

TS
ainamaritza
Demi Masa

"Na, kamu pakai begituan emang nggak panas? Aku lihatin aja udah gerah, ngap-ngap," ungkap salah seorang keluarga.
"Iya, muka, kok, ditutupi begitu. Kayak istrinya teroris," tambah yang lainnya.
"Jadi orang Islam itu mbok ya yang netral. Jangan terlalu fanatik," cibir seseorang yang kupanggil 'Papa'.
Aku hanya bisa tersenyum getir di hadapan mereka. Ingin berkata, tapi lidah ini terasa kelu. Sadar, sedang berhadapan dengan siapa. Sebelum air mata tumbang, sesegera mungkin kulangkahkan kaki menuju kamar. Terisak seorang diri, menghamba pada-Nya.
Ya, Robb ... ini bukan kali pertamanya mereka mencibirku seperti ini. Mereka orang yang aku sayang. Ampuni segala dosa mereka.
Aku tergugu sambil meringkuk di ranjang. Bisa dikatakan, diri ini sangat lemah. Tangisan adalah temanku sehari-hari setelah kuputuskan untuk memakai pakaian muslimah secara syar'i, lengkap dengan penutup sebagian wajah.
Apa aku terlalu cepat mengambil sebuah keputusan?
"Mungkin dia masih terguncang atas kematian ibunya."
Lamat-lamat kumendengar, Om Iwan--adik kandung Mama--sedang berbincang dengan Papa di depan pintu kamarku.
"Tapi ini sudah keterlaluan. Apa kata tetangga, kalau dia tetap seperti itu." Itu suara Papa.
Ya, Allah ... hatiku makin teriris. Apa Papa merasa malu? Aku hanya ingin menjaga izzah sebagai seorang perempuan muslimah. Untuk menghindari fitnah. Agar Papa tidak menanggung banyak dosa dariku. Apa salah kalau aku berusaha? Menjadi anak salehah Papa. Tabungan untuk Papa di akhirat kelak.
"Besok panggil Mbah Munib. Barang kali bisa membantu," usul Om Iwan.
Keesok harinya, Papa benar-benar membawa Mbah Munib ke rumah. Dukun putih itu meminta beberapa sesajen. Salah satunya beberapa butir telor bebek yang kemudian ditanam tepat di ruang kamarku. Kebetulan lantainya masih berupa tanah.
"Ini di simpan di dalam dompet. Jangan sampai hilang," pinta Mbah Munib sambil memberikan seutas pita padaku.
Ya, aku dipaksa Papa untuk mengikuti serangkaian ritual lelaki yang dianggap orang pintar di kampung sebelah itu. Berat. Karena aku tahu itu perbuatan 'syirik'. Tapi, tak berdaya. Papa akan murka kalau keinginannya tidak dituruti.
Kuterima pita berwarna hijau muda itu. Lalu, menyimpannya di saku. Setelahnya, aku dipaksa minum air putih yang sudah dibacakan mantra.
Aku bernapas lega, saat semuanya telah usai. Dukun putih itu sudah pulang. Segera aku masuk ke kamar mandi. Mengeluarkan pita pemberian lelaki paruh baya itu, lantas mengencinginya.
Menurut salah satu teman--pernah memberitahu--setiap dukun--termasuk dukun putih--bersekutu dengan jin. Semua jimat yang diberikan mereka itu ada penghuninya. Wallahu a'lam.
Jadi, untuk mengingkarinya dengan cara dikencingi. Terkhusus untuk kasus sepertiku ini. Yang tak berdaya melawan kemungkaran keluarga sendiri.
Kini, aku memilih berhijrah. Menerima tawaran bekerja menjadi seorang pendidik di Kalimantan. Meskipun harus jauh meninggalkan keluarga, setidaknya aku tetap menjaga silaturrahim dengan mereka.
Biarlah kami jauh di mata, asalkan selalu dekat di hati. Di sini aku leluasa memakai pakaian syar'i. Bahkan setelah menikah dengan salah seorang penduduk di sini pun beliau--suamiku--menyuruhku untuk tetap memakai pakaian ini. Bagia beliau, kecantikan seorang istri yang berhak melihat adalah suaminya.
Diubah oleh ainamaritza 20-04-2020 21:41






nona212 dan 47 lainnya memberi reputasi
46
845
12


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan