Kaskus

Story

analailaAvatar border
TS
analaila
Mantan Kembali
PERTEMUAN KEMBALI

Sumber gambar : PixabayMantan Kembali


Daun-daun berguguran, kembang kamboja pun berjatuhan di atas pekuburan. Senja menguning dengan sempurna lalu bertaut pada lembayung jingga. Sepi, hanya sayup angin yang menari-nari.

Aku masih di sini, menumpahkan rindu pada makam yang membisu. Tiga tahun setelah kepergiannya, masih saja menyisakan luka. Bukannya tidak meng-ikhlaskan dia menemui sang pencipta, hanya saja cinta ini adalah rasa yang begitu sulit untuk tiada.

“Mas Rey, apa kau juga merindukanku di sana?” lirihku memejamkan mata yang mulai memanas. Nisan putihnya ku peluk,  seperti dulu aku memeluk tubuh ber-aroma mint miliknya. Setetes bening terjatuh dari sudut netraku, lalu setelahnya hujan menderas mengaliri pipi. Selalu saja begitu, aku tidak tahu kapan bisa bangkit dari kesedihan ini. Setelah kepergiannya hatiku tak lagi utuh, sebab yang separuhnya lagi telah pergi.

*****
“Mama…!” Teriakan Ganis sontak membuatku terkejut. Aku yang sejak tadi duduk di bangku Taman sambil membaca novel, setengah berlari menghampirinya. Putri kecilku itu menunjukkan seekor ulat bulu yang membuatnya begitu ketakutan. Gundukan tanah merah yang telah dicetak menjadi bulatan mainan oleh Ganis seketika hancur terinjak kaki tak sengaja. Aku yang sejak dulu phobia melihat ulat berbulu tebal nan hitam reflek bergidik.

“Lari…!” Aku meraih lengan Ganis, kami berdua terbirit ketakutan. ‘Buk’ tetiba ada tubuh yang tak sengaja ku tabrak. Sosok lelaki bertubuh tinggi berdiri tepat di depanku. Mataku membulat ketika mengenali wajah yang tak asing itu.

“Dirga . . .?”  Hampir tak percaya jika sosok itu adalah dia.

“Bening? ini beneran kamu?”

“Iya, kamu udah lupa? Aku Bening!” senyumku terkembang, tak menyangka akan bertemu kembali dengannya setelah sekian lama. Ada desir halus yang menyusup ke dasar relung. Perasaan yang tak bisa dijelaskan, entah apa yang jelas ini bukan lagi tentang cinta. Mata elang itu masih sama, selalu menatapku penuh cinta. Kenyataannya cinta tak selalu bisa menyatukan dua insan, sebab takdir tentang penyatuan mutlak hanya Tuhan yang menentukan. Ada letupan bahagia di dalam dada. Mungkin ini hanya semacam rindu. Dulu aku pernah menitipkan kepingan hatiku padanya, namun harus berakhir begitu saja. Sebab Tuhan telah menentukan jalan yang berbeda.

“Aku pangling liat kamu pake jilbab. Kamu makin cantik Ning!”

“Mas Rey, dia suka kalo aku pake jilbab.”

“Oh baguslah. Aku sudah tau dia lelaki baik.” ungkapnya tenang, lalu tubuhnya berjongkok sejajar dengan Ganis. Perlahan jemari itu mengusap lembut puncak kepala Ganis.

“Anak manis, namanya siapa?  Kenalan yuk?” Dirga menyodorkan tangannya tepat di hadapan putriku.

Lengan mungil itu menyambutnya tanpa ragu, “Ganisa Naraya, panggil saja Ganis.”

“Kalau begitu, panggil saya Om Dirga.Mereka saling menatap, saling melempar senyum. Perkenalan yang begitu manis.

“Kamu bukannya lagi meneruskan study di Qatar?” tanyaku sejurus kemudian

“Sudah selesai, aku baru pulang seminggu yang lalu. Anakmu sudah besar ya! Berapa usianya?”

“Enam Tahun, bulan ini dia masuk sekolah SD.”

“Gak nyangka kamu udah punya anak sebesar ini. Sudah tujuh tahun yang lalu kamu menikah. Namun aku merasa hal itu barusan terjadi kemarin.” Netra hitam itu kembali menatapku, hanya sebentar setelah itu ia lebih memilih memperhatikan Ganis.

“Ma, Ganis mau main itu.” Dia menunjuk ayunan yang tak jauh dari tempat kami berdiri.

Aku mengangguk meng-iyakan, “boleh tapi pelan-pelan ya, Nak!”

“Sama Om aja ya cantik main ayunannya.”

Perempuan kecil dengan rambut kepang itu mengangguk. Keduanya berlari riang menuju ayunan.

Aku memilih duduk di bangku di bawah pohon mahoni, sambil memperhatikan keduanya. Hembusan angin membuatku nyaman dan rileks. Ingatanku mengembara pada masa di mana aku pernah dekat dengan sosok berwajah teduh itu.

Dulu kami adalah sepasang kekasih, Dirga sangat mencintaiku. Hubungan kami sudah berjalan selama empat tahun, namun aku memilih merhasiakan hubungan itu dari orangtuaku.
Aku tahu mama tak pernah menyukai Dirga, itu karena Dirga berasal dari keluarga yang punya segudang masalah. Bapaknya adalah seorang pemabuk yang gemar berjudi dan suka main wanita. Isterinya banyak. Kerap dikejar renternir karena terjerat banyak hutang. Terakhir aku mendengar kabar bapaknya Dirga dipenjara karena kasus perampokkan, setelah itu aku tidak tahu lagi. Bu Aisyah, yang tak lain ibunya Dirga. Setahu saya beliau adalah isteri dan ibu yang baik, aku kagum pada kesabaran wanita berwajah oval itu. Meski hanya baru beberapa kali bertemu saat Dirga mengajakku ke rumahnya, hubunganku sudah sangat akrab dengan perempuan itu. Sikapnya luwes, aku selalu merasa nyaman di dekatnya. Sedangkan Dirga, dia sosok cerminan ibunya, berwajah tampan berhati malaikat. Meski keadaan ekonominya tidak memadai, dia bisa meneruskan kuliah dengan beasiswa yang berhasil diraihnya ketika itu.

Baik, tampan, pintar, menjadikannya idola setiap wanita di kampus. Hampir semua wanita membicarakan tentangnya, bahkan Melisa sahabatku begitu tergila-gila. Sayangnya sang idola tidak mudah untuk jatuh hati. Sikapnya cuek dan acuh pada setiap wanita, tapi tidak denganku. Aku masih ingat ketika itu Melisa memaksaku untuk memintakan nomor hpnya, dan saat diam-diam Ia belajar menulis puisi  demi untuk bisa mendekati Dirga yang memang seorang pujangga. Aku tahu Dirga sangat menyukai dunia literasi.Goresan puisi dan aksaranya mampu membuat siapapun diam dan terpana, termasuk aku juga. Banyak perempuan cantik yang menginginkannya, tapi si mata sabit itu malah jatuh cinta padaku. Saat itu aku merasa menjadi wanita paling beruntung di dunia. Kisah cinta kami tidak berjalan mulus. Ayah  menjodohkanku dengan lelaki asing yang tidak kukenal sebelumnya.

Setelah wisuda dan kami semua bergelar S1. Malam itu aku mengajaknya bertemu di suatu tempat. Pertemuan itu menjadi ahir dari hubungan antara aku dan Dirga menjadi sepasang kekasih.

Malam itu kami duduk di hamparan rumput yang menyerupai permadani alam. bintang-bintang yang berkerlip di atas sana seolah menjadi atap. Indahnya malam ini justru berbanding terbalik dengan perasaanku.

“Ga, aku dijodohin.” Aku memulai pembicaraan dengan suaraku parau.  Wajah lelaki yang duduk di sampingku terkejut lalu memucat.

“Serius? Ini lagi gak bercanda, kan?” Tangannya menggengam jemariku, erat. Aku bakal merindukan saat-saat seperti ini, saat mata sabitnya menatapku penuh cinta, genggaman yang menguatkan. kebersamaan yang melambungkan angan.

“Aku serius, aku sudah menolaknya. Namun apa dayaku? tanggal pernikahannya sudah ditentukan. Aku dipaksa untuk menjalaninya.” Kaca-kaca di mataku yang sejak tadi menggenang kini berjatuhan. Dia memelukku, aku terisak di dada bidangnya.

“Tanggal berapa hari pernikahannya?” Dirga melepaskan pelukan, matanya terpejam, menahan denyutan nyeri di hatinya. Hening, untuk beberapa saat hanya suara angin bergesekan dengan daun pohon.

Aku meraih tas kecil, mengeluarkan surat undangan berwarna merah muda, lalu ku sodorkan ke arahnya, “tanggal 17 bulan depan.”

Mata itu mengerjab, menahan genangan hangat agar tidak terjatuh dari sudut netranya. Dia meraih surat dengan cepat, membacanya lalu menatapku nanar. Aku mengalihkan pandanganku ke atas, menatap bintang yang berkerlip di langit yang gulita. Jubah malam menutup gelap dengan sempurna, bahkan pekatnya sampai kurasakan ke dasar jiwa.

“Jika di dunia ini Tuhan tidak menakdirkan kita untuk bersama. Aku akan meminta pada-Nya agar kita disatukan di kehidupan berikutnya,” suaranya bergetar mungkin tercekat, mata tajamnya memerah. Aku bisa merasakan kepedihannya yang sama denganku.

“Aku tak menyangka hubungan kita berakhir sampai di sini, Ga.” Dadaku terasa sesak saat menahan denyut nyeri di dalam sanubari.

“Kita masih bisa menjadi teman kan, Ning?” ujarnya sambil mengacungkan jari kelingking.

“Teman.” Aku menautkan jari kelingkingku dengan jari kelingkingnya. Kami tersenyum getir.Hatiku tercabik. Perih.

“Apa kamu akan hadir di acara pernikahanku?” Tatapan kami beradu dalam sendu.

“Tentu, aku akan menjadi saksi terindah di sana. Aku ingin melihat kamu menjadi cinderella di hari pernikahanmu, akan berusaha bahagia meski bukan aku yang menjadi pangerannya,”  lirihnya pelan, “setelah hari pernikahanmu, esoknya aku akan pergi!”

“Kemana?”

“Aku dapat beasiswa untuk melanjutkan S2 di Qatar. Sebuah perusahaan di negara itu juga menerima lamaranku. Aku akan belajar sambil bekerja.”

“Apa kamu juga akan meninggalkan Ibumu?”

“Tidak, Ia akan ikut serta.”

Malam itu kami pulang bersama, tak ada lagi sesuatu yang kami bahas. Mulut kami seolah terkunci, dengan hati yang sama hancurnya. Terkadang takdir tak bisa diduga, tak ada pilihan untuk kami selain harus menerima kenyataan pahit yang telah digariskan. Seberapa pun besar cinta yang kita miliki, jika Tuhan tak menakdirkan maka semuanya selesai sampai di sana.

“Mama …!” Teriakan Ganis membuyarkan lamunanku. Anak itu berpegangan erat pada tambang ayunan, sementara Dirga mendorong ayunannya dari belakang. Keduanya berwajah ceria, aku beranjak berjalan menghampirinya.

“Sudah sore, pulang yuk!” ajakku pada Ganish anak itu masih terlihat enggan, “nanti kita main lagi ke sini,” bujukku perlahan.

“Oke, Ma. Pulangnya beli ice cream ya?”

Aku menganguk, “es krim vanilla, Kan?” ujarku mencubit ujung hidungnya. Ganis tersenyum mengiyakan.

“Kalian pulang berdua saja? Apa Reyhan belum menjemput?” Entah mengapa pertanyaan Dirga seperti belati yang menghunjam hatiku. Aku lupa bahwa dia tak pernah tahu perihal kematian Mas Rey.

“Kata Mamah, Papa sudah ada di Surga, Om,” tutur Ganis polos. Dirga terperanjat mendengar ucapan yang keluar dari mulut gadis kecilku.

“Ning, Reyhan meninggal?” Manik hitamnya menatapku lekat, menunggu jawaban.

“Dua tahun yang lalu.” ucapku sedatar mungkin, meski hatiku rasanya terhunjam.

“Dia sakit Ning?”

“Kecelakaan. Maaf aku harus pulang sekarang, Ga.” Cepat aku meraih lengan Ganis, melenggang dari hadapannya membuatku terasa lega. Tanganku mengusap butir bening yang terjatuh begitu saja.

“Bening, tunggu.” Derap langkahnya menyusul cepat. Menghentikan langkahku.

Lelaki bertubuh atletis, berwajah teduh itu memeluk Ganis. “Om ingin jadi Ayah untuk Ganis, boleh?”

Penuturannya membuat nafasku tertahan, mata bening Ganis menatapku. Entah meminta persetujuan atau justru ingin menolaknya.

“Mah, boleh ya? Ganis ingin punya Ayah.” kata itu meluncur begitu saja dari mulut kecilnya. Rasanya seperti godam yang menghunus jantung. Aku menggeleng. Wajah polos itu menggurat kecewa.

“Kamu berhak mendapatkan yang lebih baik dari kami.”

Manik hazel itu melotot, seolah tak percaya dengan kata yang ku lontarkan barusan.

“Aku hanya ingin menjadi Ayah untuk Ganis. Bagiku tidak ada yang lebih dari itu, Ning!” ungkapnya penuh permohonan, “aku masih mencintaimu.”.

****



Ana Bintu Nahl
Diubah oleh analaila 30-03-2019 00:06
ginanisa7Avatar border
ginanisa7 memberi reputasi
6
789
15
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan