ih.sulAvatar border
TS
ih.sul
Lemari Nomor 12


Di sekolahku ada sebuah rumor. Di sebuah lemari di perpustakaan, tepatnya di lemari nomor 12, ada seorang penunggu. Jika kau ingin bertemu dengannya maka datanglah jam 6 sore tepat dan bernyanyilah. Dengan demikian dia akan muncul dan mengabulkan permintaanmu.

Jujur saja itu terdengar konyol. Banyak orang sudah mencobanya dan sama sekali belum pernah ada yang membuktikan hal tersebut. Aku sendiri tidak percaya pada yang namanya hantu namun untuk suatu alasan rumor tersebut tidak pernah menghilang dan sudah diturunkan dari generasi ke generasi puluhan tahun lamanya.

Suatu hari aku tak dapat lagi membendung rasa penasaranku dan akhirnya menghampiri tempat itu.

Sekolah ditutup pukul 5 sore jadi jika ingin berada di sekolah lewat dari jam itu aku harus bersembunyi dari penjaga sekolah yang sedang berpatroli dan menunggu dia menutup gerbang dan pulang. Aku bisa memanjat pagar untuk keluar nanti jadi aku tak perlu khawatir akan dikunci di dalam sekolah.

Aku pun berjalan menuju perpustakaan dengan hati hati sambil menatap jam di ponselku. Masih ada sekitar 5 menit lagi. Aku kemudian memandang berkeliling dan menyadari ini adalah kali pertamaku berada di sekolah saat matahari sudah hampir terbenam.

Untuk suatu alasan perpustakaan sekolah berada di pojok terjauh dari lahan sekolah ini. Gedungnya yang kecil diapit bangunan lain membuatnya tertutupi oleh bayang bayang. Ruangan itu gelap begitu aku masuk kesana dengan hanya sedikit cahaya dari jendelanya yang sudah kabur.

Aku langsung menatap kearah lemari yang dirumorkan yang terletak di pojok ruangan dan berjalan kesana. Namun saat aku sudah setengah jalan aku mendengar suara langkah kaki.

Terkejut sekaligus panik aku hanya punya beberapa detik untuk berpikir hingga akhirnya aku menyembunyikan diriku di dalam lemari terdekat yang untungnya kosong sehingga aku dapat melihat seseorang memasuki ruangan.

Awalnya kukira itu penjaga sekolah yang kembali untuk suatu keperluan namun setelah kulihat dengan seksama itu adalah preman sekolah sekaligus teman sekelasku Toni. Ruangan memang nyaris gelap total sehingga aku tak bisa melihat siluetnya namun suara yang terdengar kemudian memang suara si Toni.

Dari yang bisa aku lihat dia berjalan menuju lemari tersebut, berdiri di depannya dan bernyanyi. Semenit tak ada apapun yang terjadi jadi Toni mengulanginya lagi namun tetap tak ada yang terjadi. setelah beberapa kali mencoba dia akhirnya menendang lemari tersebut dengan keras dan keluar dengan bersumpah serapah.

Setelah dia keluar aku tak langsung keluar melainkan menunggu beberapa saat, siapa tau dia kembali. Setelah 2 menit aku akhirnya keluar dari lemari, berjalan kearah pintu dan menyadari Toni benar benar sudah pergi.

Aku kembali memandang lemari nomor 12 dengan ragu ragu. Bukankah Toni sudah membuktikan bahwa tidak ada apapun yang akan terjadi? bukankah rumor itu hanyalah guyonan saja? Mungkin rumor itu memang dibuat untuk mengerjai mereka yang mudah tertipu.
Sudah jelas 99% bahwa rumor itu memang tidak benar namun sisa satu persennya tetap membuatku ragu untuk melangkah pulang.

Toh sudah disini jadi lebih baik dicoba saja. Meski sudah jelas itu tidak ada gunanya setidaknya aku bebas dari rasa penasaran dan bisa sepuasnya mengutuk kebodohanku tanpa ragu nanti.

Akupun menyalakan senter ponselku dan kembali memasuki perpustakaan.
Lemari nomor 12 sepertinya lemari tertua di tempat ini. kayu nya sudah mulai keropos seolah dimakan rayap dan cat nya sudah mengelupas disana sini. Lemari itu kosong tanpa ada satu buku pun di dalamnya dan bagian dalamnya agak basah, mungkin karna lembab.

Ini mungkin adalah kebodohan terbesar yang akan aku lakukan seumur hidupku namun aku tetap menutup mataku dan mulai melantunkan manteranya.

hush little baby dont say a word

Mama gonna buy you a mockingbird

If that mockingbird won't sing

Mama gona buy you a diamond ring

If that diamond ring turn to grass

Mama gonna buy you a looking glass


Aku menelan ludahku sembari menunggu tanda tanda namun tak ada apapun yang berubah. Lemari itu tetap kosong, tua, lembab dan berbau apek.
Aku mendesah pelan lalu berbalik saat hal itu terjadi.

Getaran getaran pelan terdengar menghiasi sore yang sepi. Aku berbalik dan menatap lemari tersebut yang kini dikelilingi cahaya putih lemah. Aku menahan nafas dan mencoba untuk tidak berteriak saat sebuah tangan muncul dari dalam lemari itu.

Tangan itu keluar dengan pelan disusul kepala, leher, bahu, tubuh dan akhirnya kaki. Sesosok hantu penunggu lemari nomor 12 benar benar muncul di hadapanku.

“Ahhhhhhhhhh sudah lama sekali sejak terakhir aku kemari”

Suara seorang pria yang agak serak terdengar dari mulut sosok itu. sosok itu terlihat persis seperti laki laki normal yang umurnya mungkin tidak jauh berbeda dariku namun dengan beberapa perbedaan. Dia agak transparan sehingga samar samar aku bisa melihat menembus tubuhnya dan yang paling penting, dia melayang.

Dia menggunakan seragam sma yang mirip dengan seragam sekolahku dengan tambahan bercak bercak darah dibagian depan bajunya. Wajahnya terlihat seperti manusia pada umumnya dengan organ organ lengkap.

Rambutnya yang hitam agak panjang, alisnya yang panjang, hidunya yang mancung, matanya elangnya yang agak sipit serta senyumnya yang memperlihatkan jajaran gigi putihnya yang rapi. Jujur, dia cukup tampan.

“Dan terlebih yang memanggilku seorang wanita cantik. Boleh kutau siapa namamu?” tanyanya sopan
Masih setengah kaget dan takut aku meraih bangku terdekat dan mendudukinya karna kakiku sepertinya tak lagi mampu menopang tubuhku. Aku memandang kembali sosok tersebut yang sedang duduk melayang sekitar semeter dari lantai.

“halo? Apa kau tidak bisa bicara?” tanyanya lagi

“Ahh, a—aku , namaku—"

“Oh sebentar sebentar, biar kutebak. Emm....” dia memasang ekspresi berpikir keras dan berputar putar di udara layaknya ikan yang berenang di dalam air.

“Clarabella. Apa namamu Clarabella?” tebaknya

“eh, bukan. Namaku Seraphina”

“Seraphina... nama yang bagus. Salam kenal, namaku Firmi”

Dia kemudian mengulurkan tangan kanannya untuk bersalaman dan aku refleks meraih tangannya namun saat kedua tangan kami bertemu itu hanya saling melewati begitu saja. Aku tak bisa menyentuhnya.

“Ah pelupa nya aku. Aku tak bisa lagi menyentuh apapun di dunia ini. aku lupa aku lupa”

Dia kemudian tertawa seolah itu adalah hal yang biasa saja namun bagiku itu adalah sebuah horor.

“Jadi, urusan apa yang kau miliki denganku? Apa kau punya suatu permintaan?”

Aku mencoba mengatur nafasku setelah serbuan kaget yang datang sedari tadi. Aku mencubit tanganku dan merasakan sakit lalu aku mengucek mataku namun sosok pria yang bernama Firmi itu tidak menghilang. Ini memang bukan mimpi.

“em, sebelum itu... kau ini apa?” tanyaku

“aku apa? Itu agak menyakitkan namun akan kujawab”

Dia kemudian melayang lebih tinggi lagi hingga kepalanya mencapai langit langit lalu bersuara keras sembari berpose layaknya kepala sekolah yang berpidato saat upacara senin pagi.

“Sederhananya aku adalah hantu. Manusia yang menolak pergi ke alam orang mati dan menempati lemari ini untuk mengikatku dengan dunia nyata. Sekian dan terima kasih”

“eh... jadi kau manusia yang sudah mati? Bukan iblis atau semacamnya?”

“tentu saja bukan. Sebagai hantu aku tidak sejahat itu. yeah, bagaimana pula caranya aku bisa berbuat jahat bila menyentuh apapun aku tak bisa”

Dia kemudian melayang menembus tubuhku seolah ingin membuktikan ucapannya. Rasanya seperti berjalan menembus air terjun. Sangat dingin.

“Kalau begitu apa kau sering mengabulkan permintaan orang lain?”

“Tidak juga. Sudah 20 tahun sejak aku mati dan kau adalah manusia pertama yang berhasil memanggilku. Singkatnya aku tak pernah mengabulkan permintaan siapapun”

“eh? Kalau begitu rumornya—”

“rumor? Rumor apa?”

Dia tidak tau? Aku kemudian memberitahunya rumor yang beredar di sekolah ini namun dia tampaknya tak tau apapun.

“jadi kenapa aku bisa memanggilmu sedangkan yang lain tidak?” tanyaku pada akhirnya

“hmmm.... entahlah. Mungkin karna nyanyianmu indah”

“tidak masuk akal” jawabku cepat

Dia nampaknya tak ingin memberitahu lebih jadi aku memutuskan bertanya pertanyaan selanjutnya.

“Jadi... apa kau bisa mengabulkan permintaan?”

“Ya, aku bisa. Tapi ingatlah, ada harga yang harus dibayar untuk setiap permintaan” jawabnya

“Harga?”

“Ya. Bisa apa saja tergantung permintaannya. Bisa hal sepele seperti menyiapkan sesajen hingga membayarnya dengan nyawamu”

Kata terakhirnya sukses memberiku getaran kecil di tulang belakangku.

“Nyawa?”

“Ya, seperti kata para alkemis. ‘Pertukaran setara’, bukan begitu?”

Aku menelan ludahku kembali. Aku menatap kearah layar ponselku yang sedari tadi menjadi satu satunya penerangan disini. Sudah jam setengah 7, sebaiknya aku cepat.

“kalau begitu, berapa harga untuk kecerdasan?”

Aku bernafas berat selagi melihat dia terdiam dengan ekspresi hampa namun sedetik berikutnya dia tersenyum lebar.

“Jadi kau memang tipe yang cantik diluar tapi bodoh di dalam ya? Bukan kombinasi yang bagus menurutku”

“berisik, beritahu saja aku”

Dia kemudian berbalik dan melayang melintasi rak rak buku yang tinggi tanpa menjawab. Aku mengawasinya dengan perasaan berharap yang belum pernah kurasakan selama ini.

“Hei hei, apa bahasa inggrisnya ‘buku jatuh’?” tanyanya tiba tiba

“eh? Book fall?”

“salah. Jawabannya ‘gedebook’ hahahahaha”

“cih, berhenti bercanda”

Dengan agak marah aku berjalan mengejarnya diantara barisan barisan rak namun dia terus melayang diluar jangkauanku sehingga aku tak bisa meraihnya.

“tidak perlu buru buru” ucapnya setelah puas berkeliling dan memutuskan melayang tenang di atas lemarinya. “dari penampilanmu sepertinya kau anak kelas 12 yang sedang khawatir dengan ujian nasional dan SBMPTN kan? karna itulah kau butuh kecerdasan”

Dia benar. Aku sudah begitu putus asa dengan ujian ujian di depan mata untuk tahun terakhirku di sma ini. Aku yakin Toni yang tadi datang juga mengharapkan bisa mendapat kecerdasan. Bila aku tak bisa masuk universitas aku tak tau apa yang akan Mama lakukan padaku.

“Jadi kau bisa atau tidak?” tanyaku tak sabar

“Tentu aku bisa tapi kau akan mati saat berumur 20. Bagaimana?”

“dua pu—”

Suaraku tercekat akan ketidak percayaan. Dua puluh tahun itu artinya 3 tahun lagi. Apa gunanya menjadi cerdas bila akan mati sebelum lulus kuliah?

“apa tak ada cara lain? Kumohon”

“hmm... bagaimana kalau belajar saja?”

“ujung ujungnya belajar toh?”

“tentu saja. Kalau kau belajar dengan benar maka kau tak akan kesulitan dengan ujian kan?”

“i-iya sih. Tapi kan—”

“tapi kau lebih suka melakukan hal lain daripada belajar. Aku tau itu”

Aku agak terkejut dengan ucapannya tersebut. Dia kini melayang rendah hingga bisa dibilang duduk di sebelahku dan menatapku lekat lekat.

“memangnya kenapa kalau aku tak bisa masuk universitas? Apa kau tak punya hal lain yang bisa kau lakukan?”

“eh itu—”

“atau orang tuamu memaksamu?”

“.... Ya. Mama bilang sebaiknya jadi PNS saja”

“Hahahaha, orang tua memang terkadang seperti itu”

“jadi kau tak bisa membuatku pintar tanpa membuatku mati?” tanyaku penuh harap sekali lagi

“sudah kubilang selalu ada bayaran untuk keinginan dan keinginanmu terlalu besar sedangkan nyawamu tidaklah seberharga itu jadi itu tawaran terbaik yang bisa kuberikan”

Aku mendesah berat sembari meremas ujung rokku sementara dia masih memandangku lekat lekat seolah aku makanan yang sangat lezat. Itu membuatku ingin segera pergi dari sini.

“kalau kau memang tidak bisa maka kurasa aku akan pergi”

“tunggu sebentar. Meski tak bisa memberimu kecerdasan aku masih bisa mendengar masalahmu. Untuk yang itu sih gratis”

“memangnya apa nasehat yang bisa diberikan seorang hantu padaku?”

“jangan remehkan hantu. Aku sudah hidup lebih lama darimu” ucapnya sombong. “contohnya, aku tau kau sebenarnya tak ada niat kuliah karna ingin memilih hal lain tapi orang tuamu memaksa. Bukan begitu?”

“darimana kau tau?” tanyaku kaget

“sudah kubilang jangan remehkan hantu. Coba kutebak, dari suaramu aku tau kau diam diam melatih pita suaramu. Apa kau ingin jadi penyanyi?”

Aku memegangi tenggotokanku karna kaget sambil mataku melebar takjub. Firmi tersenyum lebar kembali.

“mau dengar suatu kisah?”

“kisah?”

“kisah seorang anak yang bodoh. Anak itu tumbuh di lingkungan yang miskin dan orang tuanya sungguh kaku. Orang tuanya ingin agar anaknya menjadi PNS dengan pemasukan stabil dan tak perlu lagi khawatir akan masa tua namun anak tersebut ingin membentuk sebuah band dengan kekasihnya. Anak itu terlibat konflik dengan keluarganya namun setelah pertengkaran panjang ayah dari anak itu menghancurkan gitar si anak dan membuat anak itu menangis”

“setelahnya si anak sudah kehilangan semangat dan menjalani hidup tanpa gairah. Hanya sang kekasih yang menjadi penghiburnya namun suatu hari dia menerima kabar bahwa sang kekasih dijodohkan paksa oleh orang tuanya. Anak itu akhirnya depresi dan bunuh diri. Mimpinya hancur, kekasihnya dicuri, dia bunuh diri dengan berjuta kesedihan. Menyedihkan bukan?”

Aku menatapnya dengan tatapan curiga karna merasa kisah itu bukanlah karangan. Aku lalu melihat kembali bercak darah di bagian depan kemeja sekolahnya dan berkata. “Dan anak itu, adalah kau. Benar?”

“TING NONG, benar sekali”

Dalam seketika pandanganku padanya berubah. Seorang anak laki laki penuh senyuman yang dia gunakan untuk menyembunyikan kesedihannya. Dibalik senyum lebarnya dia adalah hantu yang tak bisa pergi dengan tenang karna penyesalan yang dalam.

“sepertinya kaulah yang harus dikasihani disini” ucapku

“hmm... tak perlu kasihan pada mereka yang sudah mati. Kasihanilah mereka yang hidup. Terutama yang hidup tanpa cinta. Jadi akulah yang akan mengasihanimu”

“kalau begitu, apa menurutmu aku tak memerlukan kecerdasan?”

“semua orang butuh kecerdasan namun kecerdasanmu adalah hal yang berbeda. Biarkan aku mendengarnya”

“eh, kau ingin aku menyanyi?”

“tentu, kalau tidak aku tak akan bisa memutuskan kau perlu atau tidak kan?”

“uhh... itu agak memalukan”

“hanya kita berdua disini jadi tak perlu malu”

Aku menatapnya ragu ragu namun pandangan matanya sungguh bersemangat. Aku jadi meragukan bahwa orang ini adalah hantu untuk waktu yang singkat karna dia terlihat sungguh manusiawi. Sangat berbeda dengan bayangan hantu di kepalaku.

Aku pun berdiri dan mengatur nafasku sejenak. Bersiap untuk bernyanyi.

“kau ingin dengar lagu apa?” tanyaku

“hmm... bagaimana kalau hush little baby yang kau nyanyikan untuk memanggilku?”

“Kau tau lagu itu ya? Baiklah”

Aku menarik nafas panjang dan membayangkan diriku berada diatas sebuah panggung. Dengan Firmi yang melayang sebagai penontonnya aku pun tersenyum dan mulai bernyanyi.

Hush little baby, don’t say a word,

Mama’s gonna buy you a mockingbird.

And if that mockingbird won’t sing,

Mama’s gonna buy you a diamond ring.

And if that diamond ring turn brasses,

Mama’s gonna buy you a looking glass.

And if that looking glass gets broke,

Mama’s gonna buy you a billy goat.

And if that billy goat won’t pull,

Mama’s gonna buy you a cart and bull.

And if that cart and bull turn over,

Mama’s gonna buy you a dog named Rover.

And if that dog named Rover won’t bark,

Mama’s gonna buy you a horse and cart.

And if that horse and cart fall down,

You’ll still be the sweetest little baby in town.


Aku mengatur nafasku kembali seusai menyanyi. Rasanya cukup jarang juga aku bisa menikmati bernyanyi seperti itu. apa ini efek dari seorang penonton yang ingin aku puaskan?

Aku memandang kearah Firmi dan mendapati dirinya sedang tersenyum namun... menangis.

“Firmi, kau baik baik saja?”

“eh, iya. Itu indah, sangat indah seperti biasa” ucapnya namun dia tak mencoba menyembunyikan air matanya. Dia tetap tersenyum lembut dan sedetik kemudian cahaya mulai memancar dari dalam tubuhnya.

Aku tak dapat bergerak seolah olah takjub dengan apa yang aku lihat. Aku melihatnya bersinar dan partikel partikel cahaya mulai keluar dari tubuhnya untuk menghilang dan selagi aku melihatnya, Firmi semakin transparan.

“Tunggu sebentar, kau—kau--”

“yeah, kurasa ini waktunya”

Dia tak terlihat melawan atau apapun. dia hanya merentangkan kedua tangannya dan berkata. “kemarilah, biarkan aku memelukmu”

Secara ajaib, seolah disihir oleh kata katanya aku melangkah dan memeluknya. Kali ini tubuhku tidak menembusnya dan aku dapat merasakan tubuhnya yang tak lagi dingin melainkan hangat.

“manusia memiliki banyak keinginan dan keinginan itulah yang membuat manusia hidup. Jangan biarkan manusia lain mengatur keinginanmu meski itu orang tuamu sendiri. kau tak memerlukan bantuanku, cukup percaya dan berjalan di jalan yang kau yakini dan kau akan baik baik saja. Aku yakin itu. karna aku, mencintai mu”

Untuk terakhir kali dia pun tersenyum. Senyum yang indah itulah yang aku ingat begitu tubuhnya memudar menjadi cahaya sepenuhnya dan menghilang di balik gelapnya malam.

***


Sudah seminggu sejak perginya Firmi. Sekolah tetap berjalan seperti biasa namun rumor mengenai lemari nomor 12 perlahan lahan menghilang hingga kini tak lagi ada yang membicarakannya.

Aku merangkul tasku dan bersiap pulang ke rumah. sebelum pulang aku singgah di kantor guru dan menyerahkan formulir bimbingan karirku.

“Kau ingin jadi penyanyi? Yakin?” tanya wali kelasku

“Ya, aku sangat sangat yakin” jawabku
Setelahnya aku kembali ke rumah dan menghadap kearah mama.

“Mama, bisa kita bicara?” tanyaku hati hati

Mama memandangku dengan sedikit curiga namun dia meletakkan majalah yang sedang dia baca dan menghadapku.

“Aku—aku ingin jadi penyanyi”

“Tidak, belajarlah untuk masuk PTN saja” jawab mama tegas

Aku menarik nafas dan menghimpun keberanianku. Tolong, beri aku keberanian Firmi.

“Firmi bilang padaku untuk memilih jalanku sendiri”

Efek kalimat itu sangat besar bagi mama. Dia terlonjak seolah disengat oleh sesuatu.

“Kau... itu nama yang sangat tidak umum. Darimana kau mendengarnya?”

“Aku mendengarnya dari dirinya langsung. Si penunggu lemari nomor 12, mantan kekasih mama. Benarkan?”

Dia menatapku seolah tidak percaya dan akupun menceritakan seluruh pengalamanku malam itu.

Kata kata terakhir Firmi, juga tebakannya atas namaku, aku merasa semua itu memang berhubungan. Aku yakin dia tidak semata mata tau bahwa aku berlatih bernyanyi. Kurasa dia tau semua tentangku sejak awal.

Clarabella, itu adalah nama mama. Penampilanku dan mama nyaris serupa jadi dia mungkin melihat sosok mantan kekasihnya dalam diriku.

“Kau bertemu dengannya? Kau sungguh bertemu dengannya?”

“Ya. Dan dia bilang, dia mencintai mu”

Mama pun tak kuasa menahan air matanya.

Setelahnya mama menceritakan mengenai rumor tersebut. Faktanya mama lah yang sudah membuat rumor itu dengan harapan semua orang tetap mengingat Firmi. Namun dia tak menyangka Firmi akan benar benar bergentayangan di lemari tersebut.

Mama juga bercerita bahwa dulu dia ingin menjadi penyanyi dan hanya Firmi yang mendukung mimpinya. Firmi bahkan rela mati matian belajar gitar agar bisa membentuk band dengan mama. Aku yakin mama sangatlah terpukul akan apa yang terjadi di masa lalu.

Kini aku yakin Firmi sudah berada di tempat yang lebih baik. Penyesalan terakhirnya yang tak mampu memenuhi mimpi mereka akan kuteruskan karna mama sudah setuju dengan pilihanku.

Terima kasih, sungguh terima kasih. Aku tak tau harus kubayar dengan apa pengalaman yang aku berikan di malam itu namun aku akan terus mengingatmu. Aku akan terus hidup untuk menceritakan kisahmu agar orang orang mengetahui bahwa kau pernah hidup.

Dimanapun kau berada lihatlah aku, aku akan mengikuti jalanku sendiri dan... kurasa aku juga mencintaimu. Tolong, tolong ingat itu.

END
Diubah oleh ih.sul 11-05-2020 07:00
nona212
jiyanq
kekefadilah
kekefadilah dan 125 lainnya memberi reputasi
126
2.8K
31
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Komunitas Pilihan