Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

First.CrownAvatar border
TS
First.Crown
Gerwani dan Perjuangan Politik Perempuan
Berhubung Thread Tentang isu-isu seperti ini jarang diangkat maka, saya akan menulis sedikit informasi mengenai ini.

Thread ini adalah uraian singkat dari Buku: Penghancuran Gerakan Perempuan : Politik Seksual Di Indonesia Pasca Kejatuhan PKI yang ditulis oleh : Saskia Eleonora Wieringa

Selama Membaca!

BOLA mata para jendral dicungkil dari tempatnya, sekujur tubuhnya dikuliti dan kemaluan mereka dipotong. Mayat yang tak lagi utuh tersebut dikumpulkan dalam satu sumur mati di wilayah Lubang Buaya, Jakarta. Di atas sumur mati tersebut para wanita sundal menari ‘Tari harum Bunga’ dengan tanpa busana merayakan kemenangan. Tarian setan tersebut diiringi lagu Gendjer Gendjer yang bernuansa mistis. Maka, lengkap sudah segala kegerian dimalam jahaman 1 Oktober 1965 tersebut.

Gambaran diatas merupakan secuil scene dari lakon Pengkhianatan G30S/PKI, sebuah film yang dirilis tahun 1984 dan terus menerus diputar sebagai tontonan wajib setiap tahun sepanjang masa Orde Baru. Film tersebut, selain melalui jalur formal seperti institusi pendidikan dan buku-buku sejarahnya, merupakan salah satu jalan Orde Baru untuk menghegemoni kesadaran atas citra PKI secara umum dan Gerwani khususnya, sebagai orang-orang yang bengis-keji-jahanam-sundal-dan segala macam terma yang menggambarkan ketiadaan perikemanusiaan.

Setelah Orde Baru runtuh dan pemeriksaan ulang atas sejarah versi Orde Baru dilakukan, kita tahu bahwa Tari Harum Bunga Gerwani di Lubang Buaya merupakan omong kosong. Begitupun dengan mayat para korban yang digambarkan dikuliti, bola mata yang keluar, hingga kemaluan yang dipotong juga adalah kebohongan. Tetapi, hal ini bukan berarti secara otomatis mengubah stigma masyarakat tentang PKI dan Gerwani. PKI masih dicap sebagai organisasi ateis tak bermoral, dan Gerwani masih digambarkan sebagai pramuria sundal yang hanya setingkat lebih tinggi dari hewan.

Dalam konteks demikianlah, buku Saskia Eleonora Wieringa, seorang Profesor di Universitas Amsterdam dan ketua Gender and Women’s Same-Sex Relation Crossculturally,patut mendapat perhatian lebih. Wieringa dalam bukunya berjudul Penghancuran Gerakan Perempuan : Politik Seksual Di Indonesia Pasca Kejatuhan PKI (yang berangkat dari sebuah penelitian berjudul The Politization of Gender Relation in Indonesia), menunjukkan kepada kita apa Gerwani sebenarnya. Benarkah Gerwani adalah organisasi para pramuria? Bagaimana Gerwani, dan gerakan perempuan pada umumnya, ikut mewarnai perjalanan sejarah Indonesia? Pertanyaan-pertanyaan demikian yang dijawab oleh Wieringa dalam buku ini.

 

Gerwani: Organisasi Perempuan Militan

Pada tanggal 4 Juni 1950, enam wakil organisasi perempuan berkumpul di Semarang dan menghasilkan sebuah keputusan untuk membuat satu organisasi perempuan yang dinamakan Gerwis (Gerakan Wanita Sedar). Enam organisasi yang mendirikan Gerwis adalah: Rukun Putri Indonesia (Rupindo) dari Semarang, Persatuan Wanita Sedar dari Surabaya, Isteri Sedar dari Bandung, Gerakan Wanita Indonesia (Gerwindo) dari Kediri, Wanita Madura, dan Perjuangan Putri Republik Indonesia dari Pasuruhan. Para pendiri Gerwis berasal dari kalangan sosial yang berbeda tetapi semuanya terjun dalam gerakan nasional, bahkan, banyak diantaranya yang menjadi anggota pasukan bersenjata. Dalam pembentukan organisasi tersebut, disepakati ketua pertama Gerwis adalah Tris Metty yang pernah menjadi anggota Laskar Wanita Jawa Tengah.

Walaupun Gerwis di dalam konstitusinya menyatakan diri sebagai organisasi non-politik dan tidak berafiliasi dengan partai politik manapun, kenyataannya PKI memiliki pengaruh yang sangat kuat dalam proses pembentukan hingga arah politik Gerwis kedepan. Sebagaimana yang dijelaskan Ny Chalisah, salah satu pendiri Gerwis, bahwa ‘partai meminta saya untuk membangun organisasi perempuan komunis di dalam partai’ (hlm 218). Tetapi, keinginan para pemimpin PKI ini bukanlah satu-satunya faktor penyebab berdirinya Gerwis. Lebih besar dari itu, hasrat bersama untuk tercapainya kemerdekaan nasional dan berakhirnya praktik feodalisme adalah faktor terbesar berdirinya Gerwis.

Konres pertama Gerwis dilakukan pada Desember 1951. Dalam masa ini, Gerwis berada dalam kondisi yang sulit. Para utusan Gerwis dari daerah-daerah banyak yang masih berada dipenjara. Ketika itu, parlemen yang dipimpin Masyumi adalah pemerintahan yang reaksioner dan para utusan Gerwis tersebut adalam korban dari politik yang reaksioner ini. Untuk itu, Aidit, sebagai pemimpin PKI kala itu, menginstruksikan Gerwis untuk menghentikan sementara kritik terhadap pemerintah dan lebih memfokuskan pada gerakan bawah tanah.

Dalam kongres kedua pada 1954, setelah mendapat tekanan dari PKI untuk menjadi organisasi massa dibawahnya (Gerwis pada awalnya dibentuk sebagai organisasi kader), Gerwis mengubah nama menjadi Gerwani (Gerakan Wanita Indonesia) dan memilih Umi Sarjono –yang juga merupakan anggota PKI sebagai ketuanya. Organisasi berkembang pesat diantara masa kongres pertama dan kedua. Di Surabaya, Gerwis memiliki  40 cabang dengan 6000 anggota dan pada tahun 1954, anggotanya telah meliputi 80.000 orang. Dalam masa ini pula, Gerwani aktif dalam tiga front perjuangan sekaligus. Pertama, dalam lapangan politik, mereka menghadapi elemen reaksioner, yaitu elemen yang menggerakkan peristiwa 17 Oktober 1952; kedua, dalam tataran feminisme, mereka menentang PP Nomor 19 yang mengatur masalah perkimpoian tetapi dinilai diskriminatif dan untuk itu Gerwis mendukung disahkannyaUndang-Undang Perkimpoian yang lebih demokratis; dan ketiga, Gerwis berusaha sebisa mungkin untuk menghindari konfrontasi dengan Sukarno. Selain itu, di tingkat lokal, Gerwis ikut serta dalam kampanye BTI (Barisan Tani Indonesia) melawan tindakan pemerintah yang berusaha mengusir kaum tani dari bekas perkebunan yang telah mereka duduki. (hlm 227-228).

Perubahan Gerwani dari organisasi kader menjadi organisasi massa ini salah satunya dilakukan dengan cara menawarkan kepada kaum perempuan untuk menjadi pemimpin tanpa memandang latar-belakang sosial. Perwari (Persatuan Wanita Republik Indonesia) misalnya, para pemimpinnya hanya berasal dari keluarga pamong praja, atau memiliki pendidikan yang cukup tinggi. Strategi ini berhasil merekrut banyak kader, karena perempuan yang bergabung menilai Gerwani sebagai satu-satunya pihak yang sudi membantu memecahkan persoalan mereka sehari-hari. Selain itu, Gerwani juga dinilai sebagai organisasi alternatif di luar organisasi perempuan yang sudah ada dan menawarkan solusi konkret atas permasalahan yang terjadi sehari hari.

Kemudian, dalam resolusi Kongres ke III, Gerwani menunjukkan arah politik yang semakin condong kepada urusan poilitik nasional dari yang semula banyak berjuang dalam lapangan permasalahan perempuan, utamanya tentang demokrasi terpimpin. Pergeseran orientasi ini semakin terlihat ketika Gerwani fokus pada isu kenaikan harga pangan dan sandang ketimbang urusan-urusan feminis seperti masalah perkimpoian. Dengan perubahan orientasi ini, maka Gerwani harus melakukan berbagai penyesuaian yang dirumuskan dalam tiga hal. Pertama,Gerwani ingin memimpin gerakan yang lebih luas; kedua, Gerwani menghendaki membangun gerakan massa, dalam hal  ini Gerwani mengikuti garis PKI dalam emansipasi perempuan yang merumuskan bahwa sosialisme harus dicapai lebih dulu sebelum bicara masalah spesifik tentang urusan perempuan; ketiga, Gerwani menghendaki perempuan ikut ambil bagian dalam politik nasional, hal ini contohnya tercermin dari keterlibatan Gerwani dalam urusan perang memperebutkan Irian Barat dan menyerukan agar gerakan perempuan bersatu untuk itu.


Ideologi Gerwani

Dengan sepak terjangnya tersebut, menjadi pertanyaan besar apakah ideologi yang menjadi dasar Gerwani. Pertanyaan tersebut dijawab oleh Wieringa di bab 2 dengan judul ‘Tiga Alur: Feminisme, Sosialisme dan Nasionalisme.’ Sebagaimana judulnya, Gerwani memang dipengaruhi oleh tiga aliran pemikiran tersebut.

Gerwani mendapat inspirasi tentang pemikiran sosialis/marxisme karena organisasi ini bertalian erat dengan PKI. Menurut Wieringa, dalam hubungannya terhadap marxisme, Gerwani bergulat dengan sejumlah problem teoritis. Dalam marxisme, perjuangan perempuan harus ditempatkan sebagai bagian dari perjuangan kelas. Ketika komunisme ditegakkan, maka perempuan sebagai subordinasi keluarga akan lenyap dan ‘keluarga proletar bahagia’ akan menggantikannya (hlm 83). Pandangan ini memiliki beberapa problem, diantaranya, bagi Wieringa, pandangan Engels tentang keluarga yang ditulisnya dalam The Origin of the Family (1884) dianggap a-historis, terutama tentang masyarakat suku. Kedua,karena perempuan utamanya ditempatkan dalam rumah tangga, maka teori marxis hanya memiliki sedikit pengertian terhadap peran perempuan di tengah masyarakat. Ketiga,karena eksploitasi perempuan dalam keluarga dipandang sebagai penemuan kapitalis, maka pemecahannya dicari di luar rumah tangga, yakni perempuan harus memasuki produksi masyarakat, pekerjaan rumah tangga harus disosialisasi. Terakhir, karena penindasan seksual dihubungkan dengan kapitalisme, maka disini sosialisme akan memberikan jalan keluar dan oleh karena itu tidak perlu adanya perjuangan perempuan secara sadar guna memperbaiki perilaku laki-laki maupun mengubah hubungan antar-pribadi.

Pada tahun 70-80an, kaum feminis-marxis dan sosialis mencoba mengoreksi marxisme karena dianggap kurang memberikan jawaban terkait hubungan antara pekerjaan rumah tangga dalam kaitannya dengan produksi masyarakat. Koreksi itu dimaksudkan untuk memperluas konsep pokok tentang produksi dengan memasukkan persoalan melahirkan dan pemeliharaan anak (hlm. 86). Namun, upaya penafsiran ulang marxisme ini tidak mampu untuk menjawab sejumlah persoalan pokok, seperti hubungan antara kapitalisme dengan patriarki. Hal ini biasanya dijabarkan dengan teori secara terpisah tapi saling terkait (hlm 87). Problem lain yang dihadapi feminis-marxis belakangan lebih fundamental. Utamanya terkait dengan kritik terhadap subjek marxis dan penilaian basis epistemologi marxisme yang menganggap marxisme dan perjuangan kelas sebagai perjuangan sosial paling penting, sedangkan perjuangan lain harus tunduk di bawahnya.

Dalam hubungannya dengan feminisme, nasionalisme Indonesia juga ditandai dengan kontradiksi penolakan akan pembedaan seksual disatu pihak, dipihak lain hal itu bersifat universal (hlm 92). Disatu sisi, perbedaan gender membuat dikotomisasi secara politik, ekonomi, dan sosial, namun pada saat yang sama pembangunan keduanya dipandang sebagai sesuatu yang amat penting dalam cita-cita nasional. Sebagai contoh, Sukarno yang seorang nasionalis-sosialis mendorong perempuan untuk mejadi ‘roda kedua’ kereta perang menuju kemerdekaan. Tetapi disisi lain, pasca kolonialisme, para pemimpin laki-laki berupaya untuk menguasai dan mengontrol kegiatan perempuan. Hal ini kemudian dilawan oleh Gerwani, misalnya, dengan mendekonstruksi model putri Jawa Kartini. Bagi mereka, Kartini adalah simbol bagaimana perempuan melawan dan memberontak untuk mendapatkan hak yang sama seperti laki-laki (hlm 82-92).

Setelah tahun 1959, Gerwani menyatakan kesetiaannya terhadap sosialisme. Para pemimpin Gerwani pun mulai membaca karya-karya para penulis sosialis seperti Clara Zetkin dan Engels. Selain itu, Api Kartini (terbitan Gerwani), juga terus-menerus mempublikasikan tentang ‘berkah sosialisme’ dengan mengutip kata-kata Sukarno. Demikianlah, dalam sejarahnya yang relatif singkat, Gerwani telah melakukan upaya pembentukan identitas dirinya sendiri. Ketiga alur wacana ini yang kemudian mewarnai perjalanan sejarah Gerwani, meskipun hubungan diantara ketiganya sangat dinamis.

 
Lanjut dibawah gan emoticon-Ngacir

infinitesoul
smoothx
nona212
nona212 dan 17 lainnya memberi reputasi
16
950
7
GuestAvatar border
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Komunitas Pilihan