- Beranda
- Komunitas
- News
- Citizen Journalism
Keprihatinan Dibalik Perayaan Hari Nelayan Ditengah Pandemi dan Perubahan Iklim


TS
aprilianp260
Keprihatinan Dibalik Perayaan Hari Nelayan Ditengah Pandemi dan Perubahan Iklim
Suara hening deburan ombak mungkin lebih sering didengar daripada hingar bingar kota. Badai yang membelah samudra dilalui mereka tanpa ada rasa takut. Pantang pulang sebelum mendapat tangkapan. Kira-kira seperti itulah gambaran perjuangan nelayan yang tidak kenal lelah demi kehidupan keluarga mereka sendiri atau bahkan demi seluruh rakyat Indonesia. Namun apakah lelah itu sepadan dengan apa yang mereka dapatkan?
Hari Nelayan yang selalu diperigati setiap tanggal 6 April 2020 menjadi pengingat bahwa Indonesia patut bersyukur terhadap keadaan geografisnya yang strategis yaitu terletak di antara dua Samudra sehingga memiliki potensi pesisir dan perikanan yang sangat besar bahkan 70 persen wilayah Indonesia merupakan wilayah lautan. Dengan kekayaan pesisir yang melimpah dimanfaatkan oleh sebagian besar penduduk Indonesia untuk bermatapencaharian di laut sebagai nelayan, yaitu sekitar 2,7 juta jiwa penduduk dari total 267,7 juta penduduk di Indonesia. Namun dengan kekayaan alam yang melimpah lantas tidak membuat para nelayan ini sejahtera bahkan mereka menyumbang 25 persen angka kemiskinan di Indonesia.
Perubahan iklim yang kian tahun bukannya semakin membaik namun justru semakin memburuk mengakibatkan kesejahteraan para nelayan dan masyarakat semakin terpuruk. Bagaimana tidak, perubahan iklim telah membuat nelayan semakin sulit unruk mencari ikan di laut. Hal itu terjadi karena perubahan iklim telah membuat terjadinya pergeseran musim akhir-akhir ini. Fenomena pergeseran musim ini dapat mempengaruhi suhu air laut sehingga udang dan ikan akan sulit untuk ditangkap. Selain itu curah hujan, gelombang tinggi yang disertai angin kencang, serta cuaca yang tidak menentu menimbulkan ketakutan bagi para nelayan sehingga mereka semakin jarang melaut terutama bagi nelayan kecil. Tidak menurunkan produktivitas nelayan, perubahan iklim juga dapat mengancam kehidupan para nelayan serta masyarakat pesisir lainnya. Studi menyebutkan sekitar 23 juta orang di pesisir Indonesia diperkirakan harus menghadapi ancaman banjir laut tahunan tahun 2050 akibat peningkatan ketinggian air laut yang disebabkan oleh perubahan iklim. Bahkan Climate Change, sebuah organisasi di Amerika Serikat menyebutkan bahwa jumlah ini dapat naik lima kali lipat dibandingkan perkiraan sebelumnya. Ancaman ini tidak hanya disebabkan oleh peningkatan ketinggian air laut akibat perubahan iklim saja namun juga dipengaruhi oleh penurunan muka air tanah akibat ekspolitasi air tanah secara berlebih. Peneliti geodesi dan geomatika dari Institut Teknologi Bandung (ITB), Heri Andreas, menyebutkan ancaman tenggelamnya pesisir Indonesia sudah sampai tahap “mengkhawatirkan”. Ancaman ini tidak hanya dialami oleh Jakarta dan pesisir utara Pulau Jawa saja, namun juga pesisir timur Pulau Sumatera, Kalimantan, dan Papua bagian Selatan. Kenaikan suhu global berimbas pada gunung es di kutub utara dan selatan, yang mencair dan mendorong kenaikan permukaan air laut. Merujuk data satelit yang dikumpulkan selama 20 tahun oleh ITB, penurunan permukaan air laut di perairan Indonesia diperkiraan sekitar 3 - 8 mm per tahun. Sementara, estimasi penurunan permukaan tanah diperkirakan lebih drastis, berkisar antara 1-10 cm per tahun. Bahkan, di beberapa tempat, penurunannya mencapai 15-20 cm per tahun. Pesisir yang berada di kawasan yang lebih rendah dibandingkan permukaan air laut membuat daerah pesisir semakin rawan akan bencana berupa kenaikan permukaan air laut yang dapat menggenangi daratan yang biasa disebut dengan banjir laut atau banjir rob (tidal flood). Ancaman banjir rob ini baru saja terjadi akhir-akhir ini tepatnya sejak bulan November di wilayah pesisir sekitar dua kilometer dari muara Sungai Kakap, Kubu Raya, Kalimantan Barat. Perabotan rumah yang tampak lapuk menjadi pemandangan di sebagian besar permukiman area tersebut. Bahkan bencana ini hampir saja merenggut nyawa. Tidak hanya di Kalimantan Barat, sejak tahun 1980-an Kabupaten Demak sudah menjadi langganan banjir rob ini. Sebanyak 26 desa tenggelam akibat banjir rob dan menyebabkan hilangnya lahan tambak dan banyak bangunan rusak. Selain itu, banjir rob juga menyebabkan abrasi pada bibir pantai sehingga menjadikan cekungan bibir pantai semakin masuk ke daratan. Ancama ini mengakibatkan masyarakat pesisir mau tidak mau harus beradaptasi. Adaptasi tersebut antara lain menaikkan ketinggian bangunan rumah, membuat tanggul penahan dan saluran air, serta menimbun halaman di sekitar rumah. Selain itu peningkatan air laut menyebabkan intrusi air laut yaitu masuknya air laut ke dalam pori-pori batuan dan mencemari air tanah sehingga menyebabkan masyarakat pesisir kesulitan mendapatkan air bersih dan mengharuskan mereka menggunakan air PAM.
Bagai jatuh tertimpa tangga pula, mungkin peribahasa itulah yang cocok bagi para nelayan pada saat ini. Sudah mengalami kesulitan akibat perubahan iklim, kini mereka juga harus mengalami kesulitan akibat pandemic COVID-19 yang terjadi hampir di semua negara di dunia ini. Selain menelan ratusan korban jiwa ternyata pandemi ini juga mempengaruhi perekonomian Indonesia salah satunya perekonomian para nelayan. Dampak pandemic COVID-19 yang paling dirasakan nelayan yaitu penurunan harga ikan secara drastis bahkan hingga mencapai 50 persen sedangkan biaya operasional tetap tinggi. Hal ini jelas tidak sebanding dengan tenaga dan pengorbanan yang dikeluarkan saat melaut. Penurunan harga ikan ini disebabkan karena menurunnya jumlah peminat baik di pasar maupun restoran karena sebagian besar orang lebih memilih berada di dalam rumah. Dampak lain yang dirasakan akibat pandemic ini adalah menumpuknya ikan hasil tangkapan. Jika sebelumnya iakn yang tiba di tempat pelelangan langsung dimasukkan ke dalam truk dan langsung didistribusikan, sekarang ikan hasil tangkapan tersebut harus menumpuk di Tempat Pelelangan Ikan (TPI). Hal ini disebabkan karena beberapa truk pengangkut yang sudah berangkat tidak dapat kembali akibat adanya kebijakan karatina daerah di beberapa wilayah di Indonesia. Selain itu juga dikarenakan volume ekspor ikan dan udang berkurang karena beberapa negara sekarang membatasi barang import yang masuk. Untuk mengatasi hal tersebut Kemetrian Kelautan dan Perikanan (KKP) telah mengirim surat permohonan kepada gugus tugas percepatan Covid-19 agar memberikan jaminan akses keluar dan masuk distribusi input produksi perikanan dan logistik ikan ke berbagai wilayah. Selain itu KKP juga memiliki strategi optimalisasi Sistem Resi Gudang (SRG) ikan atau selama ini dikenal oelh masyarakat dengan sistem tunda jual. Dengan melaksanakan optimalisasi SRG, diharapkan dampak negatif bisa ditekan lebih cepat, sehingga nelayan dan pembudi daya ikan tidak mengalami kerugian yang banyak. Saat harga sedang turun seperti sekarang, produk yang dihasilkan nelayan dan pembudi daya ikan bisa menitipkannya di gudang beku yang sudah ditunjuk sebagai pelaksana SRG dan menjualnya Kembali saat harga sunah Kembali membaik.
Seakan menambah kesengsaraan para nelayan, ditengah mewabahnya pandemic COVID-19 DPR RI justru menetapkan rancangan Undang-Undang (RUU) Cipta Karya atau Omnibus Law. RUU Cipta Karya ini akan menambah ancaman bagi para nelayan, pelaku usaha perikanan skala kecil, dan masyarakat pesisir karena pada RUU tesebut dianggap mempersulit ruang gerak nelayan kecil dan pelaku usaha perikanan skala kecil. Dalam RUU tersebut terdapat tujuh ancaman bagi masyarakat pesisir, nelayan, dan pelaku usaha perikanan kecil. Ancaman tersebut antara lain menyamakan nelayan skala kecil dan nelayan skala besar dengan pemaksaan pengurusan perizinan perikanan bagi nelayan skala kecil yag sebelumnya hanya dilakukan nelayan skala besar, adanya kemudahan izin yang diberikan pemerintah kepada kapa lasing untuk melakukan penagkapan ikan di perairan Indonesia khususya wilayah ZEE sehingga mengharuskan para nelayan kecil bersaing dengan kapa lasing yang berukuran lebih besar dnegan teknologi yang lebih canggi, mendorong ekspansi pembangunan pelabuhan skala besar sehingga memicu alih fungsi Kawasan pesisir Indonesia dari pemukiman menjadi pelabuhan, mendorong perluasan Kawasan konservasi laut Indonesia yang sifatnya justru condong dari atas ke bawah bukan sebaliknya, mendorog pelaksanaan impor ikan dan garam ke Indonesia tanpa batas oleh pemerintah sehingga memperkecil ruang bagi para nelayan dan pelaku usaha garam di wilayah pesisir, serta menguatkan posisi tata ruang laut sebagaimana diataur dalam rencana zonasi wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil (RZWP3K) yang tidak menempatkan nelayan sebagai actor utama dalam pengelolaan sumber daya kelautan dan perikanan ini dan hanya memberikan kepastian hukum untuk para investor. Melihat banyaknya ancaman kepada para nelayan mulai dari perubahan iklim, pandemic COVID-19, serta RUU Cipta Karya, lantas masih pantaskan kita merayakan Hari Nelayan ataukah Hari Nelayan ini hanya sebagai penghibur bagi para nelayan dari kesengsaraan yang mereka alami selama ini?? (ANP)
Diubah oleh aprilianp260 17-04-2020 08:40


anasabila memberi reputasi
1
721
3


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan