Kaskus

Story

nadiaalburhaniAvatar border
TS
nadiaalburhani
PELUKLAH AKU UNTUK YANG TERAKHIR KALINYA
Reda,,,

Rintik hujan yang sedari tadi memenjarakan
Menambah kerinduan semakin dalam
Jejak luka masih sangat dalam kurasakan
Dua tahun silam
Tak sanggup membuatku melupakan


Ayu...
Sebuah nama yang tertulis dikertas awal perkenalanku dengannya waktu SMA, saat kutanya siapa namanya dengan sedikit keisenganku kucolek bahunya, dengan sedikit kesel diapun menyebutkan namanya namun diatas secarik kertas. Teman-teman satu kelas kami tak jarang memujinya, maklum dialah gadis yang cerdas dan sopan, selalu peringkat satu dan terbaik di sekolah kami, aku semakin dibuat penasaran olehnya, maklum aku siswa baru kala itu, pindahan dari kota yang pasti memiliki cara hidup yang berbeda dengan lingkungan baruku yang menurutku asing bahkan aneh.

Bukan hanya kecewa kala itu, mengapa ayahku dipindahkan dinas kekampung yang terpencil itu, semuanya serba adat, budaya dan sopan santun, setiap kali aku ingin iseng terhadap teman-teman baruku, selalu saja kena hukuman karena teman-teman yang sering mengadu ke kepala sekolah, hingga suatu ketika aku kena skorsing, tak heran jika membuat ayahku geram karena dipanggil kepala sekolah, ini bukan kali pertama, sejak di kota pun aku demikian adanya.

Ayahku yang terkenal keras dan kasar tak membuatku jera, meski tak jarang tamparan itu mendarat dipipiku atau bahkan seringkali dilempar pakai sepatu, ibuku yang begitu lembut tak jarang menasehatiku, namun layaknya remaja bandel yang lainnya, masuk kuping kanan keluar kuping kiri. Entah apa yang salah denganku waktu itu, jika dibilang lingkungan yang mengajarkanku brutal, tidak juga, meskipun aku terlahir dikota yang cukup besar, akulah pembawa keributan dan mengajak teman-teman seringkali membuat keonaran, bahkan akulah pendiri genk sekaligus ketua genk ternama yang terkenal dengan kebringasan dan kejahatannya.

Jika dibilang aku kurang kasih sayang, tidak juga, ibuku lembut dan penyayang, entah frustasi atau apalah kala itu akupun tak bisa memahaminya, apakah karena aku dibesarkan oleh ayah yang kasar dan saat anaknya melakukan kesalahan bukan bimbingan dan nasehat yang diterima melainkan amarah dan tamparan yang sejatinya bukanlah didikan yang baik, entahlah. Setiap orang tua memiliki cara tersendiri untuk mendidik anaknya, satu-satunya alasan yang bisa aku pahami saat ini adalah, kala itu ayahku tidak ingin melakukan kesalahan yang sama untuk kesekian kalinya, laki-laki harus tegas dan kuat, karena kelak ia akan memikul beban dan tanggung jawab yang sangat besar.

Hal yang lebih tidak aku pahami kala itu, kekerasan ayah bahkan amarah ayah yang ayah lakukan untuk anak-anaknya, tidak pernah ayah lakukan untuk ibuku dan juga adek perempuanku.

"Ayah pilih kasih", ungkapku suatu ketika dengan nada kesal dan kecewa yang memuncak.

"Bang, ayah tidak pilih kasih, tapi ayah adil memperlakukan anak-anaknya, ayah berjuang keras untuk kita, tapi abang tak sedikitpun menghargainya, jika ayah tidak pernah memarahi Anggun, itu karena Anggun mematuhi dan menghormati nasehat orang tau, Anggun berusaha memahami keinginan orang tua kita bang", adekku yang masih kelas 3 SMP kala itu menasehatiku yang membuatku semakin tersudutkan. Dia jauh lebih dewasa memahami hidup ketimbang aku yang sebagai abangnya belum pernah berpikir sejauh itu.

"Benar apa kata adekmu bang, abang sebagai anak pertama, harusnya memberikan contoh yang baik untuk adek-adekmu bang, bukan sebaliknya", ibuku yang aku kenal selama ini selalu menasehatiku dengan baik, kinipun seolah mempermalukan aku didepan adek-adekku, mungkin inilah akhir kesabaran ibu, ataukah karena terlalu dalam rasa kecewa ibu terhadapku yang membuatnya harus melakukan itu agar aku bisa memahami makna hidup yang sebenarnya.

Satu tahun berlalu dikampung itu, berbagai macam cara untuk mendekati Ayu telah kulakukan, namun tak juga mampu membuat hati Ayu luluh, tak hanya aku kala itu yang menginginkannya, bahkan Hisyam anak kepala sekolah yang terkenal karena kecerdasannyapun memiliki keinginan yang sama denganku, Hisyam yang sama-sama penyuka matematika dengan Ayu memiliki waktu yang cukup banyak bersama Ayu, selalu belajar bersama dan rumahnyapun berdekatan, tak heran jika mereka selalu berangkat dan pulang bersama, apalagi mereka adalah pasangan ketua dan wakil ketua OSIS. Tapi aku yang tidak pernah kehabisan akal untuk mendapatkan apa yang aku inginkan meskipun dengan cara yang salah kala itu, berpura-pura ikut kegiatan bakti sosial walaupun tidak sepenuhnya aku suka, dengan alasan hanya ingin dekat dengan Ayu. Namun lagi-lagi kutemukan diriku dalam kegagalan, Ayu justru mengetahui maksud hatiku, bukan perhatian yang aku dapatkan, bahkan mungkin kebencian yang hanya tidak ditampakkan yang aku dapatkan.

Sesampainya dirumah aku bermaksud menceritakan semua itu kepada ibuku, mungkin ibuku bisa memberiku nasehat bagaimana caranya agar aku bisa mendapatkan hati orang yang aku cintai, kekerasan dan ancaman telah aku lakukan pada Hisyam agar menjauhi Ayu namun tak juga berhadil adanya.

"Nak, wanita itu lembut, wanita menginginkan sosok imam yang baik dalam hidupnya, terlebih Ayu yang menurut ceritamu dia adalah gadis yang sopan dan cerdas, baik hati dan tidak sombong, apa iya dia akan memilihmu yang sementara untuk masadepan dan dirimu saja kamu tidak paham, merubah dirimu menjadi pribadi yang lebih baik saja kamu tidak bisa nak, wajar jika Ayu akan lebih memilih nyaman bersama Hisyam, karena wanita memutuhkan kenyamanan dan perlindungan, jika sedikit-sedikit kamu marah dan melakukan kekerasan, yang ada Ayu akan menjauhimu, apalagi jika Ayu mengetahui kalau kamu telah melakukan kekerasan terhadap Hisyam, lihatlah ayahmu nak, kendati ayahmu keras dan kasar, tapi tidak dengan ibu, karena ayahmu paham bahwa hati perempuan itu mudah terluka dan kecewa, dan sekali permpuan itu terluka, susah untuk melupakannya bhakan mungkin akan tetap tersisa semasa hidupnya".

Panjang lebar ibu menasehatiku yang membuat aku terdiam seribu bahasa, aku mulai berpikir dan merenungi tentang sikapku selama ini, dengan hati gusar dan seolah akan kehilangan ayu dengan sikapku yang tidak ada nilai plusnya selama ini, membuatku berpikir mungkin aku sudah terlambat untuk memiliki Ayu.

Sejak malam itu aku bertekad untuk berubah, mungkin saat itu hanya karena Ayu, hingga tak ada seorangpun yang mempercayai perubahanku.

Sepulang sekolah aku bermaksud mengajak Ayu bertemu dan ingin menyampaikan maksud hatiku yang selama ini aku pendam, meski sebatas dipinggir jalan dan jauh dari keromantisan, aku tak peduli yang penting Ayu paham kalau aku akan berubah menjadi lebih baik dan berharap Ayu bisa menerimaku dengan ikhlash dan tulus.

"Ayu, Ayuuu,,, " kupanggil namanya dari koridor sekolah, diapun menoleh, dengan sedikit ngos-ngosan, kusampaikan maksudku untuk mengantarnya pulang.

"Maaf bang Ryan, Ayu sudah terlanjur ada janji dengan bang Hisyam untuk langsung keperpustakaan umum, mencari materi untuk acara kajian besok",

"Kalau Ayu tidak keberatan abang boleh ikut?", tanpa berpikir panjang mungkin dengan sedikit memaksakan aku tak ingin kehilangan kesempatan.

"Iya gak masalah bang, abang juga bisa membaca buku yang abang suka disana",

Hatiku sungguh bahagia, sesampainya diparkiran, Ayu mendekati motor Hisyam, bukan motorku, kucoba mengajaknya namun Ayu dengan bahasa halus menolaknya, seolah menyampaikan pesan bahwa dia lebih nyaman bersama Hisyam, hatiku hancur tak menentu. Jelas dan pasti, apalagi jiwaku masih labil dan pembentukannya masih belum jelas adanya. "Bahagia itu sesat, atau mungkin palsu", gerutuku sambil memakai helm.

Tak ada perbedaan, yang aku dapatkan masih sama, Ayu memilih dekat duduk disamping Hisnyam, dia sesakali tertawa lepas sambil menunjukkan buku yang dibacanya kepada Hisyam, benar apa kata ibuku, wanita itu akan memilih kata nyaman, jika aku tidak sanggup memberikan itu pada Ayu, berarti dia tidak punya alasan untuk memilih bersamaku dari pada Hisyam, saat itu aku sudah mulai panas, namun nasehat ibu menguatkanku, yang sebelumnya aku mungkin selalu mengacuhkan, namun kali ini karena cinta aku belajar lebih sabar.

Perubahanku tak juga membuat Ayu memberikan ruang dan waktu untuk menyampaikan keinginanku, entah karena dia lebih memilih Hisyam, atau karena aku yang dimatanya belum termasuk kategori laki-laki idaman seperti yang ibu sampaikan, entahlah. Namun ada sisi dimana perubahanaku membuat diriku lebih merasa bisa berdamai dengan keadaan meskipun belum bisa menanamkan keyakinan dihati gadis yang aku dambakan.

"Nak, ibu mengerti apa yang kamu rasakan saat ini", ibuku tiba-tiba duduk disampingku diberanda rumah sore itu, "tapi satu pesan ibu, saat ini kamu belum saatnya untuk terlalu keras berpikir soal jodoh, jodoh tidak perlu kamu pikirkan, karena jodoh sudah Allah yang ngatur sebelum kamu terlahir, yang harus kamu pikirkan adalah masa depanmu, jikapun iya suatu saat kamu berjodoh dengan Ayu, apa yang akan kamu berikan untuk menjamin masadepannya agar dia merasa beruntung memilikimu dihidupnya, apa yang akan membuatmu bisa dikenang selamanya olehnya jika kamu hanya seperti sekarang ini",

Dari pesan ibu yang aku terima mampu membuatku memilik keyakinan untuk terus berubah, aku ingin lebih dibandingkan Hisyam, tapi kali ini tidak hanya untuk Ayu, pesan adekku yang kala itu membuatku kesal dan kecewa, sudah mulai kubenarkan, aku belum bisa melakukan apapun untuk hidupku dan keluargaku, terlebih ibuku yang sudah dengan susah payah menjagaku sejak dalam kandingan hingga aku remaja seperti sekarang ini, tekadku sudah bulat, 2 bulan lagi ujian akhir sekolah, aku harus mendapatkan nilai yang baik agar aku bisa diterima disalah satu Universitas terbaik pula. Aku belajar keras bahkan aku tidak punya waktu sedikitpun untuk memikirkan sedang apa Ayu disana.

Pengumuman kelulusan Sekolah mewajibkan wali murid menghadirinya, tak ketinggalan dengan Ayah ibuku, berbeda dari sebelumnya, sebelum kami sekeluarga berangkat kesekolah, Ayahku menepuk pundakku sambil berucap "Laki-laki tidak boleh putus asa", sambil melemparkan senyumnya kepadaku ayah menguatkanku, mungkin terlihat oleh Ayah tentang kekhawatiranku akan kelulusan itu, tapi ayah saat ini menghargaiku karena perubahanku, sehingga ayah sudah bisa bersikap manis terhadapku, inilah senyum pertama kalinya setelah sekian lama hingga aku lupa kapan ayah pernah tersenyum kepadaku.

Sesampainya disekolah acara sudah dimulai, aku sedikit terlambat, belum lima menit kami duduk, sudah tiba pada acara pengumuman kelulusan sekolah, hatiku tak menentu, yang pasti semua itu tak hanya dialami olehku, semua siswa-siswipun merasakan hal yang sama.

Lulusan terbaik 3 sudah disampaikan, Hisyamlah menempati urutan tersebut, semua teman-temanpun heran, tak seperti biasanyaa, Hisyam biasanya kalau tidak menempati urutan pertama biasanya minimal yang kedua, karena anatara Hisyam dan Ayu merupakan pesaing ketat yang susah ditandingi.

Suara kepala sekolah yang mengumumkan kelulusan kemudian mempersilahkan Hisyam dan ayahnya naik keatas panggung, dilanjutkan dengan urutan terbaik dua, dengan sedikit menunda-menunda membuat kami semua semakin penasaran,
"Lulusan terbaik dua adalah Putri Ayu Setyaningsih", haaaah,,, Ayu terbaik dua, dengan nada heran sontak membuatku demikian bertanya-tanya, kalau Ayu terbaik dua, siapa terbaik satunya, sementara selama ini siswa-siswi terbaik hanyalah mereka berdua.

Hingga tiba saatnya pada urutan terbaik satu, " inilah yang tidak kita sangka dan tida kita duga sebelumnya, namun setelah kami telusuri, kami menemukan keyakinan bahwa memang benar adanya, dialah lulusan terbaik pertama, yang mungkin akan membuat kita semua bingung dan bertanya, siapa sih dia", suara kepala sekolah itu tak lagi aku hiraukan, meskipun sedikit penasaran, tapi biarlah, yang penting aku lulus pikirku, sesekali melihat ayah disampingku, dengan perubahan ayahpun terhadapku aku sudah cukup bahagia dan selalu ingin dekat dengannya, yang mana jika sebelumnya aku enggan pulang, saat ini aku ingin selalu dirumah, sesakali sholat berjemaah bersama ayah dan ibuku jika ayah sudah pulang dinas.

Ayah yang sedari tadi memperhatikan pengumuman itu dengan seksama, tiba-tiba memelukku dan mengatakan "Ayah bangga terhadapmu", yang kemudian diikuti pelukan ibu, aku belum menyadari kalau akulah lulusan terbaik pertama saat itu, karena aku tak lagi menghiraukan kelulusan karenaaku terlalu bahagia dengan peribahan ayah. Dengan mata yang sedikit berkaca-kaca, aku naik keatas pangging bersama ayah, dari kejauhan tampak air mata ibu mengalir dengan penuh bahagia, inikah bahagia? yang sebelumnya aku belum pernah mendapatkannya.


Berkat perjuanganku untuk berubah, aku diterima di Universitas ternama dengan bea siswa pula, kedua orang tuaku semakin bangga, dan aku lebih memahami adek-adekku sebagai kakaknya untuk mengarahkan le hal-hal yang lebih baik. Tanpa terasa aku sudah semester enam, sejak semester dua aku bermaksud untuk mencari kerja namun ayahku terus melarangnya, dengan alasan ayah tidak ingin prestasiku menurun hanya karena tidak bisa membagi waktu, namun setelah semester enam aku pikir jadwal kuliyahku sudah tidak sepadat dulu, kali ini hanya dua kali pertemuan dalam seminggu, karena sudah banyak mata kuliyah yang bisa diambil disemester sebelumnya, kebetulan aku selalu mendapatkan 24 SKS sehingga bisa mengambil sebagian mata kuliah semester selanjutnya.

Siang itu ibu memintaku pulang dengan alasan rindu, tanpa berpikir panjang kuiyakan saja, kebetulan aku sedang tidak ada matakuliyah tiga hari kedepan. Sesampainya dirumah setelah aku melepas rindu bersama keluragaku, kucoba merapikan kamarku, ada secarik kertas jatuh dari lemariku saat kurapikan baju, kucoba membukanya, tertulis sebuah nama "Ayu". Sontak kuteringat kenangan masalalu, masa pahit karena penolakannya hanya karena alasan tidak ingin pacaran, entah alasan itu hanyalah sebuah alibi ataukah karena hatinya sudah terisi oleh Hisyam. Ah sudahlah!

Tapi hatiku rindu, sebab sejak saat itu aku tak pernah punya keinginan untuk mendekti perempuan, karena cintaku terlalu besar untuknya, bahkan dapat dibilang dialah cinta pertamaku. Terlalu dalam sakit itu, tapi diam-dia aku masih ingin tau tentang keberadaanya, kata adekku Anggun, Ayu sempat pulang dari kota karena sakit, kebetulan Ayu kuliah di Universitas yang berbeda, sedangkan Hisyam yang aku tau dari adekku sedang kuliyah ke Luar Negeri.

Sore itu aku menyusuri jalanan kampung, bermain kerumah temanku waktu SMA, Hafeed namanya, kucoba mencari tau tentang Ayu, kabar yang aku dapatkan dari Hafeed pun sama dengan yang adapatkan dari adekku, "aku chat pun gak pernah dibalas yan", kata Hafeed.

"Kamu ada nomornya?"
"Ada, keluarganya juga sudah ikut oindah kekota yan", sambung hafeed sambil menikmati secangkir kopi diteras rumahnya, suasana sejuk masih sama seperti dulu, yang membuatku betah dan mendapatkan kedamaian.

Dengan sedikit ragu ku coba menelphonenya,
"Assalamualaikum" terdengar jelas ditelingaku itu bukan Ayu, lebih kesuara ibu-ibu.
"Waalaikum salam, maaf Ayunya ada bu?"
"Maaf ini dengan siapa?"
"Saya Ryan bu temen SMA nya Ayu dulu, maaf Ayunya ada bu?",
"Maaf Ayu sedang istirahat nak", sambung ibunya, namun suara ibunya membuatku sedikit ragu dan menghawatirkan Ayu, sepertinya Ayu sedang tidak baik-baik saja.

Waktu berlalu begitu cepat, sudah setahun lamanya aku mencoba menghubungi Ayu namun tak lagi kutemunkan jawaban yang pasti, telponku tak lagi diangkat, bahkan mungkin sudah ribuan pesanku selama setahun itu hanya dibaca. Sempat berpikir mungkin Ayu bukanlah jodohku, tapi entah mengapa sampai saat ini rasa itu masih ada, mungkin masih tetap utuh.

Kali ini aku lagi-lagi bisa membuat keluargaku bangga, terlebih ayah ibuku, aku lagi-lagi menjdi luluaan terbaik dan akupun diterima disalah satu perusahaan ternama, sonatk lehidupanku dan kelurgaku berubah total meski belum genap 6 bulan bekerja, karena kinerjaku yang baik, aku langsung mendapatkan kepercayaan unyuk menjadi manager diperusahaan tersebut menggantikan manager yang sebelumnya dikeluarkan karena korupsi.

Sepulangnya dari kantor, dengan lelah aku bersandar disofa sebelum sempat mengganti pakaian, tiba-tiba ibuku menghampiriku, "Nak, apa tidak sebaiknya kamu mencari pendamping hidup, agar ada yang menanyakan lelahmu saat kamu pulang kerumah, ada yang bisa mengurus segala
keperluanmu dan menemanimu mengarungi kehidupan ini, karena ibu tak akan selamanya bisa mengurusmu",
ucapak ibu ada benarnya juga, sontak kembali kuteringat pada Ayu.
"Iya bu, nanti Ryan pikirkan bu, Riyan kekamar dulu ya bu", pamitku pada ibu.

Sesampainya dikamar aku mencoba lagi menghubungi Ayu, tetaplah mengalami hal yang sama, tak ada yang angkat telponnya meski sekedar memberi kabar bahwa Ayu sedang baik-baik saja, malam itu firasatku tidak enak, samar-samar kulihat Ayu tersenyum dan seolah melambaikan tanganya, kulihat foto Ayu yang sejak 7 tahun lalu aku memajangnya, entah kemanapun aku pindah pasti foto itu selalu kubawa,tiba-tiba kuterima pesan singkat dan segera membacanya, ternyata dari Hafeed.

"Yan, kamu bisa datang kealamat ini, penting"!
Tanpa aku bertanya ada apa, langsung aku bergegas kelokasi yang sudah dishare oleh Riyah, jaraknyapun tidak terlalu jauh, harusnya aku bertanya, mengingat Hafeed yang tinggal dikampung tiba-tiba ada dikota dan memintaku datang segera.

Tiga puluh menit lamanya dalam perjalanan akhirnya aku sampai juga, rumah yang sederhana namun banyak orang yang berdatangan, isak tangsi mulai kudengar dan yang membuatku sontak kaget adalah bendera kuning yang merupakan tanda ada yang meninggal. Hafeed yang menyadari kedatanganku mengajmpiriku dengan raut wajah yang sangat sedih dan kemudian memelukku.

"Feed, ada apa?", dengan penuh keheranan aku bertanya
"Ayu yan, Ayuuu,,,,"
Tanpa aku bertanya pada Hafeed aku langsung lari menuju arah isak tangis keluarga itu, tubuhku terasa lunglai saat kulihat jasad kaku dan tak bergeming yang kuyani dialah Ayu, sosok wanita spesial dihatiku, sosok yang merubahku menjadi pribadi yang lebih berarti, tangisan mama Ayu semakin keras dan sembari menyodorkan buku harian, aku tak sempat membukanya, aku ingin melihat wajah Ayu, Meskipun ini untuk yang terakhir kalinya.

"Kak tolong baca ini", adek Ayu kembali menyodorkan buku harian Ayu halaman terakhir.

"Bang Riyan, jika ada waktu, peluklah aku untuk yang terakhir kalinya, karena akupun sebenarnya mencintaimu"


"Jaga diri abang baik-baik ya, selamat tinggal bang"

Ayuuuuuuuuuuuuu,,,, sambil kupeluk tubuhnya yang tak lagi bernyawa, meskipun orang-orang melarangku memeluknya dengan air mata yang mengalir, tak kupedulikan itu, inilah pelukan pertama dan terakhirku untuknya, kucium pipinya yang sudah tak lagi berisi seperti dulu, mungkin karena sakit yang dideritanya sementara aku tidak tau apa-apa.

Hari ini tepat satu tahun meninggalnya Ayu, setahun berlalu waktuku hanya habis dengan membaca Diary Ayu, yang membuatku menyesal adalah ketidak pekaanku atas perasaan Ayu yang sebenarnya juga mencintaku sejak dulu, aku yang tidak mempercayai bahwa kala itu Ayu belum ingin pacaran dan masih inginfokus terhadap pendidikan, yang kuanggap semua itu sebagai penolakan karena aku pikir dia lebih melilih Hisyam.

Ayu, andai saja waktu bisa berpihak kepadaku, aku masih tetap ingin memelukmu meski kamu tak bernyawa sekalipun, karena hati ini tetap berisikan namamu, nama yang indah dan tak akan pernah kulupakan, karena namamu telah terpatri, dan ruang hatiku terlalu sempit dan hanya cukup untuk satu orang, yaitu kamu, biar adil, jika cintamu kau bawa sampai mati, ijinkan abang untuk melakukan hal demikian. Karena cinta ini sudah terlalu dalam.

"l Love you"







Didikan ayahku dulu begitu kusesali, saat ini begitu aku syukuri,
4iinchAvatar border
NadarNadzAvatar border
nona212Avatar border
nona212 dan 24 lainnya memberi reputasi
25
1.1K
21
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan