- Beranda
- Komunitas
- Entertainment
- The Lounge
Lebaran Corona Menguji Akal Menjaga Sehat Dari Tradisi Mudik
TS
NegaraTerbaru
Lebaran Corona Menguji Akal Menjaga Sehat Dari Tradisi Mudik
Spoiler for Mudik:
Spoiler for Video:
Pulang ke kampung halaman telah menjadi tradisi yang sangat erat dalam kehidupan masyarakat Indonesia. Tradisi ini kita kenal dengan mudik, atau secara harafiah mengandung arti kembali ke hulu. Lewat tradisi ini, jutaan rakyat Indonesia yang merantau kembali pulang demi melewatkan momen Hari Raya Idul Fitri bersama sanak saudara di kampung halaman.
Hari Lebaran akan terasa sangat berbeda apabila tradisi mudik tak dilakukan. Sebab, akan lewat sudah kesempatan bertemu orang tua dan keluarga lain yang tercinta. Padahal belum tentu kita dapat berjumpa mereka kembali di tahun berikutnya. Oleh karena itu, di mana pun perantau berada, sebesar apa pun ongkos pulangnya, orang Indonesia khususnya yang muslim memilih untuk mudik.
Mudik tak hanya menjadi tradisi, ia pun telah menjelma menjadi salah satu wujud rasa sayang pada keluarga di rumah. Rasa sayang yang dibuktikan dengan merelakan waktu, uang, dan tenaga agar dapat berkumpul kembali bersama keluarga tercinta.
Lantas bagaimana dengan mudik tahun ini, yang telah menjadi kelabu akibat pandemi Covid-19? Apakah memilih untuk mudik tetap menjadi bukti rasa sayang kepada keluarga? Apakah demi sebuah tradisi, orang-orang tidak peduli akan bahaya menyebarkan virus corona ke keluarga di kampung halaman? Apakah demi menuruti keinginan rakyatnya, Pemerintah memilih untuk membiarkan tersebarnya virus ke seluruh Indonesia dengan tidak memberi larangan mudik? Apakah Pemerintah tega membiarkan anak membunuh orang tuanya meski tanpa niatan apa-apa?
Apabila pemerintah peduli seharusnya mudik tahun ini menjadi hal yang terlarang. Namun ternyata tidak, Pemerintah tidak tegas melarang mudik. Bahkan Presiden Jokowi menyebutkan ada dua kategori orang yang tidak dilarang mudik. Yakni mereka yang memilih mudik karena masalah ekonomi, dan mereka yang memilih mudik karena tradisi. Bukankah itu sama saja dengan memperbolehkan mayoritas rakyat Indonesia untuk mudik? Bahkan meski kritik bertebaran agar Pemerintah melarang arus mudik, Istana hanya mengatakan akan mengkajinya. Padahal kita tengah dikejar waktu yang sebentar lagi akan memasuki bulan suci Ramadhan.
Tak tahukah Pemerintah akibat dari ketidaktegasan itu?
Sejak merebaknya Covid-19 tiga bulan terakhir, Badan Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (BP2MI) telah mencatat 103.094 pekerja migran atau TKI di berbagai negara telah kembali ke tanah air. Dalam satu bulan terakhir, 56 ribu TKI yang pulang berasal dari Malaysia. Sebagian besar dari para TKI pulang karena kontrak yang habis.
Para TKI yang pulang karena tak dapat bekerja lagi, tentunya harus ditampung oleh pemerintah, dikarantina, dan diperiksa secara ketat guna mencegah penyebaran virus corona. Akan tetapi, masih ada potensi jutaan TKI yang bisa saja pulang karena memilih untuk mudik. Sebab di Negeri Jiran Malaysia saja ada 1,2 juta TKI. Apabila mereka tidak dilarang pulang, tentunya dapat menyebabkan angka Covid-19 berpeluang melonjak tinggi.
Sumber : Republika[Dalam Tiga Bulan, 100.094 PMI Telah Pulang ke Tanah Air]
Sumber : Republika [Sebulan Terakhir, 56 Ribu Lebih TKI Pulang dari Malaysia]
Pemerintah harus memutuskan dengan segera untuk melarang arus mudik. Ingat, arus mudik tak hanya terjadi di luar negeri, belum lagi yang terjadi di dalam negeri. Di Jabodetabek saja sudah ada 900 ribu orang yang curi start mudik sebelum waktunya. Pada 14 April 2020, Ketua Umum Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI) Agus Taufik Mulyono menilai apabila mudik tidak segera dilarang, maka akan sangat rawan karena dapat menjadi sumber penyebaran virus corona. Sebab ada sisa 2,6 juta orang lagi yang biasa melakukan mudik. Namun, karena separuhnya merupakan aparatur negara dan pegawai BUMN yang telah dilarang mudik oleh Pemerintah, maka ada 1,3 juta orang yang berpotensi untuk mudik. Wilayah utama yang menjadi tujuan adalah Jabar, Jateng-DIY, Jatim, Lampung, dan Sumsel. 1,3 juta orang ini lah yang berpotensi menyebarkan virus corona ke daerah lain. Bahkan dapat ciptakan episentrum baru corona setelah Jabodetabek.
Sumber : Detik [Kecolongan, Sudah 900 Ribu Warga Curi Start Mudik]
Lalu bagaimana dengan Indonesia? Data dari tahun 2019 menyebutkan ada 20 juta pemudik yang melakukan perjalanan. Sedangkan hasil Survei dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) mengatakan ada 43,78 persen pemudik memilih untuk tetap melakukan mudik di tengah pandemi corona. Mayoritas responden memilih untuk tetap mudik demi merayakan Idul Fitri di kampung halaman masing-masing. Survei itu memiliki keterbatasan, sebab hanya dilakukan melalui media sosial. Artinya ada potensi 8.756.000 orang tetap melakukan mudik.
Apakah imbauan yang dilakukan pemerintah melalui PSBB efektif? Ternyata tidak. Pakar Migrasi dan Kependudukan UGM Sukamdi mengatakan faktor sosial dan kultural telah menjadi alasan utama yang mengalahkan risiko yang akan ditanggung pemudik. Apalagi banyak warga yang telah kehilangan pekerjaan dan penghasilan sehingga menjadi faktor ekonomi yang menyebabkan mereka akan memilih untuk mudik.
Sumber : CNN Indonesia [Survei LIPI: 43,78 Persen Responden Tetap Mudik]
Ketika kita berbicara PSBB yang digalakkan pemerintah, ternyata belum berjalan dengan efektif. Masih banyak pelanggaran yang terjadi di jalanan. Seperti di jalanan DKI Jakarta. Ketika ada pelanggaran PSBB oleh pengendara motor, yang dilakukan aparat berwenang dalam menindaknya hanyalah berupa teguran tanpa ada sanksi yang mampu membuat warga jera.
Kemungkinan disebabkan karena aparat Kepolisian hanya bertindak berdasarkan Maklumat Kapolri. Aparat tidak memiliki wewenang untuk menindak lebih lanjut. Tengok saja saat Wakapolri melanggar Maklumat Kapolri, tidak ada peraturan atau undang-undang yang mengikatnya sehingga orang nomor dua di Kepolisian tersebut tidak diberi hukuman.
Apabila hanya teguran yang diberikan, warga tidak akan peduli dengan PSBB. Mereka akan tetap memilih untuk mudik karena tidak ada ketegasan aturan dalam pelanggarannya.
Jadi kini yang ditunggu adalah ketegasan dari Pemerintah. Apabila pemerintah tidak menginginkan mudik terjadi, tak cukup hanya dengan imbauan. Harus ada sanksi atau larangan keras bagi masyarakat. PSBB sudah tepat, tinggal ketegasan yang jelas dalam pemberian sanksi bagi yang melanggar. Lagi pula ketegasan dilakukan bukan karena pemerintah ingin bersifat diktator, namun demi melindungi rakyat dari dirinya sendiri. Pemerintah harus bergerak cepat, karena waktu terus berjalan. Larangan mudik harus diterbitkan sebelum arus mudik besar-besaran terjadi.
Tapi persoalan mudik tak harus selalu jadi tanggung jawab pemerintah. Sebab pemeran utama dalam menekan arus mudik adalah diri masing-masing.
Memang mudik adalah panggilan tradisi yang didasari semangat kebersamaan dalam rangka bersilaturahmi bersama keluarga atau komunitas daerah asal. Oleh karena itu, ketika dalam kondisi normal, mereka yang memilih untuk tidak mudik demi mendahulukan kepentingan lainnya boleh dianggap tak memiliki semangat kebersamaan atau memiliki kecenderungan individualis/egois.
Namun kondisi kali ini tidaklah normal. Wabah corona telah menghadirkan perspektif lain. Orang yang akalnya memilih Kesehatan pribadi dan orang yang mereka sayangi di kampung dan memilih untuk tidak mudik, justru tengah mengedepankan semangat kebersamaan. Yakni semangat menjaga Kesehatan bersama antar sesama manusia.
Oleh karena itu, orang yang biasa mudik dan memahami makna kebersamaan dari tradisi mudik, seharusnya dengan sendirinya sadar untuk memilih tidak mudik tahun ini. Apabila ternyata jumlah pemudik tetap saja tinggi, maka para pemudik tengah menjalankan tradisi mudik tanpa memahami tujuan dari mudik itu sendiri.
Pandemi Corona tengah menguji tradisi mudik Indonesia. Apakah orang menjalankan mudik karena masih mengejar maknanya, atau sekedar rutinitas? Jika sekedar rutinitas, maka hampir dapat dipastikan, tanpa adanya larangan mudik, jumlah pemudik akan tetap tinggi.
Saat situasi tersebut terjadi, Indonesia berada dalam keadaan bahaya. Tak hanya bahaya akan ledakan kasus Covid-19, tapi juga karena saat terjadi wabah, masyarakat tak mampu gunakan akalnya untuk mendahulukan Kesehatan.
Ketika jumlah pemudik tetaplah tinggi tentu wajar kiranya kita mempertanyakan sistem Pendidikan Indonesia, karena tak mampu menghasilkan masyarakat yang mendahulukan akal sehat ketimbang rutinitas tradisi.
Wabah corona akan memberikan kita gambaran riil apakah masyarakat Indonesia benar sudah siap memasuki Peradaban Maju? Atau masih jauh tertinggal dalam praktik? Corona akan membuktikan, apakah kecerdasan Indonesia hanyalah hipotesis di atas kertas atau memang teruji.
Diubah oleh NegaraTerbaru 18-04-2020 02:36
srusuut dan 100 lainnya memberi reputasi
101
5.9K
226
Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama
Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan