galih17Avatar border
TS
galih17
CERBUNG : "Hotel Slamet"




    

Di ruang kamar aku duduk sendiri, bersandar pada tembok yang warna putihnya sudah mulai kekuningan. Ku genggam amplop berwarna cokelat, berisi sejumlah uang. Itu adalah uang sebesar tiga bulan gaji, uang pesangon. Bukan uang pesangon juga sebenarnya, mungkin sejenis uang permintaan maaf dari mantan bosku. Toko kain dan pakaian tempatku bekerja harus mengakhiri kiprahnya dalam dunia perdagangan. Karena hutang yang menumpuk, toko yang cukup besar itu dijual oleh mantan bosku itu. Dan aku kehilangan pekerjaan.

Kini sudah enam minggu aku menganggur, setiap hari aku mencari informasi lowongan pekerjaan. Sebenarnya cukup banyak lowongan pekerjaan untuk lulusan SMA sepertiku. Tetapi karena jumlah pelamar dari lulusan SMA juga banyak, tentu persaingan mendapat pekerjaan juga tetap berat. Walaupun pekerjaan yang hanya menjadi pelayan toko sekalipun.

Tok...tok...tok, Riifaaat. Aku mendengar suara ketukan pintu dan orang yang memanggilku. Segera aku keluar kamar untuk menemui orang yang mencariku.

“Oalah, kamu, Pur. Masuk sini, Pur,” ucapku.

“Di teras saja, Fat. Aku cuma main saja, kok,” balas Purwanto.

“Baiklah.”

Aku dan  Purwanto duduk di teras rumahku yang sederhana ini. Aku hanya tinggal berdua dengan ibuku. Ayahku meninggal ketika aku kelas dua SMA, sedangkan kakak perempuanku satu – satunya sudah menikah dan ikut suaminya yang bekerja di Kalimantan.

“Kamu dari rumah saja, nih?” tanyaku.

Purwanto membakar sebatang rokok yang ada di mulutnya, “Iya, Fat. Aku dari rumah saja. Aku masuk shiftmalam kemarin. Tadi sampai di rumah aku gak bisa tidur, akhirnya aku ke sini saja. Hehehe. Rokok, Fat?”

Aku mengambil mengambil sebatang rokok yang disodorkan Purwanto kepadaku. Mengikuti Purwanto membakar ujungnya, lalu menghisap asapnya. Purwanto merupakan teman satu kelas saat aku masih duduk di bangku SMP. Dia bekerja sebagai satpam di salah satu bank swasta di daerahku.

“Bagaimana pekerjaanmu, Pur? Lancar saja kan?” tanyaku.

“Lancar saja, Fat. Kerja jadi satpam kan tidak mikir macam – macam. Tinggal tugas jaga saja” jawab Purwanto sambil menghembuskan asap rokok ke udara.

“Lagipula dengan badanmu yang kekar seperti ini, mana mungkin perampok datang ke bank tempatmu bekerja. Iya, kan?” Aku mencoba menggoda Purwanto.

“Ah, tidak juga. Kalau perampok bersenjata tentu satpam di manapun juga keteteran. Kenapa? Kamu mau merampok ya, Fat? Awas, ya. Aku bekuk kamu nanti, hahaha,” Purwanto membalas dengan bergurau.

Selama beberapa saat kami diam untuk menikmati rokok masing – masing. Matahari yang masih belum terlalu tinggi, memang waktu yang pas untuk merokok dan minum kopi.

“Mau minum kopi? Aku buatkan,” tawarku.

Purwanto  membenturkan rokok ke pinggiran asbak. Mematahkan batang rokok yang sebagian sudah menjadi abu. “Ah, tidak usah repot - repot. Aku sudah ngopi di rumah sebelum ke sini. Kamu sendirian saja di rumah, Fat?”

“Iya, aku sendirian di rumah. Ibuku masih belanja di pasar.”

Burung kenari yang aku pelihara berkicau dengan lantang dan merdu. Bersahut – sahutan dengan burung kenari lain milik tetangga. Mungkin mereka saling berbincang dengan bahasa mereka sendiri.

“Ngomong – ngomong, kamu ada info lowongan pekerjaan tidak, Pur? Aku sudah sebulan lebih menganggur. Jenuh,” keluhku.

“Karena itu juga aku datang ke rumahmu ini, Rifat. Aku ada info lowongan pekerjaan untuk kamu. Mungkin saja kamu berminat,” jelas Purwanto.

“Lowongan pekerjaan apa itu, Pur?”

“Teman kerjaku semalam cerita, kalau adiknya sempat melamar di sebuah hotel kecil. Tetapi ternyata yang dibutuhkan laki – laki, sedangkan adik temanku itu perempuan. Jadi dia tidak bisa melamar kerja di sana.”

“Hotel apa itu?”

“Hotel Slamet.”

“Hotel Slamet? Di daerah mana itu, Pur?”

“Hotel kecil yang tidak jauh dari alun – alun. Ada di timur jalan lokasinya.”

Mendengar keterangan Purwanto itu, aku mencoba mencermati dalam pikiranku dimana lokasi hotel yang dimaksud oleh temanku tadi. Aku mengangguk – anggukkan kepalaku.  Sepertinya aku tahu lokasi hotel itu.

“Kamu coba saja melamar kerja di hotel itu, Fat. Siapa tahu masih belum diisi oleh orang lain. Tapi aku juga kurang tahu bagian apa yang dibutuhkan di sana,” sambung Purwanto, “tapi....”

“Tapi apa, Pur?”

“Kalau kata adik temanku itu, hotelnya agak bagaimana gitu. Hotel itu termasuk bangunan tua. Jadi terkesan....”

“Terkesan apa? Seram? Atau angker maksudmu?”

“Ya tidak, Fat. Kalau angker mana mungkin ada orang yang mau menginap di sana. Desain bangunan tempo dulu, auranya agak gimana gitu katanya, sih.”

“Ah, itu hanya perasaan orang – orang saja mungkin.”

Purwanto berdiri mendekati sangkar burung kenari milikku. Dia bersiul memancing supaya si burung kembali berkicau. Tetapi usahanya gagal, si burung hanya melompat – lompat, tanpa mengeluarkan kicauan. Tetapi saat Purwanto kembali duduk, si kenari kembali berkicau.

“Ah, burungmu tampaknya tidak ramah denganku, Fat. Lalu, selama ini kamu belum dapat panggilan kerja?” sambungnya.

“Ada, sih. Sebuah toko barang – barang elektronik. Toko besar, tetapi jauh di kota seberang. Ibuku kurang setuju jika aku kerja terlalu jauh. Jadi aku tidak datang saat dipanggil ke sana untuk wawancara,” jawabku.

“Wajar saja kalau ibumu kurang setuju, hanya kamu yang tinggal bersamanya di rumah ini. Kamu coba saja lowongan yang aku beritahu tadi. Siapa tahu rejeki kamu di situ,” ujar Purwanto sambil tersenyum padaku.

Seorang wanita mengendarai sepeda motor bebek masuk ke pekarangan rumahku. Ibuku sudah datang dengan membawa barang belanjaan dari pasar. Aku segera datang menghampirinya untuk membantu menurunkan hasil belanja ibuku yang didominasi oleh sayur – mayur.

“Lho, ada Mas Purwanto, to? Sudah lama?” sapa ibu.

“Belum lama juga kok, Bu,” balas Purwanto.

“Ayo, masuk dulu. Ibu buatkan kopi,” ibu menawarkan.

Mboten usah repot – repot, Bu. Saya mau pamit pulang,” tutur Purwanto sambil menaikkan resleting jaketnya.

“Loh, ibu datang kok malah pulang, to?” sahut ibu sembari melepaskan helm dari kepalanya.

“Iya, Bu. Saya juga pagi tadi pulang kerja, kemarin masuk shift malam. Saya permisi dulu, Bu. Rifat, aku pulang dulu.”

“Baik, Pur. Terima kasih infonya tadi. Langsung pulang ke rumah dan lekas istirahat. Gak usah mampir – mampir lagi.”

Purwanto lantas berbalik badan, melangkahkan kakinya meninggalkan rumahku.

 

 

Bersambung.

 
Part 2
Part 3
Part 4
Part 5
Part 6
Part 7
Diubah oleh galih17 17-03-2020 02:08
nona212
indrag057
soulo
soulo dan 40 lainnya memberi reputasi
37
8.2K
63
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Komunitas Pilihan