakangku, ia tersenyum sinis dengan membawa pedangnya lagi.

Kakiku terasa sakit hingga tak mampu berdiri, terlebih jika harus berlari. Namun, aku berusaha berjalan mundur seperti orang mengesot demi untuk menjauh dari pria berkumis itu.

Semakin aku mundur semakin ia melangkah mengejarku bersama suara pedang yang menggesrek lantai. Terdengar nyaring, membuat gigi ini terasa ngilu.

Tanpa membuang waktu, Bang Kumis kembali mengacungkan pedangnya dan bersiap membunuhku.

“Hiiyyyaaa!”

Aku memejamkan mata, membenamkan rasa takut dan pasrah dengan apa yang akan terjadi padaku.

Bugh! Suara pukulan terdengar jelas, membuatku perlahan membuka mata. Aku terkesiap melihat Bang Kumis terjatuh, lirih terdengar erangannya dan sepersekian detik kulihat ia tak lagi bergerak. Kemudian aku menoleh ke arah seseorang yang sudah memukulnya. “Gita ....!”

Seketika aku berusaha bangun meski tertatih, lalu menghambur dan memeluknya. Tangisku pecah bersama rasa takut yang menggunung, hampir saja aku putus asa. Melihat sahabat-sabatku tak bernyawa, bahkan aku pun bisa saja menyusul mereka jika Gita tak menyelamatkanku. Kini, aku bersyukur Gita masih hidup. Ia bahkan menolongku dari psikopat itu!

Perlahan Gita melepaskan pelukanku. “Pergi dari sini!” ucapnya. Suaranya terdengar serak.

“I-iya, Git. Kita memang harus pergi dari sini, ayo!” Aku meraih tangan Gita dan menariknya bersiap untuk pergi. Namun, Gita menahan diri dan melepaskan tanganku.

“Pergi, Pen! Selamatkan dirimu!” titahnya lagi.

“Lalu kamu? Ayolah, Git. Kita harus sama-sama menyelamatkan diri, ‘kan?” jawabku sedikit bingung dengan sikapnya.

“Tidak, Pen. Kau saja yang pergi, jangan pikirkan aku,” tolaknya. Kali ini suaranya terdengar parau, lalu Gita menunduk dan menangis. Saat tangan ini akan menyentuhnya lagi, aku sangat terkejut.

Tiba-tiba ia berubah wujud menjadi ular besar mengerikan. Tubuh ini mematung tak percaya dengan apa yang aku saksikan saat ini.

“Gitaaaa!”
Aku terlonjak hingga tersadar.

“Alhamdulillah, ya Allah. Ternyata hanya mimpi,” ucapku lirih.

Keringat dingin membanjiri sekujur tubuh, aku tersengal-sengal seperti habis lari maraton. Kenapa aku mimpi Gita berubah menjadi ular lagi? Apa maksud dari mimpi itu? Dan Mbak Sarah, Alya juga Mas Beni? Ah! Semoga saja ini hanya mimpi buruk.

Samar suara orang dari kejauhan—melihat sekeliling. Di mana aku? batinku bertanya-tanya.

“Sudah sadar, Mbak?” Aku menoleh ke sisi kiri. Ternyata ada orang juga yang terbaring dengan tangan yang diinfus sepertiku. Dia seorang wanita, mungkin usianya dua atau tiga tahun lebih tua dariku.

Sepertinya aku di klinik. Di ruangan ini, hanya ada dua orang pasien.
Aku hanya mengangguk seraya tersenyum. Kurasakan sakit yang luar biasa di bagian kepala, benar saja, ada lilitan perban di kepalaku.

Baru ingat aku terjatuh saat akan pergi ke rumah Alya. Lalu, siapa yang mengantarku? Dan Alya? Semoga saja dia sudah pulang, tubuhku yang lemah membuatku tak bisa berpikir.

“Mbak, tahu nggak siapa yang mengantarku ke sini?” tanyaku pada wanita berwajah manis itu.

“Tadi ada Mas-mas cakep, yang nungguin mbaknya. Pacarnya, ya?” jawabnya.

Pacar? Belum tahu dia, kalau aku jomblo akut, tapi Mas-mas siapa, ya? Aku penasaran.

“Terus orangnya ke mana, Mbak?”

“Lagi ke luar, Mbak. Mungkin beli makanan, kasihan dia nungguin Mbak dari sore. Baik banget ....”

Mendengar ucapnnya, rasa penasaran kian bertambah, siapa laki-laki cakep dan baik hati yang menolongku? Tak lama seorang laki-laki datang membawa kresek hitam di tangannya.

“Mas Kasir?!” Entah kenapa sakit yang kurasakan saat ini berangsur sembuh saat melihatnya.

Langkahnya yang semakin dekat, semakin menambah debaran di dada. Astaghfirullahal’adzim, ampuni aku yang suka khilaf ini, ya Allah.

“Alhamdulillah, Mbak sudah sadar?”

“Udahlah, Mas. Kalau belum aku masih merem,” jawabku seraya tersenyum. Aih! Gaje beud! Ini kenapa lagi jantung cenat-cenut gini.

“Mas Kasir yang bawa aku ke sini?”
Pria di hadapanku terkekeh. Mungkin wajahku lucu, efek gugup berada di dekatnya.

“Namaku Rian. Iya, aku yang bawa Mbak ke sini,” jawabnya. Ternyata dia terkekeh karena kupanggil Mas Kasir.

Oh, Rian namanya? Pantes kalau aku di dekatnya berasa ‘Sharena Rizky’. Apelu ...? Apelu ...?

“Makasih, ya, Mas?” ucapku tulus pada laki-laki bertubuh tinggi itu.

“Sama-sama. Sebenarnya aku mau kasih tahu, kalau teman Mbak, sudah pulang. Dia pamit sama aku saat Mbak sudah masuk. Pas keluar mau nyusul, aku lihat Mbak terjatuh dan pingsan. Akhirnya aku bawa Mbak ke sini,” jelasnya.

“Benarkah? Syukurlah kalau Alya sudah pulang, kenapa dia gak pamit dulu coba? Aku pikir diculik sama si Kumis! Coba dia ngasih tahu, aku gak bakal jatuh dan sampai dirawat gini, ‘kan?” rutukku.

“Mas, boleh aku bertanya?” Dia hanya mengangguk.

“Apa Mas merasakan keganjilan selama bekerja dengan Bang Kumis?” tanyaku hati-hati.

“Nggak, Mbak. Aku aman-aman saja, niatku hanya bekerja,” jawabnya santai. Mungkin memang Mas Rian tidak tahu apa pun.

“Oh, gitu. By the way ... panggil aku Peni saja, Mas. Jangan mbak, atau sayang juga gak apa-apa.” Seketika kami tertawa. Pria yang asyik, supel dan ramah. Yang paling bikin aku kagum, dia gak ilfeel sama kebucinanku yang paripurna.

Dari kejauhan terdengar seseorang menyebut-nyebut namaku, tak lama wanita berkerudung hitam muncul dari balik pintu. “Mbak Sarah!” seruku. Seketika ia melirik ke arahku.

“Ya Allah, Peni!” Mbak Sarah berlari mendekatiku.

“Kamu kenapa? Kok, bisa sampai masuk rumah sakit?” tanya Mbak Sarah. Ia terlihat khawatir, tergurat jelas dari raut wajahnya.

Tiba-tiba teringat mimpiku tadi, melihat wanita di hadapanku dalam keadaan tak bernyawa. Sungguh, aku tak bisa membayangkan jika itu sampai terjadi. Tak terasa aku meneteskan air mata.

“Peni ... kamu kenapa?” Seketika aku memeluknya. Menangis di bahu wanita yang sudah aku anggap seperti kakakku sendiri, rasa ini juga kurasakan untuk Gita. Yang entah bagaimana keadaannya sekarang.
Haruskah aku menyerah? Demi untuk keselamatan sahabat dan orang lain dari kejahatan Bang Kumis?


Bersambung...

Part sebelumnya 👇
https://www.kaskus.co.id/show_post/5...cc95493d204707
NadarNadz
nona212
tien212700
tien212700 dan 35 lainnya memberi reputasi
36
1.7K
15
Thread Digembok
Urutan
Terbaru
Terlama
Thread Digembok
Komunitas Pilihan