- Beranda
- Komunitas
- Story
- Stories from the Heart
Patah di Antara Untaian Kata : Terlalu Baper Tak Baik untuk Kesehatan


TS
Visiliya123
Patah di Antara Untaian Kata : Terlalu Baper Tak Baik untuk Kesehatan
Aku tersenyum miris, memandang dua orang yang berbeda jenis saling melemparkan candaan satu sama lain. Gurat senyum menghiasi wajah keduanya, seakan mereka adalah orang yang paling bahagia di dunia ini. Saking asyiknya, keduanya lupa jika ada orang lain di sekitarnya. Bahkan mereka tak menyadari jika ada hati yang terluka di sini. Ya, aku sedikit cemburu dengan kedekatan keduanya. Hanya sedikit.
Aku menghela napas, ingatanku kembali pada kejadian bulan lalu, yang seharusnya tak perlu diingat.
Semua ini berawal dari sebuah kalimat yang tersusun dari beberapa kata. Menawarkan sebuah gurat senyum di wajah, tapi membuat luka di reluang hati seiring berjalannya waktu.
Nostalgia di waktu SMA, sebut saja seperti itu.
Semua orang bilang, masa SMA adalah masa yang paling indah. Beberapa dari rasa sesal hari ini atau di masa depan, mengharapkan waktu dapat diputar ulang. Andai saja mesin waktu Doraemon benar-benar ada. Tapi, itu mungkin hanya angan semata yang entah sampai kapan hanya ada dalam bayangan.
Saat itu, aku duduk di bangku SMA kelas 3. Di dua tahun sebelumnya hidupku benar-benar datar. Tak ada yang menarik sama sekali. Setiap hari kujalani aktivitas yang menurutku sangat membosankan. Berangkat lalu pulang, tak ada bermain sepulang sekolah, tak ada yang namanya bolos di jam pelajaran juga tak ada percintaan. Ya, sedatar itu masa SMA-ku.
Menginjak di kelas 3 hidupku benar-benar berubah, ada warna yang menghiasinya. Semua itu karena cowok bermata teduh, yang entah sejak kapan mulai dekat denganku. Pembawaannya yang humoris, membuat setiap kata yang terlontar dari mulutnya terasa membahagiakan di telingaku. Hatiku terkadang berdebar kencang, ketika dia duduk di sebelahku. Aneh, sebenarnya bukan hanya sekali atau dua kali kami duduk bersebelahan seperti itu. Kami sering berada di situasi itu setiap ada kerja kelompok. Teman kelasku bahkan sering mengejek kami, kalau kami berjodoh sebab seringkali berada dalam satu kelompok. Entah itu kebetulan atau memang sudah direncanakan oleh Allah.
"Cie, satu kelompok lagi," ledek salah satu temanku. Sebut saja namanya Kina(nama samaran).
"Ya dong, kita 'kan jodoh. Ya gak, Vi?" jawab cowok yang duduk di sampingku itu. Aku menoleh ke arahnya, menatap dia tajam menunjukkan ketidaksukaan. Sedangkan dia hanya menaik-turunkan kedua alisnya sambil tersenyum lebar.
"Kode tuh, Vi." Aku hanya derdecak sebal ketika teman-teman yang lain ikut meledekku. Semua ini sudah biasa terjadi, jadi ini bukan sesuatu yang baru untukku. Tapi yang aku bingungkan, kenapa Damar(nama samaran) menanggapi ledekan itu hari ini. Padahal biasanya cowok itu cepat-cepat mencari topik lain dengan guyonan recehnya atau hanya tersenyum tipis. Entahlah, apa yang terjadi dengannya kali ini?
Semenjak kejadian itu, entah mengapa aku merasa bahwa Damar gencar mendekatiku. Seperti saat ini, cowok itu kini tengah duduk di bangku depanku. Dengan iseng dia mengoyang-goyangkan meja tempatku menulis. Alhasil, kertas yang seharusnya berisi coretan tinta yang yang tersusun rapi, kini penuh dengan coretan aneh. Aku mendengus sebal, membanting bolpoin ke atas meja.
"Maumu apa, ha?" tanyaku marah.
"Gak usah marah gitu, mukamu tambah jelek," ucapnya di akhiri dengan kekehan.
"Pergi gak! Jangan ganggu aku kali ini atau namamu kucoret dalam daftar kerja kelompok!" ancamku tak main-main. Aku benar-benar kesal kali ini. Damar benar-benar menyusahkan, dia hanya numpang nama di tugas kerja kelompok seperti cowok di kelasku pada umumumnya. Dan aku tak mempermasalahkan itu, tapi jika dia mempersulit pekerjaanku seperti ini. Lalu apakah aku harus diam saja?
"Coret aja, Vi," jawabnya enteng, yang membuatku menatapnya penuh tanda tanya. "Coret aja, asal jangan coret namaku di hatimu!" Lanjutnya yang kembali tertawa.
Aku mendengus sebal karenanya, menatap cowok itu datar tanpa ekspresi. "Gak lucu, Damar."
"Aku 'kan gak lagi ngelawak, Via."
"Terserah," jawabku acuh, kembali memfokuskan pandangan pada kertas di atas meja.
Aku merasa sangat tak nyaman sekarang. Semua jawaban atas soal-soal yang ada di kertas itu seketika buyar dari otakku, ketika merasa bahwa Damar dari tadi memperhatikan diriku dalam diam.
Menghela napas, kuletakkan bolpoint di atas meja. Lalu menyandarkan tubuh pada sandaran kursi. Pandanganku kini beralih pada Damar yang tengah menopang dagu di atas meja sambil memandangku dalam diam.
"Bisa, berhenti menatap seperti itu?"
"Tidak." Aku mengernitkan kening mendengarnya. "Percaya atau tidak, akhir-akhir ini entah mengapa aku sering memerhatikan wajahmu itu. Ada sesuatu yang menarik di sana. Bukan cantik, karna aku tahu kamu tidak cantik," ucapnya yang membuat getaran di dada menjadi aneh.
Entahlah, jantungku berdetak cepat. Entah rasa bahagia karena kata indahnya atau kesal karena hinaannya yang mengatakan aku tidak cantik. Meski kenyataannya memang seperti itu. Damar terlalu jujur dan aku suka akan kejujurannya itu. Lebih baik mendengar kejujuran meski itu menyakitkan, daripada bahagia di atas sebuah kebohongan.
Tanpa kusadari rasa itu muncul, bukan hanya sekedar rasa kagum, tapi lebih dari itu. Tak ada hari tanpa tersenyum ketika aku mengobrol dengannya. Tapi, rasa itu ternyata salah. Selain kebahagiaan, ternyata kesedihan juga mengiringinya. Dia benar-benar pencuri ulung. Bisa-bisanya dia membuat gadis yang galak dan cuek sepertiku menjadi seperti ini.
"Kenapa, Vi? Kamu cemburu?" tanya Kina yang saat ini sudah duduk di sampingku. Yang membuatku tersadar dari ingatanku di masa lalu. Aku menoleh ke arahnya, memasang muka sedatar mungkin.
"Kenapa harus cemburu? Kami hanya sebatas teman, tak lebih," elakku. Meski dalam hati aku ingin berteriak bahwa hatiku sakit melihat mereka bersama.
"Syukur deh kalau gitu." Aku hanya diam. "Aku sempat khawatir sama kamu." Perkataan itu mampu membuatku menoleh padanya.
"Kenapa?"
"Karena aku tahu kalau Damar hanya memanfaatkanmu untuk mendapatkan Sia (nama samaran, ceweknya Damar)."
Aku tersenyum miris mendengarnya. Kualihkan pandanganku, kembali menatap dua sejoli yang sejak tadi bercanda bahagia. Aku benar-benar tak menyangka Damar melakukan ini. Jadi selama ini pertemanan di antara kami hanyalah status belaka. Setelah dia membolak-balikkan hatiku, dengan seenaknya dia pergi tanpa bertanggungjawab.
Tapi, lebih dari Damar, akulah yang yang bersalah dalam hal ini. Terlalu terbawa perasaan dengannya, itu adalah kesalahan terbesar yang kulakukan.
Perhatian, belum tentu suka. Bisa aja dia hanya kasihan. Selalu ada, belum tentu ada rasa. Mungkin saja, dia hanya sedang mencari pelarian sementara. Membuat tawa, bukan berarti karena ia ingin melihat kita bahagia. Bisa saja itu hanya untuk menghibur dirinya sendiri.
"Lo marah, ya?" tanya Kina. "Tapi, Vi, bukan hanya Damar loh yang diuntungkan dari kedekatan kalian. Namun, kamu juga." Lanjutnya. Aku kembali menoleh ke arah Kina.
"Kamu sadar gak, kalau kamu lebih sering senyum semenjak dekat dengan Damar?" Ya, Kina memang benar. Aku yang sulit untuk tersenyum menjadi murah senyum. Aku yang dikenal galak, mulai bisa membuat lawakan. Segitu berpengaruhnya Damar pada diriku.
Aku tersenyum ke arah Kina. "Terima kasih," ucapku, Kina hanya mengernyit bingung mendengarnya. Meski hatiku terluka, tapi luka itulah yang akan menjadi bekal di kehidupanku ke depannya.
Banyak pelajaran yang kupetik dari semua ini. Pertama, cinta tidak harus memiliki. Kedua, jangan mudah baper sama orang. Dan yang ketiga, seseorang yang kita cintai mampu merubah kepribadian kita. Ah, lebih tepatnya, kepribadian kita berubah karena kita ingin mengimbangi dan terlihat lebih baik di depan orang yang kita cinta.
Dan inilah kisah patah hatiku yang terselip di antara untaian kata yang Damar ucapkan.
Patah sebelum dimulai, dipaksa menghilang sebelum muncul ke permukaan. Dan sampai sekarang Damar tidak tahu jika aku pernah memiliki rasa terhadapnya. Semoga saja dia tidak akan pernah tahu. Semoga.
Dulu kami seperti itu, tapi sekarang, entahlah. Mengetahui kabarnya saja tidak.
Yang satu kelas denganku waktu SMA, diam aja, ya! Tutup mulut rapat-rapat. Jika ditanya kenapa aku berani menulis ini di sini? Karena aku tahu Damar tidak akan membacanya, pencuri ulung itu anti dengan yang namanya membaca






nona212 dan 36 lainnya memberi reputasi
37
442
3


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan