- Beranda
- Komunitas
- News
- Berita dan Politik
Kisah Ravio Patra dan Sikap Antidemokrasi


TS
deniswise
Kisah Ravio Patra dan Sikap Antidemokrasi
Peneliti independen kebijakan publik ini ditangkap polisi lantaran dituding menghasut dan memprovokasi kerusuhan di tengah merebaknya wabah Covid-19.
RAVIO Patra mungkin agak deg-degan dengan apa yang terjadi pada dirinya sekarang. Peneliti independen kebijakan publik ini ditangkap polisi lantaran dituding menghasut dan memprovokasi kerusuhan di tengah merebaknya wabah Covid-19.
Pelapornya? Ternyata polisi juga.
Ravio heran.
Awalnya, ia tak mengerti kenapa dirinya malah ditangkap polisi. Toh, ia merasa tak berbuat salah. Akan tetapi, akhirnya Ravio curiga juga.
Selama ini, lulusan hubungan internasional dari Universitas Padjadjaran (Unpad) itu mengkritisi banyak hal, mulai dari kejanggalan penunjukan mitra program prakerja, konflik kepentingan pada stafsus Jokowi, industry buzzer, hingga pasal karet UU ITE.
Yang ramai belakangan, lulusan Unpad yang cum laude itu mengkritisi data rasio kematian Covid-19 dari BNPB yang terbilang menyesatkan.
Dugaannya, memang ada pihak-pihak yang ingin menjatuhkan Ravio lantaran sikap kritisnya.
Telepon genggam Ravio tiba-tiba menerima notifikasi aneh.
“You’ve registered your phone number on another phone,” begitu bunyi notifikasi itu via aplikasi WhatsApp.
Ia pun mengadukan persoalan tersebut kepada pihak WhatsApp. Dan ternyata, pihak pengelola aplikasi pesan itu mengatakan kepadanya bahwa memang ada pembobolan.
Ia tak terima. Lantaran itu, beberapa pihak mencoba menolongnya. Era Purnamasari siap membelanya dan menjadi kuasa hukumnya. Ketika tim kuasa hukum Era melaporkan kasus peretasan yang dialami kliennya di Kepolisian.
Era menyatakan, mulanya pihaknya melaporkan kasus peretasan yang dialami kliennya ke Badan Reserse Kriminal Markas Besar Kepolisian RI. Namun, laporan Bareskrim tersebut urung. Pihaknya kemudian melanjutkan untuk membuat laporan ke kepolisian daerah Metro Jakarta Raya.
“Kami pindah lapor ke Polda Metro Jaya dan sudah diterima,” kata Era, dilansir Koran Tempo, Selasa (28/4/2020).
Isi pelaporannya, membuktikan aplikasi WhatsApp Ravio diretas beberapa saat sebelum peristiwa pengiriman pesan provokasi terjadi. Ini bertujuan untuk menepis dugaan pemuda itu terlibat dalam tindakan provokasi seperti yang ditudingkan polisi. Ravio, mau tak mau, harus berhadapan dengan meja hukum.
**
Apa yang terjadi pada Ravio hanyalah salah satu contoh dari tindakan yang bersifat anti-demokrasi oleh pemerintah. Tak hanya Ravio sebetulnya, dalam dua pekan terakhir ini, belasan aktivis pro-demokrasi juga menjadi korban serangan cyber yang bertendensi politik.
Mereka adalah peneliti SAFENet, Damar Juniarto; Koordinator jaringan Advokasi Tambang, Merah Johansyah Ismail; Ketua Badan Eksekutif Mahasiswa Universitas Indonesia, Fajar Adi Nugroho; dan juru bicara Gejayan Memanggil, Syahdan Husein.
Memang rada sulit dipercaya jika pembobolan serentak ini dilakukan tanpa sengaja terhadap mereka yang konsisten mengkritik pemerintah.

Apalagi, kritiknya ditujukan sebagai menegakkan hal yang adil dan mengungkapkan hal yang benar, seperti yang dilakukan Ravio dalam membongkar kekeliruan dalam rasio data kematian atau menolak Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja alias omnibus law.
Dan jika memang pembobolan yang dilakukan dengan sengaja itu benar, artinya tindakan itu adalah tindakan dzalim yang dilakukan negara terhadap para aktivis intelektual tersebut.
Ini pun juga sangat mencoreng demokrasi. Hakekat demokrasi harus menerima masukan dan kritikan yang dilontarkan oleh siapapun. Bagaimanapun juga, pemerintah harus acceptable atas hal tersebut lantaran itulah konsekuensi dari demokrasi yang telah kita pilih sejak reformasi 1998.
Jika pemerintah melanggar prinsip dasar tersebut, artinya pemerintah sudah mengarah pada sikap anti-demokrasi. Ini juga terlihat dari sisi penurunan tingkat kebebasan negara ini.
Kita bisa melihatnya dari laporan Freedom House yang berjudul “Freedom in the World 2020,” yang menunjukkan penurunan skor kebebasan Indonesia dari tahun sebelumnya.
Indonesia berada di posisi 61 poin dari total skala 100, turun 1 poin dari tahun sebelumnya yang sebesar 62 poin. Kategorinya bebas sebagian. Sementara, Urutan tertinggi ada pada Finlandia dengan skor 100 dan berkategori bebas.
Saya kira, setelah berakhirnya pemerintahan era Susilo Bambang Yudhoyono, pemerintahan memang cenderung bersifat lebih otoriter. Bukan karena otoriter dengan ketegasannya dalam menegakkan hukum, melainkan membungkam mulut aktivis yang berisik mengkritik penguasa.
Caranya pun berbeda: bukan lagi pengerahan aparat militer (ABRI seperti era Suharto) untuk menekan lawannya, melainkan dengan cara pelaporan-pelaporan pencemaran nama baik atau provokasi yang sesuai dengan prosedur hukum dan penuh dengan tendensi untuk menjatuhkan lawan.
Meski sesuai dengan aturan demokrasi berupa tindak proses hukum, tetapi tindakan-tindakan seperti itu jelas-jelas memiliki makna politik yang sangat tendensius. Apapun kritik yang dilakukan oleh aktivis, selalu saja ada pelaporan yang dilakukan pihak ketiga dengan alasan macam-macam.
Ini juga hal buruk dan tidak sehat untuk demokrasi kita. Bahkan, tindakan tendensius seperti ini bisa dikatakan anti-demokrasi. Karena itu, untuk mewujudkan demokrasi yang lebih matang, pemerintah jangan sampai melakukan abuse of power terhadap rakyat dan para aktivis.
Maka, sebaiknya pemerintah membiarkan para aktivis itu berbicara dan mengkritik dirinya. Kritik bisa bermanfaat bagi mereka, lantaran mampu mengurai kesalahan dan memperoleh celah untuk mencari solusi. (AK)
https://haluan.co/article/kisah-ravi...anti-demokrasi
begitulah kisahnya
RAVIO Patra mungkin agak deg-degan dengan apa yang terjadi pada dirinya sekarang. Peneliti independen kebijakan publik ini ditangkap polisi lantaran dituding menghasut dan memprovokasi kerusuhan di tengah merebaknya wabah Covid-19.
Pelapornya? Ternyata polisi juga.
Ravio heran.
Awalnya, ia tak mengerti kenapa dirinya malah ditangkap polisi. Toh, ia merasa tak berbuat salah. Akan tetapi, akhirnya Ravio curiga juga.
Selama ini, lulusan hubungan internasional dari Universitas Padjadjaran (Unpad) itu mengkritisi banyak hal, mulai dari kejanggalan penunjukan mitra program prakerja, konflik kepentingan pada stafsus Jokowi, industry buzzer, hingga pasal karet UU ITE.
Yang ramai belakangan, lulusan Unpad yang cum laude itu mengkritisi data rasio kematian Covid-19 dari BNPB yang terbilang menyesatkan.
Dugaannya, memang ada pihak-pihak yang ingin menjatuhkan Ravio lantaran sikap kritisnya.
Telepon genggam Ravio tiba-tiba menerima notifikasi aneh.
“You’ve registered your phone number on another phone,” begitu bunyi notifikasi itu via aplikasi WhatsApp.
Ia pun mengadukan persoalan tersebut kepada pihak WhatsApp. Dan ternyata, pihak pengelola aplikasi pesan itu mengatakan kepadanya bahwa memang ada pembobolan.
Ia tak terima. Lantaran itu, beberapa pihak mencoba menolongnya. Era Purnamasari siap membelanya dan menjadi kuasa hukumnya. Ketika tim kuasa hukum Era melaporkan kasus peretasan yang dialami kliennya di Kepolisian.
Era menyatakan, mulanya pihaknya melaporkan kasus peretasan yang dialami kliennya ke Badan Reserse Kriminal Markas Besar Kepolisian RI. Namun, laporan Bareskrim tersebut urung. Pihaknya kemudian melanjutkan untuk membuat laporan ke kepolisian daerah Metro Jakarta Raya.
“Kami pindah lapor ke Polda Metro Jaya dan sudah diterima,” kata Era, dilansir Koran Tempo, Selasa (28/4/2020).
Isi pelaporannya, membuktikan aplikasi WhatsApp Ravio diretas beberapa saat sebelum peristiwa pengiriman pesan provokasi terjadi. Ini bertujuan untuk menepis dugaan pemuda itu terlibat dalam tindakan provokasi seperti yang ditudingkan polisi. Ravio, mau tak mau, harus berhadapan dengan meja hukum.
**
Apa yang terjadi pada Ravio hanyalah salah satu contoh dari tindakan yang bersifat anti-demokrasi oleh pemerintah. Tak hanya Ravio sebetulnya, dalam dua pekan terakhir ini, belasan aktivis pro-demokrasi juga menjadi korban serangan cyber yang bertendensi politik.
Mereka adalah peneliti SAFENet, Damar Juniarto; Koordinator jaringan Advokasi Tambang, Merah Johansyah Ismail; Ketua Badan Eksekutif Mahasiswa Universitas Indonesia, Fajar Adi Nugroho; dan juru bicara Gejayan Memanggil, Syahdan Husein.
Memang rada sulit dipercaya jika pembobolan serentak ini dilakukan tanpa sengaja terhadap mereka yang konsisten mengkritik pemerintah.

Apalagi, kritiknya ditujukan sebagai menegakkan hal yang adil dan mengungkapkan hal yang benar, seperti yang dilakukan Ravio dalam membongkar kekeliruan dalam rasio data kematian atau menolak Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja alias omnibus law.
Dan jika memang pembobolan yang dilakukan dengan sengaja itu benar, artinya tindakan itu adalah tindakan dzalim yang dilakukan negara terhadap para aktivis intelektual tersebut.
Ini pun juga sangat mencoreng demokrasi. Hakekat demokrasi harus menerima masukan dan kritikan yang dilontarkan oleh siapapun. Bagaimanapun juga, pemerintah harus acceptable atas hal tersebut lantaran itulah konsekuensi dari demokrasi yang telah kita pilih sejak reformasi 1998.
Jika pemerintah melanggar prinsip dasar tersebut, artinya pemerintah sudah mengarah pada sikap anti-demokrasi. Ini juga terlihat dari sisi penurunan tingkat kebebasan negara ini.
Kita bisa melihatnya dari laporan Freedom House yang berjudul “Freedom in the World 2020,” yang menunjukkan penurunan skor kebebasan Indonesia dari tahun sebelumnya.
Indonesia berada di posisi 61 poin dari total skala 100, turun 1 poin dari tahun sebelumnya yang sebesar 62 poin. Kategorinya bebas sebagian. Sementara, Urutan tertinggi ada pada Finlandia dengan skor 100 dan berkategori bebas.
Saya kira, setelah berakhirnya pemerintahan era Susilo Bambang Yudhoyono, pemerintahan memang cenderung bersifat lebih otoriter. Bukan karena otoriter dengan ketegasannya dalam menegakkan hukum, melainkan membungkam mulut aktivis yang berisik mengkritik penguasa.
Caranya pun berbeda: bukan lagi pengerahan aparat militer (ABRI seperti era Suharto) untuk menekan lawannya, melainkan dengan cara pelaporan-pelaporan pencemaran nama baik atau provokasi yang sesuai dengan prosedur hukum dan penuh dengan tendensi untuk menjatuhkan lawan.
Meski sesuai dengan aturan demokrasi berupa tindak proses hukum, tetapi tindakan-tindakan seperti itu jelas-jelas memiliki makna politik yang sangat tendensius. Apapun kritik yang dilakukan oleh aktivis, selalu saja ada pelaporan yang dilakukan pihak ketiga dengan alasan macam-macam.
Ini juga hal buruk dan tidak sehat untuk demokrasi kita. Bahkan, tindakan tendensius seperti ini bisa dikatakan anti-demokrasi. Karena itu, untuk mewujudkan demokrasi yang lebih matang, pemerintah jangan sampai melakukan abuse of power terhadap rakyat dan para aktivis.
Maka, sebaiknya pemerintah membiarkan para aktivis itu berbicara dan mengkritik dirinya. Kritik bisa bermanfaat bagi mereka, lantaran mampu mengurai kesalahan dan memperoleh celah untuk mencari solusi. (AK)
https://haluan.co/article/kisah-ravi...anti-demokrasi
begitulah kisahnya






fatqurr dan 12 lainnya memberi reputasi
11
844
6


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan