Kaskus

Story

nadiaalburhaniAvatar border
TS
nadiaalburhani
KEMBALIKAN Kang Emil Kepelukanku
Sore diperempatan stasiun

Samar-samar mulai menghilang
Lambaian tangannya masih segar dalam ingatan
Kehidupan yang lebih baik menjadi alasan
Meninggalkan rasa dan kenangan yang terlewatkan
Aku hanya mampu berdiri dan terdiam
Berharap dia kembali dan penuhi janji
Dan akupun akan setia menanti

"Sayang jangan pernah ada dusta diantara kita,
Hati ini akan tetatp selalu utuh untukmu,
Meski raga tak lagi selalu ada disampingmu"
, kalimat itu masih segar dalam ingatanku, kulangkahkan kaki dengan begitu berat dan seolah hampa, kukumpulkan segenap keyakinan bahwa dia akan kembali seperti janjinya.

Hari-hari kulalui sendiri, kebiasaanku bermain kegunung teh sekedar menikmati indahnya mentari dipagi hari bersamanya atau bahkan hanya sekedar menyaksikan matahari yang akan kembali kepraduannya, kinipun harus kubiasa dan kupaksakan untuk melakukannya sendiri, meski sesekali sesak terasa didada dan langkah tertatih tetap harus kujalani, kuingat kembali alasannya bahwa untuk kehidupan yang lebih baik.

Hidup kami dikampung memanglah pas-pasan, terkadang untuk sekedar makan kami harus nguyang dan tak jarang perlakuan kurang baik dari pemilik warung dan cibiran orang sekitar membuatku hanya bisa menangis, tapi aku masih punya dia yang selalu menguatkan, laki-laki yang menikahiku satu tahun yang lalu, Kang Emil.

Aku dan Kang Emil adalah sahabat yang berubah jadi cinta, kami tetanggaan, istilah anak sekarang pacaran lima langkah, jadi tidak perlu modal untuk malam mingguan, cukup duduk diters rumah sambil menikmati indahnya rembulan, bahkan tak jarang menghitung bintang yang jika ada yang melakukan kesalahan harus mendapatkan hukuman dengan mentraktir cendol seribuan yang biasa lewat depan rumah. Maklum kami bukanlah anak yang seberunyung mereka yang ketika membutuhkan apapun hanya tinggal bilang papa mama. Aku yang sejak kecil ditinggal ayahku, membuat ibuku harus kerja keras dan banting tulang meski hanya untuk mengisi perut kami yang kosong.

Sementara kang Emil masih lebih beruntung dari aku, dia masih memiliki orang tua yang lengkap walaupun kehidupannya juga tidak jauh berbeda denganku, namun kami berdua sudah saling memahami sejak kecil, Kang Emil yang selalu membelaku ketika aku dibuat nangis oleh teman-teman sepermainanku, terkadang aku tak pernah membayangkan bahwa aku akan seranjang bersama sampai menua. Jika sejak masih umur tiga tahun kami sering tertidur bersama setelah kelehan bermain, atau bahkan mandi bersama disungai dekat rumah kami.

Masa-masa kecil itu kembali ingin kuulang, apalagi mengingat kesendirianku saat ini, aku tidak tau kapan rasa itu ada, yang jelas setelah lulus SMA, aku hanya membantu ibuku berjualan kue keliling kampung, mengingat ibu yang sudah tidak muda lagi, aku harus membantunya, aku memang pernah bermimpi untuk kuliyah, namun impianku aku kubur mengingat kondisi keluargaku yang memanglah tidak mampu, bahkan untuk mengutarakan pada ibuku saja aku tidak sanggup, apalagi ibuku sudah mulai sakit-sakitan.

Saat ini tepatnya aku yatim piatu, ibuku juga turut meninggalkan aku tiga tahun yang lalu, aku masih punya adek perempuan yang harus aku perjuangkan, sakit memang jika harus kujelaskan, namun inilah takdir Tuhan yang harus aku jalani meski perih semakin merintih. Satu tahun yang lalu Kang Emil mengajakku menikah, alasan ekonomi kami coba buang jauh-jauh, kami yakin rezeki akan datang saat kami bersama, kami berjanji akan setia dan terus bersama sampai menua.

Enam bulan pertama dari pernikahan kami, kami masih baik-baik saja, tetatp tidak ada yang berberda, bukan berikutnya sejak warung satu-satunya didekat rumah kami sudah tidak mau ngutangin lagi, kami semakin pusing, apalagi siang itu kudengar bunyi perut adekku yang seolah-olah terus memanggil dengan nada keroncongan, aku coba kekebun mencari singkong untuk sekedar mengisi perut adekku.

Kang Emil yang saat ini bekerja sebagai kuli bangunan, upahnyapun yang tak seberapa, tidak cukup memenuhi kebutuhan kami sekeluarga, ayahnya Kang Emil yang juga sedang sakit selalu membutuhkan obat, dan adeknya Kang Emil yang juga masih dibangku SMA sering tidak memahami keadaan kami, maklum lingkungan saat ini berbeda dengan jamanku dulu.

Kami mencoba bertahan dengan keadaan ini namun seolah kami tak sanggup lagi, hingga pada suatu ketika Kang Emil juga kehilangan pekerjaannya, dengan tekadnya yang selalu ingin membahagiakan kelurganya, dia mencoba memberiku keyakinan bahwa kami harus mengubah hidup kami, dengan cara dia harus merantau ke kota, aku yang saat itu sangat berat untuk ditinggalkan, akhirnya pun mengiyakan, mengingat akupun juga sedang hamil dua bulan, pikirku anakku tidak boleh jadi korban karena keegoisanku, mengingat keluarga yang ada didepan mata saat ini tak jarang kelaparan pula.

14 Agustus
Kang Emil melangkah ke kota
Sore itu aku mengantarnya ke stasiun, sambil memelukku dan kemudian mengusap-ngusap perutku yang saat itu sedang ada buah cinta kami, terakhir mencium keningku, langkah itu kuyakini juga berat untuknya, karena sejak kecil kami tidak pernah berjauhan.

"Sayang, tunggu aku pulang, jaga diri jaga hati dan calon buah hati", ucapnya, aku tak sanggu mengiyakan, hanya air mata yang terus beruri mengiringi langkah kepergiannya, dari dalam kereta dia terus memandangku dan wajah yang lesu, sesekali melambaikan tanganya hingga lambaian itu tak lagi tampak dari pandangan, entah kemana seorang masinis membawanya, yang jelas ketempat tujuan.

Hidupku kali ini benar-sepi, hal mendasar yang memberiku kekutan adalh calon buah hatiku, "ngutang terus, kapan bayarnya, yang ada warungku nanti bangkrut karena terus kamu utangin", ucap pemilik warung klontongan kala itu yang terus terngiang-ngiang dibenkku, keberangkatan Kang Emil kekota tak boleh membuatku semakin terpuruk, aku harus berjuang ungkapku, dengan penuh keyakinan, kucoba untuk melanjutkan usaha ibuku dengan berjualan kue keliling, siapa tau laku dan bisa membantu Kang Emil, karena dia pergi ke kotapun masih belum jelas mau kerja apa, hanya bermodalkan tekad dan keyakinan.

Tiga bulan telah berlalu, jika aku merindukan Kang Emil, aku hanya bisa memandang fotonya yang sengaja terpampang didinding yang sudah mulai lapuk, foto pernikahan kami yang kala itu berharap tetap terus selalu bersama, maklum aku tidak punya handphone untuk bisa menghubunginya, sesekali Kang Emil telpon ke Pak RT yang kebetulan juga masih tetangga kami, akupun tak ingin sering-sering merepotkannya untuk sekedar meninjam handphonenya dan menanyakan kabar suamiku.

Terakhir suamiku menghubungiku sebulan yang lalu, dengan nada bahagia dia mengabariku bahwa dia sudah mendapatkan pekerjaan, alhamdulillah bosnya baik katanya, hingga dia juga sudah bisa mengirimkan uang untukku. Dia melarangku berjualan kue keliling mengingat aku juga sedang hamil, namun aku sedikit bandel, aku tak ingin hanya mengandalkan Kang Emil, sedikit demi sedikit aku juga sudah mulai bisa mencicil hutang-hutangku ke warung toko klontongan itu.

Sore itu, 14 Desember tepatnya, Pak RT mendatangi rumahku dan menyodorkan handphonenya kepadaku, katanya suamiku telpon, tanpa berpikir panjang, dengan nada bahagia aku langsung menyapa suamiku.

"Assalamualaikum Kang, Akang bagaimana kabarnya?"
"Waalaikum salam Neng, Neng sendiri gimana kabarnya, dana bagaimana dengn calon buah hati kita sayang?",
"Alhamdulillah Kang, Eneng baik-baik saja Kang, ini perut juga nendang-nendang Kang, mungkin rindu sekali sama Akang",
"Iya sayang, insyaAllah Akang akan segera pulang, tapi tidak bisa lama-lama ya neng, karena Alhamdulillah Akang dapat pekerjaan yang lumayan baik Neng",
"Iya Akang, tidak apa-apa",

Salam dan ungkapan rindu menjadi penutup percakapan kami sore itu, aku sudah tak sabar menunggu Kang Emil segera pulang meski hanya sebatas melepas rindu setelah berbulan-bulan tak bertemu, dan alhamdulillah Kang Emil mengirimkan uang lebih dari biasanya, dan alhamdulillah cukup buat melunasi hutang-hutangku diwarung itu dan kebeberapa tetangga kami, bahkan bisa menambah modal jualan kue, hingga aku tak perlu lagi keliling, aku bermaksud menjual kue didepan rumahku saja sambil dibantu adekku, kebetulan pesanan kue juga sudah mulai banyak.

Alhamdulillah ya Allah rezeki_Mu sungguh luar biasa
Perololongan_Mu akan selalu ada
Hanya butuh kesabaran dan keyakinan untuk melewati setiap cobaan yang Engkau berikan


Sebulan kemudian Kang Emil pulang, aku menjemputnya ke stasiun tempat dimana beban kerinduan itu dimulai, hingga aku terbiasa menangis dan melangkah sendiri, menguatkan dan memotivasi diri sendiri, tak lama kemudian Kang Emil datang, aku tidak perlu menunggu lama lagi, pelukan rindu dan kehangatannya masih seperti dulu, itu yang aku rasakan, namun sesekali aroma itu berbeda, Kang Emil yang 180 derajat berubah dari segi penampilannya membuatku sedikit bertanya, "Akang kerja apa disana", karena selama ini dia tidak pernah menceritakan, setiap kali aku tanya pasti selalu jawabannya nanti Akang ceritakan kalau sudah pulang.

"Nanti Akang ceritakan dirumah ya sayang, sekarang kita pulang, kasian baby kita", jawabnya seolah tak peduli tentang keraguanku. Yang membuatku sedikit ragu, saat memeluknya kucium wangi yang berbeda, seolah ada parfum wanita yang masih melekat dijaketnya. Tapi biarlah, saat ini bukan waktunya aku berpikir yang bukan-bukan, Kang Emil pulang saja itu sudah cukup membuatku bahagia.

Hari pertama Kang Emil dirumah, hatiku sontak bertanya, dia seolah tak lagi memperhatikan perubahan yang terjadi dirumah, mulai dari yang terkecil seperti adanya toko kue dirumah atau bahkan perubahan kamar dan tempat tidur kami, dia sudah terlalu disibukkan dengan handphonenya.

Handphone Kang Emil terus berdering, dengan sedikit penasaran aku mencoba melihat layar handphone yag sedari berdering tanpa henti.
Bos Hesti Memanggil
Dengan sedikit penasaran aku mencoba mengangkat telponnya,
"Assalamualaikum, mohon maaf Akang sedang mandi, ini dengan siapa?",
"Aku Hesti bos sekaligus pacar Mas Emil, ini siapa ya ?"
, tanpa menjawab salamku to tje point dia langsung menjawab dengan kalimat yang seolah mengakhiri hidupku sore itu. Hatiku sakit dan dapat kupahami lagi dengan bahasa apa harus kuceritakan.

Selesai mandi Kang Emil melihatku nangis dan bahkan aku inginberteriak kala itu, betapa tidak suamiku yang ku bangga-banggakan selama ini tega menghianatiku.

"Sayang, kamu kenapa nangis?",
"Kang, coba jelasing ke Eneng, Hesti itu siapanya akang?", sambil menagis tersedu aku mencoba menanyakan dengan harapan yang ku dengar hanyalah sebuah kesalahan.
"Kamu kenapa tanya tentang Bu Hesti?, dia itu hanya bos Akang?",
"Bos sekaligus pacar Kang?", tanyaku dengan tangis campur amarah,
"Sayang, dengerin Akang dulu, kamu sedang hamil, kamu tidak boleh berpikir yang bukan-bukan, apalagi sampai menuduh Akang atas apa yang tidak Akang lakukan?",
"Akang, tolong jawab yang jujur, barusan dia telpon dan mengatakan itu semua pada Eneng, jawab Kang, jawaaan, jikapun iya, biarkan Eneng yang mengalah Kang, hati Eneng tidak siap untuk berbagi, pantas saja Akang selama ini tidak pernah mau jujur sama Eneng, ini kan alasannya Kang?",

Dengan perut buncit aku mencoba berlari, ingin menepi sesekali namun hati tak meyakini, samar-samar kudengar teriakan Kang Emil memanggil-manggil namaku, perutku sudah mulai terasa sakit, kepalaku pusing tak menentu, tak sanggup lagi kupaksakan, lari dari kenyataan pahit yang begitu rumit dan menyayat, ingin kubertiak membunuk semua bentuk penghianatan, aku terjatuh tanpa terasa, tanpa kusadari Kang Emil menggendongku dan membawaku kerumah sakit.

Enath untuk jam atau hari yang keberapa, samar-samar mulai kulihat satu persatu keluargaku, mulai dari adekku hingga Ayah Kang Emil, namun tidak dengan Kang Emil, tanya itu akan semakin panjang jika aku pikirkan, nyeri diperutku mulai terasa saat ku mulai mencoba untuk bangun, "Jangan bergerak dulu bu", kata salah satu suster yang mungkin sedang berjaga.

Kupegang perutku sudah tak lagi dalam kondisi yang sama dengan waktu sebelum tadi jatuh, "Bayiku kemana suster, bayiku,,,",
"Ibu, ibu tenang dulu ya bu, bayi ibu sedang ditangani oleh dokter",
"Bayiku kenapa sus, bayiku kenapa, aku ingin melihatnya",
"Tapi bu, ibu baru selesai dioperasi bu, ibu harus istirahat",
"Aku gak peduli sus, aku harus melihat bayiku",
entah diijinkan atau tidak, aku tetap bersikeras untuk tetap melihat bayiku, saat ini dialah kekutanku.

Akhirnya susterpun mengantarku kedepan ruang operasi, mungkin disitulah bayiku berada, dari kejauhan kulihat wajah penghianat itu sedang murung dan sedih.
Ingin sekali aku membunuhnya jika itu tidak berdosa, tapi biarlah, kuabaikan perasaanku, aku hanya ingi memastikan bayiku baik-baik saja.

"Bayiku kenapa sus?", tanyaku pada suster yang mengantarku,
"Sayang",
tiba-tiba kang Emil berlutut seolah berusaha meyakinkanku.
"Sayang, kita harus bersabar yaaa, akan kita sedang diuji, ini cobaan buat kita, tapi anak kita akan baik-baik saja", dengan nada lembut dia seolah meyakinkan,
"Semua ini salah Akang, jika terjadi apa-apa dengan anak kita, Eneng tidak akan pernah memaafkan", samabil memukul-mukul pundaknya, aku terus memakinya.

Koridor rumah sakit menjadi saksi bisu
Menunggu dokter keluar dan memberi kabar bahwa anakku akan baik-baik saja itulah harapan dan doaku
Kala itu
Mencoba sedikit melupakan
Luka yang baru saja menancap
Anakku jauh lebih penting dari apapun
Entah kedapannya itu nanti saja....


Next....

Hesti yang tidak mau mengalah
KEMBALIKAN Kang Emil Kepelukanku

Serumit inikah urusan cinta
Hati yang semula tertata
Hidup penuh tawa dan warna bahagia
Seolah berubah seketika
Saat satu kata "luka" menancap didada
4iinchAvatar border
NadarNadzAvatar border
nona212Avatar border
nona212 dan 28 lainnya memberi reputasi
29
487
3
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan