Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

mumugoAvatar border
TS
mumugo
Antara Aku dan Nenek Pakande
Antara Aku dan Nenek Pakande

           
Antara Aku dan Nenek Pakande




Nenek Pakande adalah salah satu urban legend yang sangat dikenal oleh masyarakkat yang ada di desa Pattongko, Kecamatan Sinjai Tengah, Kabupaten Sinjai, Provinsi Sulawesi Selatan. Sebenarnya Nenek Pakande mempunyai banyak versi cerita di Sulawesi Selatan. Tapi masih mempunyai ciri yang sama yaitu seorang nenek kanibal yang menculik dan memangsa orang. Cerita kali ini berdasarkan cerita turun temurun yang ada di Desa Pattongko. Ini adalah pengalaman seseorang yang tak ingin diketahui identitasnya.



“Kakak harus pulang! Bapak kena stroke, dia terus cari kakak.”

Sebuah pesan singkat dari adikku yang harus membuatku kembali ke desa tempat kelahiranku. Sudah 16 tahun aku meninggalkan desa itu. Ketika masih berumur 7 tahun, adik ibuku mengajakku tinggal bersamanya di provinsi yang sangat jauh. Selain karena dia tidak mempunyai anak, dia yang akan mengadopsiku. Aku setuju saja.

Kembali di desa, aku sudah tidak ingat lagi dengan orang-orang yang ada. Sudah terjadi banyak perubahan di desa ini. Listrik sudah ada, jalanan sudah baik, dan banyak hal yang berubah. Tapi tidak dengan satu hal ini.

“Dek, kakak bosan nih. Ajakin ke tempat wisata dong.”

Bapak sudah baikan dan sudah tidak lumpuh lagi. Tapi aku masih ingin berlama-lama di desa ini. Aku bersama adikku mengobrol santai di teras rumah.

“Ada sih, tapi jaraknya jauh. Kakak masih ingat dengan Batu Pahua?”

“Hum...batu besar yang disamping pemakaman umum itu? Iya, aku masih ingat.”
“Bagaimana kalau kita kesana saja?”

Aku langsung setuju. Terakhir aku kesana yaitu beberapa bulan sebelum aku dipanggil tante. Jadi sudah tidak ingat lagi jalannya. Tapi sosok itu selalu terbayang-bayang di pikiranku.

Suasana kompleks pemakaman itu masih seperti yang terakhir kali kulihat. Cuma makamnya saja yang bertambah banyak. Cuaca memang terik tapi entah mengapa tubuhku seperti terkena kipas angin. Mungkin karena aku yang lagi tidak enak badan pada saat itu.

Jalan setapak menuju batu itu begitu gelap, rimbunan pepohonan mengelilingi jalan. Di ujung sana, aku melihat sebuah batu besar yang mengagumkan. Kami mulai memanjat batu tersebut dengan penuh canda tawa untuk menghilangkan rasa takut. Akhirnya kami sampai di puncaknya. Angin sepoi-sepoi langsung menyambut kami berdua. Pemandangan sangat indah. Tidak ada yang berubah di batu ini.

Dibalik semak belukar, sesuatu hal menarik perhatianku. Aku mendekati semak tersebut dan pikiranku langsung kembali 16 tahun yang lalu.

Situasinya sama. Aku yang masih berumur 7 tahun mendekati semak tersebut dan kemudian melihat seorang nenek sedang duduk di balik semak. Nenek itu melihatku dan memanggilku. Aku langsung mendekatinya dan bertanya apa yang dia lakukan disini. Dia menjawab kalau dia cuma ingin bersantai dan melihat pemandangan di batu ini. Tiba-tiba kakak sepupuku menyentuh pundakku. Aku terkejut dan membalikkan badan. Dia bertanya apa yang kulakukan disini dan aku menjawab kalau aku melihat seorang nenek sedang duduk disini. Aku menunjuk tempat terakhir dia duduk dan sosok nenek itu menghilang. Kakak sepupuku terkejut dan langsung mengajakku pulang. Aku tidak mengerti apa yang terjadi dan mengapa kakak sepupuku dimarahi dan ditampar oleh bapakku.

Antara Aku dan Nenek Pakande


Hingga sekarang, aku masih bertanya-tanya siapa nenek itu dan mengapa bapak begitu marah. Adikku memanggilku dan mengajakku duduk di sisi batu yang terhindar dari sengatan sinar matahari. Dia kemudian bercerita mengenai batu ini dan perhatianku langsung tertuju ketika dia menceritakan kisah tentang seorang nenek vampir yang tinggal di batu ini. Nenek itu bernama Nenek Pakande dan seorang yang kanibal. Tapi cerita itu hanya dongen dan tidak nyata.

Kepalaku langsung pusing dan ribuan pertanyaan memasuki kepalaku. Sangat aneh. Tapi hal itu baru permulaan.

Aku terbangun di sebuah rumah yang sangat sederhana. Mirip rumah-rumah yang ada digambar buku sejarah. Seorang ibu-ibu membangunkanku.

“ Kamu sudah bangun?” tanya ibu-ibu itu dengan lembut.
“Aku dimana?” aku berbalik bertanya.

Ibu-ibu itu hanya diam kemudian menunjuk ke arah pintu. Sepertinya dia ingin menunjukkan sesuatu. Aku kemudian bangun dan melihat seorang nenek berpakaian lusuh menatap kearahku. Aku sepertinya pernah melihat nenek itu tapi dimana? Masih  belum bisa mencerna semuanya, aku langsung ditarik oleh nenek itu meninggalkan rumah. Cengkramannya sangat kuat dan kukunya sangat panjang sehingga melukai pergelangan tanganku. Aku terkejut. Ketika keluar dari rumah itu, aku sudah berada di Batu Pahua bersama dengan nenek itu.

“Apakah kau Nenek Pakande?” tanyaku pelan.

Dia hanya tersenyum simpul dan membuatku pucat pasi. Dia akan memakanku? Aku akan tewas? Tapi mengapa aku bisa ada di sini? Adikku dimana?

Belum selesai aku mendapatkan jawaban, nenek itu kemudian menarikku lagi menuruni sebuah tangga batu yang tak pernah aku jumpai sebelumnya di batu tersebut. Di ujung tangga, sebuah gua dengan mulut yang sangat lebar menyambut kami berdua. Aku menjadi curiga karena aroma amis darah memenuhi indra penciumanku. Dan benar saja. Gua itu adalah tempat Nenek Pakande mengurung korbannya dan aku pasti adalah korban selanjutnya. Suara orang meminta tolong menggema di dalam gua itu. Aku melihat sepuluh orang di dalam gua itu. Mereka sangat pucat dan sangat ketakutan.

Aku heran Nenek Pakande tidak memasukkanku ke dalam kurungan bersama orang-orang tersebut. Cuma menyuruhku duduk di pojok gua. Aku hanya mengangguk pelan dan berjalan menuju pojok gua itu. Aku bergidik ngeri karena lantai gua itu sudah dipenuhi potongan tulang belulang serta belatung. Aku tak berani melawannya karena aku yakin akan menimbulkan masalah padaku jika aku berani melawan.

Dengan mataku sendiri, aku melihat Nenek Pakande mulai menarik salah seorang korban keluar dan melucuti pakaian korbannya, dia memamerkan gigi-giginya yang tajam dan mengerikan dan mulai menggigit leher serta mengisap darah si korban yang tak berdaya. Aku menjerik histeris melihat kejadian mengerikan itu, begitu pula dengan si korban yang sudah mulai mengejang. Darah sudah habis dan si korban mulai kurus kerempeng tapi dia belum puas dengan itu. Dia mulai mengoyak kulit dan daging sang korban.  Usus berhamburan, daging terkoyak, tangan dan mulut penuh dengan noda darah. Nenek Pakande sangat rakus memakan daging segar itu. Hanya suara tulang yang dipatahkan menggema di gua mengerikan itu.

Tubuhku sudah melemah dan tak bisa bergerak lagi setelah melihat kejadian mengerikan itu. Nenek pakande melirik kearahku dan tersenyum. Dia berjalan pelan kerahku dan menunjukku. Aku semakin panik dan air mataku makin mengalir deras. Dia semakin dekat, hembusan napasnya semakin kuat, aroma darah semakin menusuk. Aku memejamkan mata dengan kuat dan tiba-tiba semua aroma itu menghilang.
 
Aku mendapati tubuhku sedang diikat di kolong rumah dan kaki yang sudah dipasung. Aku terkejut dan menjerit minta tolong. Seisi rumah langsung turung ke kolong dan mengerumuniku.

“Kau sudah sadar?” tanya mereka.
“Memangnya aku kenapa?” aku kembali bertanya  dengan heran. Adikku kemudian membuka suara.

“Ketika berada di Batu Pahua, kakak pingsan dan segera ditolong. Tetapi ketika sadar, kakak tertawa seperti suara nenek-nenek. Kakak jadi terlihat gila. Kakak melukai tanganku. Lihat ini bekasnya. Oleh karena itu, kami mengikat kakak disini.” Aku terkejut melihat bekas luka di lengan adikku yang sangat luas.

“Sudah berapa lama aku disini?” tanyaku lagi
“Sudah 14 hari.” Jawab mereka serentak.

Aku semakin terkejut. Apakah ini cuma mimpi atau apa? Tiba-tiba aku langsung menjerit ketika melihat sosok Nenek Pakande berdiri di belakan bapakku.

Sinjai, 19/03/2020
Saeful Musawwir
Diubah oleh mumugo 19-03-2020 06:28
indrag057
sebelahblog
pulaukapok
pulaukapok dan 16 lainnya memberi reputasi
15
4.2K
19
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan