Kaskus

Story

sofiyuenAvatar border
TS
sofiyuen
Aku, Pilihan yang Tak Dipilih Takdir
Aku, Pilihan yang Tak Dipilih Takdir

Oleh : Sofi Yuen



[Apa kabar?]

[Sehat, kan?]

Dua chat WA yang berulang kali ketik hapus itu akhirnya terkirim juga. Rasanya seperti memakan simalakama.

Arion namanya. Seorang sahabat waktu sekolah dulu. Kini kami sudah terpisah keadaan dan tak lagi berkomunikasi dalam beberapa tahun terakhir.

Masih teringat jelas bagaimana pertemuan terakhir kami memakai seragam putih abu, dekat gerbang sekolah sembari memeluk map ijazah di dada. Kaki sama mencongkel kerikil-kerikil yang berdebu karena kemarau.

"Kamu benar nggak jadi kuliah, Na?" Sekali lagi pertanyaan itu terlontar dari bibirnya, membuat senyumku sekering daun mati yang hinggap di ujung sepatu.

"Benar, Ri. Mungkin kuliah bukan jalanku untuk saat ini," jawabku menahan sesak.

"Sayang sekali, Na. Padahal kamu tinggal duduk aja. Nggak perlu tes sana tes sini lagi," katanya sendu. Netranya yang dibingkai bulu mata lebat menatap sayu, menambah nelangsa di hatiku. Terima kasih sudah ikut kecewa untukku, Sobat.

"Duduk aja juga perlu duit, Ri. Duit tu yang aku gak punya." Aku tertawa hambar. Menertawakan keadaan yang morat marit dan tak tahu diri. Sudah jelas tak ada biaya untuk kuliah, malah nekad mengisi formulir penerimaan mahasiswa jalur prestasi. Ternyata jebol dan aku semakin kecewa karenanya.

Berutang ke sana sini untuk biaya mendaftar ulang tak jua mencukupi. Akhirnya aku menyerah setelah puas menangisi diri.

"Kalau saja aku bisa membantu."

Aku menatapnya lama. Ada haru yang menyeruak. Enam tahun mengenal Arion, dia selalu saja tak pernah absen memberiku empati. Tulus. Aku bisa melihat dari bola matanya. Padahal siapalah aku. Hanya seorang anak miskin yang diberi sedikit kelebihan otak lumayan encer oleh Tuhan.

"Kuliahlah. Setidaknya bila aku tak berhasil duduk di bangku universitas, sahabatku bisa. Teruskan mimpiku yang satu itu," ucapku menahan sebak.

Dia mengangguk tipis. Hening menjeda. Kami sibuk dengan pikiran masing-masing. Sekolah yang mulai sepi tidak menyurutkan niat kami untuk menghabiskan detik-detik terakhir kebersamaan yang mungkin tak kan terulang lagi.

"Berjanjilah padaku, Na." Arion tiba-tiba berbalik menghadap ke arahku. "Berjanjilah kita tetap akan menjadi sahabat, walau kita tak bersama-sama lagi."

"Tentu," senyumku, "kita adalah sahabat. Jangan melupakanku, ya. Nanti di kampus pasti banyak cewek-cewek yang cantik dan baik hati akan mengagumimu." Aku bergurau.

"Kamu yang terbaik, Na. You're my best friend." Matanya menatap dalam. Aku tertawa lebar.

Tentu banyak cerita yang terjalin antara kami selama enam tahun satu sekolah, tiga tahun satu lokal. Berbagai kekonyolan dan tingkah polah remaja mengisi hari-hari. Arion yang suka mencontek padaku, dan aku yang cerewet bin nyinyir.

Arion type cowok kalem nan lembut. Aku si judes yang keras kepala. Entah bagaimana kami menemukan kecocokan hingga menjadi teman dekat. Tak pernah bicara kasar dan kotor, serta sabarnya yang luar biasa membuat dalam hati kutanamkan rasa segan yang mendalam pada sahabatku itu.

Segan yang lama-lama ... membuat getaran di dada. Getaran yang karena usia muda tak kupahami.

Rentang waktu yang menjeda kedekatan kami mengajarkan arti seorang Arion untukku. Bertahun-tahun tak pernah bertemu, tak ada hari-hari yang kami jalani lagi, aku masih merindukannya.

Tak pernah bisa menghapus bayangnya, meski aku ingin. Namun alam bawah sadarku tak juga sudi untuk melupakannya.

Hanya saja, otak naifku ketika itu menganggap semua rasaku adalah sebatas sahabat saja.

Aku dan dia kemudian berpisah. Tak bertemu lagi hingga empat tahun lamanya. Namun sejauh itu, kabar lewat telepon dan aplikasi facebook masih rutin terjalin.

"Kami beda keyakinan, Ri, dan itu tidak bisa ditoleransi," curhatku suatu malam padanya. Menceritakan tentang kekasih hati yang sudah dua tahun menjalin hubungan denganku.

"Tidak bisakah dia mengalah, Na?" tanyanya ikut prihatin setelah sedu sedan yang cukup lama dariku.

"Tidak. Lebih tepatnya, aku tidak ingin dia berpindah keyakinan atas nama cinta, Ri. Aku mau itu benar-benar datang dari lubuk hatinya. Kau tahu, pindah agama atas dasar cinta, bukan berdasar iman, tidak akan memiliki pondasi yang kuat."

"Aku tanya, jika kita tak jodoh, apa kamu tetap akan dengan niatmu saat ini? Dia diam saja, Ri. Aku berkesimpulan bahwa keinginannya untuk mengikutiku selama ini karena cinta saja, bukan dari kesadarannya sendiri."

"Dan barusan kami putus. Rasanya kok sesakit ini patah hati, hiks ...." Aku terisak lagi.

"Menangislah jika itu melegakanmu. Aku selalu mendukung apapun keputusanmu, berarti itulah yang terbaik untukmu."

Dia selalu di sana. Di ujung telepon untuk mendengar semua ceritaku. Hingga ketergantungan akut menggerogoti, tak pernah bisa merasa lega sebelum bercerita padanya.

Patah hati yang sulit terlewati dengan semangat darinya, seorang sahabat yang di hatiku kini telah berganti rasa menjadi cinta. Namun, tak pernah ada keberanian untuk mengungkapkan karena sadar diri ini siapa. Seorang buruh pabrik yang dilempar nasib ke rantau orang, bekerja siang malam untuk menyambung hidup.

Memilikinya sebagai teman suka duka saja aku sudah sangat bersyukur, tak berani membayangkan jika jujur, itu akan mengejutkannya. Aku takut dia akan menjauh dan tak mau berhubungan denganku lagi. Itu jauh lebih mengerikan rasanya dari pada patah hati yang kualami.

Tahun terus berganti dan kami masih sama. Hanya berhubungan lewat udara. Bertemu ketika aku sesekali pulang kampung, dan kembali sunyi ketika kembali ke rantau.

Dia masih sama hangatnya. Masih sama lembut dan sopannya seperti ketika hari-hari sekolah dulu. Tak ada yang berubah, meski kini titel dan pekerjaan bergengsi telah diraihnya.

Hanya aku yang berubah. Kehilangan orang tua dan mimpi masa depan untuk kuliah. Ibu yang kumiliki menyusul Ayah ke keabadian. Sementara kuliah hanya tinggal angan-angan karena hasil kerja keras habis untuk membiayai pengobatan Ibu sebelum beliau tiada. Semuanya membuat aku begitu terpukul. Hingga untuk sekedar mengetahui perasaan Arion saja aku tak lagi berminat, aku terlalu nyaman dengan keadaan ini.

"Pulanglah, sudah dua tahun sejak ibumu tak ada," suruhnya menjelang lebaran ke dua sejak Ibu berpulang.

"Tak ada yang menungguku di sana. Tak ada tempat pulang lagi," ujarku tak bersemangat. Setiap kali membahas pulang, tiap kali pula sebak menyusup ke dada.

"Aku selalu menunggumu pulang, Na. Pulanglah, aku kangen. "

"Nanti juga kau akan berhenti kangen kalau sudah ada yang mengisi hatimu," ujarku serius. "Jangan membuatku terus ketergantungan pada kampung itu, kau tahu aku tak memiliki siapa lagi di sana. Jika kau kangen padaku, datanglah ke sini. Aku dengan senang hati akan menyambutmu."

Benar, aku belum kuasa untuk pulang kampung lagi. Bayangan ibu tak kunjung pergi dari pelupuk mata walau sebentar saja. Kenangan di rumah itu begitu kuat hingga menyeretku terlalu dalam.

"Tidak bisakah kau menganggapku sebagai tempat untuk pulang?"

"Tentu, sampai ada yang benar-benar 'pulang' padamu." Aku tertawa. "Sudahlah. Sana cepat cari istri agar tak jadi bujang lapuk. Aku pun harus mulai belajar untuk menjauh darimu. Supaya nanti ketika waktunya tiba, semua lebih gampang."

"Aku serius, Nana. Bisakah kau menjadikan aku ... tempat untuk kau pulang? Maksudku ... pulanglah. Kita menikah."

Nada gugup itu sukses membuat hp terjatuh dari tangan. Tak percaya hingga harus meminta kawan sekos mencubit tanganku berkali-kali. Meminta dia mengulang kata-katanya juga berkali-kali.

Lalu semuanya menjadi berputar cepat bagai roller coaster. Aku pulang dengan kebahagiaan yang tak bisa dikatakan. Dengan segala harapan dan mimpi lagi. Arion menjemputku di bandara dengan ke-eleganan yang seperti abadi melekat di tubuhnya.

"Apa? Mama masuk rumah sakit? Ya, ya ... aku segera ke sana." Suara Arion panik menerima telepon ketika kami dalam perjalanan pulang. Laju mobil berputar balik menuju pusat kota lagi.

Aku kikuk di hadapan keluarga besarnya. Sang mama terkena stroke. Yang membuat tak nyaman, mata-mata itu seakan menilaiku penuh selidik. Sementara Arion langsung masuk ke ruang rawat inap.

Tiba-tiba aku merasa asing. Aku memang sangat mengenal Arion, pun aku hapal nama-nama mereka karena Arion sering membicarakannya, tapi ini pertama kali bertemu, aku grogi. Apalagi mata seorang gadis cantik khas wanita high class terus melirikku. Alesha namanya.

"Ayo ikut dengan kakak, ada yang ingin kakak bicarakan." Suara Kak Dira yang kutahu adalah kakak Arion mengajakku menjauh dari orang-orang itu.

"Nana, ya? Maaf ya, Dik. Kakak harus mengatakan ini padamu. Bukan karena membenci tapi sungguh kakak minta kamu mempertimbangkan." Mata perempuan empat puluh tahun itu berkaca-kaca. Aku terpaku dengan firasat tak enak.

"Mama kena stroke karena tadi pagi Arion berdebat dengan beliau ... Arion tak mau menerima gadis yang dijodohkan Mama dengannya. Memang semua serba mendadak, Mama tak bilang-bilang akan menjodohkan, dan Arion juga tak bilang dia sudah punya pilihan lain."

"Ini pertama kalinya Arion begitu marah sama Mama karena sudah menerima perjodohan tanpa sepengetahuannya. Dia pergi dan tak lama Mama pingsan."

Kakiku serasa tak bertulang. Aku tahu ke mana arah cerita ini. Dengan menahan air mata aku pamit, hancur rasanya, sehancur-hancurnya.

Dr. Alesha Kenanga.

Aku tahu tak akan pernah bisa bersaing dengannya di depan keluarga Arion. Mungkin hanya hatinya yang untukku. Raganya tidak.


Aku, Pilihan yang Tak Dipilih Takdir
sumber gambar: klik

***


[Nana?]

[Kamu di mana?]

[Apa kabar?]

[Kenapa memblokirku?]

[Aku nyaris mati tanpamu. Aku rindu.]

Air mata meluncur deras di pipi. Pesan beruntun itu meruntuhkan segala pertahanan. Tapi aku tahu bahwa aku tak boleh goyah. Toh, selama lima tahun ini menghilang aku masih bisa hidup hingga sekarang.

[Aku masih di sini. Masih menjadi sahabatmu.]

[Angkat teleponku, plis.]

[Kau pernah berkata bahwa apapun keputusanku, kau akan mendukungnya. Dan inilah keputusanku. Aku hidup dengan kata-kata itu, jadi tolong jangan menarik ucapanmu.]

Sepuluh kali panggilan tak terjawab kubiarkan. Aku sibuk menyeka air mata. Biarlah. Sejak malam itu, aku pergi tanpa kabar apa pun, kublokir semua yang berhubungan dengannya.

Begitu melihat foto pernikahannya di laman medsos Dr. Alesha melalui akun fake, segera kuputuskan merantau sejauh mungkin.

Pedih jangan ditanya. Dua kali mencinta, dua kali gagal dengan luka. Aku berjuang untuk tetap bernapas dengan normal setiap harinya.

Setiap kali hampir berhasil melupakannya, setiap kali itu pula dia hadir di dalam mimpi. Puluhan kali mimpi itu tak kuhiraukan. Hingga akhirnya mimpi tiga malam belakangan berturut-turut membuatku menyerah.

Mungkin dengan sedikit memberi kabar, akan membantuku melepas sesak yang abadi. Meski itu artinya, luka lama kembali segar berdarah-darah.

[Baiklah, Nana. Aku hanya ingin meminta maaf. Maafkan aku, maafkan mamaku, maafkan semuanya. Aku tak menyangka cintaku padamu akan menjadi sebab kau pergi jauh dariku. Maafkan aku.]

[Tak ada yang perlu dimaafkan. Takdir kita tidak berjodoh, Ri. Takdir kita hanya menjadi sahabat saja. You're my best friend. Forever.]

Kublok kembali nomornya, lalu mengeluarkan kartu dan membuangnya ke buih ombak yang menepi.

"Cita-cita? Aku ingin membahagiakan mamaku, itu saja."

Mungkin dia tidak sadar bahwa segala sesuatu tentangnya terekam begitu jelas dalam ingatanku. Termasuk cita-cita yang disebutkannya ketika pengenalan diri di depan kelas sewaktu SMP dan SMA dulu. Cita-cita yang menjadi awal mula aku mengaguminya.


End.

TK, 25 April 2020.
Diubah oleh sofiyuen 26-04-2020 05:22
ButetKerenAvatar border
abellacitraAvatar border
nona212Avatar border
nona212 dan 37 lainnya memberi reputasi
38
665
14
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan