Puspita1973Avatar border
TS
Puspita1973
IBUKU BAHU LAWEYAN

Pexels


Prolog


"Kau itu wanita panas. Wanita Siaal! Berapa kali pun kau menikah nanti, suamimu juga akan mati. Sama seperti suami ibumu!" Begitulah yang dikatakan beberapa orang di sekelilingku. Mereka, orang-orang yang memiliki wajah segaris bahkan hidung yang simetris denganku.

Menjadi single parent lebih dari sekali, apa itu sebuah kesalahan bagi Ibu. Tidak memiliki orang tua laki-laki sejak usia dini, apakah itu juga sebuah kesalahan bagiku. Dan ... memiliki saudara berbeda ayah, apakah ini kesalahan bagi kami berempat.

Apakah tak pernah terlintas barang secuil pun dalam benak para sepupu itu, ada hal yang tak bisa kuminta, pun tolak ketika itu memang harus terjadi. Ada saatnya aku hanya serupa wayang yang dikendalikan oleh dalang. Ada saatnya pula, aku bebas tanpa batas menentukan pilihan. Bukankah hidup memang seperti itu. Tak peduli apakah ia penghuni gubug di bantaran sungai Ciliwung, pun pemilik cluster 'wow' di kawasan Pantai Indah Kapuk yang di atapnya memiliki helipad.


Bab 1
Terkena Gendam


Aku baru saja keluar dari kamar mandi saat mendapati ponselku bergetar. Tertulis nama 'Sigit' di layarnya yang menyala, memanggil. Ada yang berdesir lirih dalam dada, seketika. Bukan, bukan karena apa, mahasiswa semester akhir ini, biasanya hanya mengirim pesan kecuali untuk hal yang mendesak atau penting. Yang membuatku selalu merasa was-was dengan panggilannya, jangan-jangan adik bungsu ini akan menyampaikan berita yang tak kuharapkan. Dengan sedikit gemetar kuangkat ponsel di atas nakas.

"Walaikum salam. Yah, kenapa, Git?"

"Ibu jatuh, Mbak."

"Apa?! Kapan? Di mana?"

"Tadi pagi. Depan rumah. Sekarang aku lagi di UGD RSUD."

"Apa, UGD?"

"Iya, tapi Mba tenang aja. Ibu nggak papa."

Aku yang telah menyiapkan seragam untuk mengajar di atas ranjang segera menggantinya dengan gamis dan jilbab instan.

"Assalamualaikum. Mas, Ibu jatuh. Sekarang di UGD RSUD. Apa aku boleh pulang?" Aku menelepon seseorang yang saat ini aku yakin sedang duduk di belakang kursi kerjanya.

"Walaikum salam. Kapan? Bagaimana kondisinya?"

"Belum tahu."

"Pertanyaan macam apa itu, tadi?"

"Yang mana?"

"Apa aku boleh pulang? Pulanglah sekarang juga. Kalau menunggu saya, belum tahu jam berapa bisa keluar kantor. Naik travel jika jam sekarang ada yang berangkat. Kalau mau cepet naik bus patas. Aman. Saya nanti menyusul. Buat pengajuan cuti dulu. Hati-hati di jalan." Setelah mengucapkan 'terima kasih' atas izin yang ia berikan, aku menutup telepon. Namun, tak lama kemudian HP-ku bergetar. Pesan darinya.

Fii Amanillah. I love you, Ma. Doa terbaik untuk Ibu.

Aku menutup HP dengan penutup chasing-nya.

Tanpa berpikir-pikir lagi langsung kuhubungi taksi online menuju terminal Jombor. Mengejar bus patas jurusan Semarang yang dijadwalkan berangkat jam 07.30 WIB. Begitu mobil daring yang kutumpangi berhenti di tempat tujuan, aku segera berlari ke agen penjualan tiket. Jam di tangan masih menujukkan pukul 07.15, daripada menunggu di waiting roomagen, aku memilih duduk di dalam bus.

Dari puluhan kursi couple berjejer-jejer yang bebas dipilih, aku sengaja memilih urutan nomor dua di belakang driver, dekat jendela. Tempat duduk favoritku sejak dulu. Ini karena Mbak Tanti--sepupuku--pernah menasehati jika tempat itu, tempat yang paling aman. 'Coba kaurenungi berita dari koran-koran dan TV jika ada kecelakaan bus, supirnya selalu selamat, kan? Maka dari itu, pilihlah tempat duduk di belakangnya. Pasti aman.' Jadi teringat celotehannya waktu itu. Walaupun pendapat Mbak Tanti tak didukung data dan riset, aku selalu mengamalkannya, jika kondisi memungkinkan.

Kuhempaskan tubuh ke kursi bus yang empuk dan lembut, setelah itu kusibakkan tirai yang menutupi kaca jendela. Kuedarkan pandangan ke seluruh wilayah terminal sejenak, lalu berhenti pada bus-bus yang sedang menunggu penumpang. Beberapa pedagang asongan sedang menjajakan dagangan. Pun para pengamen juga sedang menjajakan suaranya. Semuanya masih sama seperti bertahun-tahun yang lalu. Setelah sekian lama, tempat ini tak banyak berubah. Jombor dan terminal Jombor, dua tempat yang menyimpan sejuta kenangan. Senang dan susah. Sedih pun bahagia.

Dulu, tepatnya sembilan tahun yang lalu hampir setiap bulan aku harus pulang ke Semarang. Selain rindu Ibu, juga saatnya berkumpul bersama Mas Arman dan Sigit. Pekerjaanku sebagai salah satu staf keuangan di sebuah perusahaan besar farmasi tak memberiku banyak kesempatan untuk berjalan-jalan apalagi berbelanja kapan dan di mana saja, layaknya yang berkantong tebal. Itu karena aku harus menopang biaya sekolah Sigit yang kemudian berlanjut kuliah selain kuliahku sendiri.

Terminal Jombor, ya, tempat ini mengingatkanku pada sebuah peristiwa. Di tahun keempat aku tinggal di Jogja--sembilan tahun yang lalu--ketika itu aku sedang dalam perjalanan pulang ke Semarang. Karena kost di wilayah Jombor, saat akan ke Semarang, aku harus menumpang bus mini yang melewati jalan Magelang menuju terminal Jombor. Tempat mangkal bus antar kota antar provinsi jurusan Semarang-Jogja.

Siang itu, cukup lama aku menunggu di pinggir jalan Magelang, bus yang kuinginkan tak juga terlihat. Matahari bersinar garang. Debu jalanan yang diterbangkan mobil-mobil yang melintas kerap menampar wajahku. Pun gas emisi dari knalpot kendaraan yang berlalu lalang, sesekali harus membuatku menutup hidung. Entah berapa lama aku menuggu, bus yang kuharapkan akhirnya berhenti di hadapan setelah kulambaikan tangan kanan ke arahnya.

Saat itu kondisi penumpang sedang penuh. Beberapa laki-laki berdiri di dekat pintu. Begitu melihatku, mereka buru-buru turun. Memberi jalan agar aku mudah masuk ke dalam bus. Mereka, empat orang anak muda. Dua berpakaian sangat rapi. Kemeja yang dimasukkan ke dalam celana ber-ikat pinggang. Sekilas seperti seorang karyawan kantoran. Sedangkan dua sisanya berpakaian lebih santai. Jeans, t-shirt dan jaket. Bisa dikatakan tampang mereka mirip anak kuliahan.

Mau tak mau, aku harus berdiri. Berdesakan dengan penumpang lain, yang sama berdirinya. Meskipun telah sesak, bus masih terus menaikkan penumpang. Aroma keringat dan hawa panas karena tak ada fasilitas AC berbaur menjadi satu. Lagi, sesekali aku harus menutup hidung. Setelah bus berjalan kurang lebih lima menitan, rasa gerah mulai menjalari tubuhku. Yang membuatku syok, dalam kondisi seperti itu ternyata ada seseorang yang sedang beraksi. Aksi yang merugikan orang lain.

Salah satu dari empat orang yang berdiri di dekat pintu bus tadi sedang memasukkan tangannya ke dalam tas seorang penumpang. Laki-laki itu seperti mencari-cari sesuatu. Melihat pemandangan seperti itu, jantungku seakan berhenti! Sayangnya, aku hanya bisa menahan napas sejenak lalu mengunci mulut. Aku yakin orang-orang di sebelah kiri dan kananku juga melihatnya. Namun, tak berbeda denganku mereka hanya diam. Bahkan ada yang sepertinya pura-pura tak melihat. Dalam diam aku berpikir apa mereka semua sama takutnya sepertiku atau ... atau ada kesepakatan tak tertulis di balik kejadian ini.

Setelah mendapatkan targetnya--dompet--orang yang tangannya bergerilya di dalam tas tadi mengoper benda itu pada seseorang di belakangnya. Selama melakukan aksi seseorang yang berada di depan calon korban terus berusaha mengajaknya berbicara. Mungkin untuk mengalihkan perhatian. Refleks aku mendekap tas kuat-kuat di dada sambil mengucapkan 'istighfar' dalam hati terus-menerus. Jantungku pun berdegup lebih kencang dengan sendirinya. Perjalanan dari jalan Magelang ke terminal Jombor yang sebenarnya hanya kurang lebih lima belas menit, siang itu serasa satu jam.

Begitu bus yang kutumpangi masuk ke dalam terminal, aku menarik napas. Lega rasanya. Tak lama kemudian bus pun berhenti. Aku sudah tak sabar lagi ingin keluar. Rupanya komplotan pencopet itu juga turun dari bus, turun di tempat yang sama denganku. Saat berada di luar bus, aku buru-buru mengambil langkah seribu tak tentu arah--yang penting berlawanan dan menjauh dari para pencopet.

Dalam kondisi berlari-lari kecil, mataku tertuju pada sebuah benda. Bok*. Aku segera menghampirinya, lalu duduk di atas benda itu, di bawah rindang ketapang yang seolah merentangkan dua tangannya dan siap menawarkan keteduhan. Kuatur napasku yang terengah-engah, sejenak. Setelah itu aku membeli air mineral dari pedagang asongan yang kebetulan melintas. Usai menenggak sebotol air, aku segera mengedarkan pandangan. Mencari bus yang kuinginkan. Tak sampai lima menit, aku mendapatkannya. Dengan langkah kaki yang masih sedikit lemas, aku berjalan menuju ke angkutan umum berkapasitas lebih dari 50 seat itu.

Sampai di dalam, beberapa kursi telah terisi. Tak banyak pilihan lagi. Salah satu hal yang kurang kusukai saat menumpang bus ekonomi selain panas dan satu deret kursi berisi tiga penumpang, ketika aku harus duduk bersebelahan dengan mahluk berjenis kelamin laki-laki. Apa boleh buat. Nasib orang berkantong tipis sepertiku. Masih beruntung bisa mendapatkan tempat favorit.

Dari tampangnya cowok di sebelahku terlihat seperti mahasiswa. Namun, siapa yang menjamin dia orang baik-baik. Tampang para pencopet yang "excellent" itu masih belum lekang dari ingatanku. Sepanjang perjalanan aku berusaha membuang pandangan ke arah luar melalui jendela. Sesekali berpura-pura tidur untuk menghindari interaksi dengannya.

Saat mendapatiku menenggak minuman, cowok di sebelah itu seperti buru-buru beraksi. Bertanya aku akan turun di mana, dari mana, di Jogja kerja dan tinggal di mana. Waw. Pertanyaan yang menurut ukuran orang bule telah memasuki ranah privasi. Dengan malas aku menjawab sekadarnya. Selain memang benar-benar malas, aku juga tak memercayai orang itu. Aku kembali berpura-pura tidur.

Entah berapa lama, sepertinya aku benar-benar tertidur. Ketika terbangun bus telah memasuki Ambarawa. Cowok di sebelah pun kembali beraksi. Aku lupa dia bercerita tentang apa, yang jelas aku menjadi antusias menanggapi. Dari Ambarawa sampai Ungaran, percakapan kami seolah riuh tanpa henti.

"Mbak, ada uang kecil?" tanya cowok itu, tiba-tiba. Aku segera meraba-raba isi tas. Hanya ada lima belas ribu, sisa bayar ongkos bus. Aku buru-buru membuka dompet. Tak ada isinya.

"Hanya ada ini," balasku.

"Mungkin di tempat lain?" Mata cowok itu menatap tajam ke arahku.

"Tidak ada!"

"Mungkin Mbak pakai anting, cincin atau gelang?" Cowok itu meraba telinga, jari dan tanganku. Nihil. Aku tak memakai perhiasan apa pun. Anehnya aku tak merasa risih, jijik atau ketakutan.

Tanpa pikir panjang, laki-laki sedikit tambun itu mengambil lima belas ribu dari tanganku. Tak lama kemudian ia turun dari bus. Tempat duduk seketika terasa lega. Sepuluh menitan kemudian aku pun turun, begitu bus memasuki terminal Banyumanik. Sampai di dalam terminal angkutan umum menuju Semarang kota telah berjejer menanti.

Ketika kakiku akan melangkah masuk ke dalam salah satu angkutan itu, aku baru menyadari jika tak ada sepeser pun rupiah di dalam tas, pun dompetku. Saat itu aku belum memiliki HP, juga kartu ATM. Ya Allah, aku harus bagaimana.

Foot note:
Bok: bangunan dari beton biasanya berbentuk empat persegi panjang.



Inspired by true story
Diubah oleh Puspita1973 07-04-2020 00:13
nona212
kyukyunana
indrag057
indrag057 dan 37 lainnya memberi reputasi
38
15.1K
359
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Komunitas Pilihan