Pengalaman Horor Sebelum Misteri Hantu Pak Dasi, dan Ambi Ara Musnah Oleh Jaman!
TS
darmawati040
Pengalaman Horor Sebelum Misteri Hantu Pak Dasi, dan Ambi Ara Musnah Oleh Jaman!
Spoiler for KaskusKreator:
Assalamualaikum
Hallo, GanSist. Jumpa lagi dengan ane dalam event horor yang diadakan oleh Kaskus tercinta kita. Bay the way,cerita horor itu menakutkan banget, kan, ya? Tapi, meski begitu, ada banyak sekali yang gemar membaca dan mendengarkan sesuatu yang horor. Tidak terkecuali ane sendiri.
Nah, dalam kesempatan meramaikan event kali ini, ane akan bercerita tentang sosok mistis yang kerap menjadi cerita paling menakutkan di desa tempat tinggal ane. Tapi, sebelum melanjutkan cerita horornya, ane sedikit mejelaskan tentang bagaimana sosok mistis tersebut.
Laju, Kecamatan Langgudu Kabupaten Bima, Pulau Sumbawa, Propinsi Nusa Tenggara Barat, merupakan tempat kelahiran ane. Berada di pedalaman dengan jarak kurang lebih satu setengah jam perjalanan menggunakan roda dua menuju Kota Bima.
Sebagai anak kelahiran tahun 1990 an, tepatnya, 1993. Ane pernah merasakan bagaimana hidup tanpa listrik. Ditambah dengan suasana kampung yang masih dikelilingi oleh hutan dan gunung-gunung. Jalanan berbatu, serta jauh dari keramaian kota.
Di setiap daerah memiliki cerita mistis tersendiri. Begitu juga di derah ane. Cerita mistis atau horor itu kerap membuat ane dan teman-teman merasa ketakutan. Konon, di kampung ane ada yang namanya hantu Pak Dasi dan Ambi Ara. Sosok Pak Dasi sendiri merupakan seorang laki-laki berbadan besar. Tokoh antagonis yang mencuri atau menyembunyikan anak-anak yang nakal. Sementara Ambi Ara, ialah hantu perempuan yang amat jahat dan buruk rupa. Ia adalah pemakan manusia. Biasa tinggal di pohon-pohon besar, bebatuan, juga di hutan belantara. Bisa juga disebut Mangge'e (Penunggu).
Adanya hantu Pak Dasidan Ambi Ara, kerap dijadikan alasan oleh orangtua jaman dulu untuk melarang anak-anaknya bermain di tempat yang jauh pada siang atau malam hari. Akan tetapi, meski demikian, ane dan teman-teman seakan tak peduli. Hingga suatu malam, terjadi sesuatu yang menegangkan.
Quote:
"Hei, tunggu aku!" teriak ane pada beberapa teman yang lebih dulu turun dari rumah panggung.
"Cepetan! Nanti kami tinggal, tahu, rasa kamu!" Seperti biasa, salah seorang teman menakuti dengan ancaman konyol itu.
Bukan pertama kali kami seperti itu. Setiap pulang mengaji selalu saja saling takut-menakuti. Terlebih, adanya dua sosok hantu yag seringkali diceritakan oleh orangtua kami. Tempat mengaji pun cukup jauh dari rumah. Meski jalannya lewat jalan raya, di mana kendaraan bisa ditemukan dengan mudah, namun tetap saja, keadaan saat itu tidak seramai dan seterang jaman now.
"Siap-siaplah, sebentar lagi kita akan melewati pohon wuwu," ujar Indah, teman paling tua saat itu.
Serentak kami mencopot sandal untuk siap berlari.
Pohon yang di maksud yaitu, pohon besar nan tinggi yang berada di sebelah kanan jalan sebelum rumah kami. Entah apa nama pohon itu dalam bahasa Indonesia, kami hanya tahu dan menyebutnya Pohon Wuwu. Selain besar dan tinggi, pohon itu memiliki buah yang aneh. Saat buahnya mulai tua alias matang, semua biji dalam buah tersebut akan tampak sendiri seperti gigi-gigi yang siap menerkam orang.
Kami berjalan dengan tangan bergandengan. Memastikan tidak ada yang tertinggal di belakang. Semakin mendekati pohon wuwu, suasana terasa mencekam. Bulu kuduk kami merinding. Langkah kian cepat, berharap tidak mengalami sesuatu yang buruk.
Tapi tidak! Yang dikhawatirkan terjadi juga. Saat melewati jalan dekat pohon itu, kami semua menginjak sesuatu. Seperti isi perut. Terasa lembek dan licin. Membuat beberapa dari kami terjatuh. Kemudian bangkit dan berlari sekuat tenaga. Kami bahkan tak sadar ada yang tertinggal. Mau tidak mau, kami kembali untuk menarik tangannya, kaki teman yang tertinggal seakan berat, sampai-sampai kami menariknya cukup kuat. Dah, berhasil.
"Ah! Gila! Apa yang kita injak tadi?" Masih dengan napas terengah-engah ane bertanya.
"Perut! Ya, aku rasa itu isi perut," timpal Dian.
"Apa iya, itu perut Ambi Ara? Dia mau memakan kita semua?" tanya Heni.
"Oh, tidak! Aku tidak mau melewati jalan itu lagi," sahut yang lainnya.
"Hey, yang benar saja?! Apa kamu akan berhenti mengaji?" tanyaku serius.
"Tentu saja tidak!" Serentak mereka menjawab.
"Lalu?" Ane kebingungan.
"Kita akan pindah guru ngaji," ujar mereka mantap.
Ya, semenjak kejadian itu. Kami pindah guru mengaji. Tidak lagi melewati jalan horor itu di malam hari.
Seminggu berlalu. Setelah memutuskan pindah guru mengaji, kami kembali dihadapkan dengan sesuatu yang cukup menakutkan. Ane, teman-teman seumuran, dan saudara perempuan ane juga temannya kerap bermain bersama.
Saat itu, sepulang dari mengaji. Kami memutuskan untuk bermain petak umpet. Permainan dimulai usai pulang mengaji. Sekitar pukul 21:17. Kami berkumpul di tempat biasa. Di rumah salah seorang teman yang dekat dengan jalan raya. Ketika hitungan dimulai, ane dan teman-teman lari berpencar. Sembunyi di setiap sudut yang gelap. Ada yang berdiri di balik pohon pisang, di kolom rumah panggung, di tempat-tempat gelap lainnya.
Kali ini, Sepupuku yang bernama Kris yang menjaga. Ia mulai mencari-cari kami. Jumlah yang ikut bermain petak umpet cukup banyak. Ada Dewi, Desi, Mega, Heni, Kris, Indah, Dian, Widia, Sri, Endang, Qida, Mira, Sadrin, Herfin, Anfar, Lisna, Susi,dan masih banyak lagi.
"Dewi pan!" Ane mendengar teriakan Kris yang menemukan Dewi. Selanjutnya, nama Endang, dan Lisna. Diikuti yang lainnya. Sampai kami semua memutuskan menampakkan diri dengan sengaja. Karena, Kris menyerah untuk mencari. Akan tetapi, salah satu dari kami tidak terlihat.
"Kak Widia, mana?" tanya, Kris.
"Eh, iya. Tadi aku lihat sembunyi di kolom rumahnya Abu Asia," sahut ane.
"Ayok, kita cari!"
Kami memutuskan mencari Kak Widia. Namun, setiap sudut yang kami datangi, selalu kosong dan tidak menemukan siapa-siapa.
"Bagaimana? Kalian ketemu Widia?" tanya Lisna yang merupakan sepupu Kak Widia.
"Nggak ketemu."
"Apa, iya, sudah balik ke rumahnya? Biar aku cari." Ane berlari ke rumah Kak Widia. Melewati gang kecil nan gelap. Gang tersebut juga terdapat pohon ceremai yang kata orang ada penunggunya. Bulu kuduk ane berdiri. Merinding dan merasa takut.
Rumahnya kak Widia bersebelahan dengan rumah ane. Akan tetapi, tak ada siapa pun. Orang tuanya tidur di ladang, begitu juga orangtua ane. Ya, kami adalah tetangga dekat. Tidak hanya di perkampungan, melainkan juga di ladang.
"Kak Widia nggak ada di rumah. Rumahnya terkunci dari luar," jelas ane pada teman-teman.
Entah sudah pukul berapa. Kami tidak melihat jam. Tapi suasana sudah sangat sepi. Teman-teman kembali ke rumah masing-masing tanpa menemukan Kak Widia. Lisna, ane dan Sri, saudara perempua ane, memutuskan pulang juga. Lisna menginap di rumah ane seperti biasa. Kak Widia juga. Tapi malam itu, ia menghilang entah ke mana.
Ane, Lisna dan Sri, tidak bisa tidur nyenyak. Kami memikirkan Kak Widia.
"Ra, apa iya, Widia diculik sama Pak Dasi?" tiba-tiba Lisna terbangun dan bertanya demikian.
"Ha? Yang benar saja? Memangnya hantu Pak Dasi bener-bener ada?"
"Bisa saja," timpal Sri yang juga ikut terbangun.
"Terus bagaimana? Kak Widia nggak akan kembali?" tanya ane lagi.
Hening. Tidak ada yang menyahut. Air mata kami tiba-tiba berderai. Hingga pagi menjelang, kami tak dapat terpejam.
Matahari belum tampak, kami bertiga memutuskan mencari Kak Widia di kolom rumah panggung Abu Asia, tempat di mana ia sembunyi malam itu. Ya Tuhan, percaya atau tidak, kami menemukannya. Ia membukuk di dekat kandang ayam.
"Widia!" teriak Lisna.
Ia terbangun. Menatap kami heran.
"Aku di mana?" tanyanya sambil meraba keadaan sekitar.
"Kami mencarimu semalam, tapi nggak ketemu. Sekarang?" Kami terherang-heran.
"Kalian bahkan tidak datang ke sini," ucapnya.
"Apa? Kami semua mencarimu di sini. Kamu nggak ada!" bantah Lisna. Ane dan Sri hanya melongo.
"Jika benar, aku pasti mendengarnya. Kalian membiarkanku tertidur di sini," elak Kak Widia.
"Lalu, kenapa tidak ke rumah?" tanya Sri.
"Iya, Kak, kok, nggak ke rumah?" timpal ane.
"Aku tidak menemukan jalan keluar--,"
"Jalan keluar?" serentak kami bertanya.
"Ya, semalam sangat gelap dan menakutkan. Aku bahkan tidak bisa bicara," ungkapnya membuat kami semakin heran dan saling berpandangan.
Misteri hantu Pak Dasi dan Ambi Ara kini tak lagi terdengar. Kampung ane sudah ramai. Hutan-hutan telah diubah menjadi kebun. Suasana malam tidak lagi mencekam. Tidak ada lagi yang takut akan dua hantu tersebut. Yang ada, kami takut kepada sesama manusia. Karena kejahatan manusia lebih ngeri daripada wajah Ambi Ara dan Pak Dasi. Ya, walau ane belum pernah lihat seperti apa wajah kedua makhluk gaib tersebut.
End
Note: Pengalaman Pribadi sekitar tahun 2002.
Ada banyak cerita hantu di daerah ane. Namun, hanya dua itu saja yang paling ane ingat.
Penulis: @darmawati040
Bima, 16 Maret 2020
081364246972 dan 19 lainnya memberi reputasi
20
1.9K
Kutip
40
Balasan
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Urutan
Terbaru
Terlama
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru