dylestariAvatar border
TS
dylestari
Indonesia Darurat Membaca? Nyatanya Nggak!


Kualitas pendidikan suatu negara digadang-gadang sebagai tolakan atau anggapan bahwa negara tersebut sudah berhasil dalam menciptakan SDM yang makmur. Nyatanya itu memang benar demikian.

Pengetahuan berbanding lurus dengan kemajuan suatu negara. Pendidikan yang baik didapat dari mempelajari ilmu pengetahuan. Ilmu pengetahuan yang baik dimulai dengan membaca. Dari membaca orang-orang jadi tahu. Dengan membaca, orang-orang jadi bisa berpikir apa yang tidak pernah dipikirkan sebelumnya. Dengan membaca, sama dengan membuka akses untuk menyentuh dunia. Melepaskan diri dari zaman kebodohan untuk hidup lebih maju.

Adalah fakta, jika semakin banyak warga yang membaca ilmu pengetahuan, maka akan ada banyak orang yang berpikir untuk bisa berkontribusi, menciptakan, atau bahkan merubah dunia.

Pemerataan pendidikan yang memadai menjadi tolak ukur dalam perkembangan pendidikan yang diterima masyarakat menuju tingkat yang lebih baik. Semakin baik kualitas pendidikan suatu negara, semakin banyak terciptanya generasi-generasi dengan kualitas unggul pula. Dalam hal penyokong pendidikan bangsa, tentu itu adalah tanggung jawab negara.

Sebabnya, pendidikan juga sangat berperan penting dalam kemakmuran negara selain dari segi ekonomi.

Tapi, sebenarnya ekonomi suatu negara tidak akan terwujud jika ilmunya tidak dipelajari ‘kan?

Jika pendidikan merupakan peran penting, lantas apa yang mendasari bahwa kualitas pendidikan suatu negara bisa dikatakan baik?



Programme for International Student Assesment atau PISA merupakan sebuah program tes yang mengevaluasi sistem pendidikan dari 72 negara di seluruh dunia. PISA sendiri adalah sistem ujian yang diinisasi oleh Organisation for Economic Cooperation and Development (OECD). Tes ini diadakan setiap 3 tahun dengan memilih murid-murid dari seluruh dunia dengan kisaran usia 15 tahun untuk menempuh tes yang tercantum; membaca, matematika, dan sains. Pada pengujian akan diujikan dengan mata pelajaran satu fokus oleh penyelenggara dengan tema bergilir.

Pengujian ini dilakukan untuk memberikan informasi dengan menggunakan diagnostik dengan tujuan perbaikan sistem pendidikan.
Dalam survei tersebut, peserta didik Indonesia mengalami peningkatan yang cukup signifikan dalam segi matematika dan sains sejak 2012-2015. Namun itu tidak terjadi dalam segi membaca. Memang mengalami peningkatan, tapi nggak terlalu signifikan.

Peningkatan tersebut mengangkat posisi Indonesia 6 peringkat ke atas bila dibandingkan posisi peringkat kedua dari bawah pada tahun 2012.

WALAUPUN peningkatan itu masih di bawah rata-rata OECD, tapi itu cukup membuka peluang Indonesia untuk meningkatkan kualitas sistem pendidikan.

Indonesia Darurat Membaca?



Menurut survei World's Most Literature Nations, menunjukkan Indonesia yang berada pada peringkat ke- 60 dari 61 negara dalam segi literatur.

Iya, ini yang diributkan masyarakat; Indonesia berada di peringkat ke- 2 dari bawah untuk literasi buku. Prestasi yang luar biasa!

Tapi tau nggak, sih? Survei ini punya sedikit blunded atau kesalahan dalam men-survei. Selain itu, survei ini bukan satu-satunya yang menyoroti tingkat literasi negara-negara di dunia.

Nah, World Culture Index Score pada tahun 2018 hadir dengan menunjukkan hasil berbeda.

Disebutkan Indonesia menempati urutan ke-17 dari 30 negara dengan menghabiskan 6 jam/minggu dalam membaca.

Peringkat itu juga membawa Indonesia berada satu tingkat di atas Amerika dan Jepang.

Yang ane sebutkan tadi adanya blunded dalam survei, bukan ada masalah dari datanya yang nggak relevan tetapi dari segi apa survey itu diambil.

World’s Most Literature Nations melakukan survei dengan mengambil data dari berapa banyak pengunjung perpustakaan di suatu negara dalam satu tahun. Sedangkan survei Indeks Skor Budaya dunia mengambil dari jumlah waktu yang dihabiskan untuk membaca dalam satu minggu. Hasilnya, Indonesia menempati posisi ke-17 dari 30 negara karena perorang nya mampu menghabiskan waktu selama 6 jam perminggu untuk membaca buku.

Data itu diambil pada tahun 2017/2018.

Sekarang, membaca bukan hanya dari buku aja. Melainkan dari berbagai sumber. Dan kenyataan nya, banyak kok masyarakat Indonesia yang sekarang suka baca. Terlepas dari buku atau bacaan apa yang dibacanya.

Apalagi sekarang banyak perpustakaan yang didirikan, entah itu dari relawan atau pemerintah itu sendiri. Minat baca anak-anak juga semakin meningkat karena semakin banyak yang peduli tentang budaya membaca.

Pendapat Agan, apakah minat baca masyarakat masih rendah?

Apakah yakin jika sudah suka membaca, masyarakat benar-benar memahami apa yang dibacanya? Karena membaca berbeda dengan memahami.



Apa pendapat Agan dan Sista sekalian?

Bebas berpendapat di kolom komentar.


Source
Source
Source
[url=https://www-idntimesS E N S O R.cdn.ampproject.org/v/s/www.idntimes.com/opinion/social/amp/wahyuajisaputra/opini-kenapa-literasi-di-era-millennial-merupakan-hal-penting-c1c2?amp_js_v=a2&_gsa=1&usqp=mq331AQFKAGwASA%3D#aoh=15886244198221&csi=1&referrer=https%3A%2F%2Fwww.google.com&_tf=Dari%20%251%24s&share=https%3A%2F%2Fwww.idntimes.com%2Fopinion%2Fsocial%2Fwahyuajisaputra%2Fopini-kenapa-literasi-di-era-millennial-merupakan-hal-penting-c1c2]Source[/url]
Diubah oleh dylestari 07-05-2020 03:11
Kutuloncat373
sarkaje
nona212
nona212 dan 49 lainnya memberi reputasi
50
2.5K
48
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Komunitas Pilihan