- Beranda
- Komunitas
- News
- Berita dan Politik
Cerita WNI di Tengah Penguncian Italia Akibat Corona


TS
gabener.edan
Cerita WNI di Tengah Penguncian Italia Akibat Corona
https://m.cnnindonesia.com/gaya-hidu...kibat-corona/2

Sama seperti biasanya, jadwal perkuliahan saya lumayan padat hari itu. Di waktu istirahat saya dan teman-teman berkumpul di kantor Dottorandi (kandidat Doktor) untuk makan siang bersama.
Tidak ada kecurigaan bahwa hari tersebut berbeda dengan hari lainnya, sampai salah satu rekan postdoc kami datang dan membawa kabar terbaru: ada desas desus bahwa universitas akan ditutup.
Kami mengintip ke koridor dan memang dosen-dosen dan administrator terlihat sibuk. Meskipun belum ada kabar resmi, kami langsung mengambil ponsel dan mengecek berita di internet. Memang ada spekulasi dari pemerintah bahwa sekolah dan universitas mungkin ditutup, meskipun kabar terlengkap baru akan diberitakan sore harinya.
Saya tidak terlalu berpikir banyak tentang desas desus tersebut karena tahu bahwa regione saya, Toskana, sudah berjuang keras agar kehidupan tetap berlanjut normal.
Tiga kota besar di Toskana: Pisa, Firenze, dan Siena merupakan daerah yang sangat populer dengan turis mancanegara. Bukan hanya anggur, daerah ini terkenal sebagai tempat kelahiran masa Renaisans di benua Eropa. Dengan latar belakang seperti itu, tentunya pariwisata merupakan industri yang sangat penting untuk Toskana.
Sepinya turis mancanegara yang memenuhi jalan-jalan di kota juga saya anggap dikarenakan musim dingin yang belum berakhir. Biasanya, turis-turis mulai berdatangan setelah April.
Setelah semua sesi perkuliahan selesai, saya memutuskan untuk menyiapkan bahan-bahan belajar di rumah kalau-kalau dekrit tersebut diluluskan. Isu yang saya dengar mengatakan bahwa penutupan sekolah akan sampai tanggal 15 Maret 2020, yang berarti kami mungkin terkunci di rumah selama 10 hari.
Tidak lupa saya pergi ke pasar swalayan untuk mempersiapkan stok makanan. Situasi di pasar swalayan cenderung normal. Foto-foto yang kami lihat di internet tentang panic buying di Milan tidak nampak di Siena. Rak pasta dan kertas toilet, dua hal yang paling mendasar untuk orang Italia, masih cukup penuh. Para pelanggan pun berbelanja seperti biasanya tanpa terburu-buru.
Sesampai di rumah, ponsel saya berdering pertanda ada email masuk. Ternyata benar, kami dikabarkan bahwa universitas akan tutup sampai tanggal 15 Maret 2020. Penutupan yang dimaksud adalah pemberhentian proses belajar mengajar dan ujian sementara Dottorandi tetap diperbolehkan ke kantor.
Email tersebut juga diakhiri dengan pesan menenangkan dari Rektor yang menginformasikan bahwa mahasiswa dan staf yang tidak membayar kontribusi ke sistem kesehatan nasional akan ditanggung oleh pemerintah Toskana dalam kasus COVID19.
Walaupun sudah ada kabar bahwa akhirnya Siena kota memiliki satu kasus positif dari kalangan mahasiswa, tapi saya cukup percaya dengan sistem kesehatan di Italia dan tidak terlalu ambil pusing.
Kamis, 5 Maret 2020
Hari pertama penutupan sekolah dan universitas juga kebetulan jatuh pada hari dimana saya tidak ada jadwal kuliah. Saya menghabiskan hari berkoordinasi dengan dosen-dosen yang kuliahnya terdampak penutupan.
Satu dosen mengabulkan permintaan kami untuk tetap melakukan kelas secara fisik, walaupun sebenarnya hal tersebut ilegal. Dosen lainnya bersikukuh untuk kuliah lewat Skype walaupun kami semua berencana datang ke kampus. Saya memutuskan untuk ke kampus untuk belajar dan juga untuk menghemat tagihan gas yang cukup mahal jika saya harus tinggal seharian di rumah.
Beberapa kolega terlihat masih datang di kampus dan di sepanjang koridor saya bisa mendengar suara dosen-dosen yang sedang membuat rekaman kuliah untuk dikirim ke mahasiswa.
Saya bisa merasakan atmosfer kebingungan di fakultas karena penutupan ini. Bukan cuma karena hal ini berarti jadwal kuliah dan ujian berubah, tetapi karena dosen dan administrator yang memiliki anak menjadi kebingungan. Maklum, di Italia lazim kedua orang tua bekerja, sehingga di situasi seperti ini ada kebingungan mengenai siapa yang akan menjaga anak-anak mereka.
Sore harinya ketika berjalan pulang, saya bisa melihat bahwa ada banyak anak-anak yang bermain bersama di taman dan orang dewasa yang berkumpul di bar untuk minum kopi atau apperitivo. Tentunya ini bukan hal yang diharapkan oleh pemerintah Italia ketika mereka memutuskan untuk menutup sekolah dan universitas.
Sementara itu, grup penanganan COVID19 yang dibentuk oleh KBRI seminggu sebelumnya mulai berdering. KBRI menjadwalkan sebuah panggilan Skype dengan WNI dari berbagai kota dan juga meminta kami untuk memutakhirkan data.
Inisiatif dari KBRI tersebut dimaksudkan agar kami bisa mendapat perkembangan terakhir terutama jika ada WNI yang terkena COVID19. Selain itu, kami diinformasikan perihal travel warning dan restriction yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia.
Dari berbagai grup WhatsApp dengan WNI dan PPI Italia, sepertinya banyak yang memutuskan untuk kembali ke Indonesia. Banyak juga yang memutuskan untuk tinggal di Italia agar tidak membawa virus kembali ke Indonesia.
Jumat, 6 Maret 2020
Saya tidak ikut berpartisipasi dalam panggilan Skype dengan KBRI karena kesibukan kuliah, tetapi kemudian saya diberikan rangkuman. Beberapa WNI meminta tolong KBRI untuk menyediakan masker dan pembersih tangan yang memang sudah langka di berbagai kota sejak Januari kemarin.
Selain itu, situasi WNI di berbagai kota pun lumayan stabil. Di kampus sendiri, walaupun kami sebenarnya melakukan hal ilegal, dengan tetap mengadakan kuliah yang sebagian fisik dan sebagian jarak jauh, administrator tidak terlalu banyak berkomentar. Program perkuliahan ini cukup menyita waktu dan tidak bisa ditunda, sehingga kami memutuskan untuk sebisa mungkin melanjutkan perkuliahan dengan normal.
Tidak ada perasaan ketakutan tentang COVID19 di antara saya dan teman-teman di kampus. Meski demikian, suasana sepi di kampus mulai terasa.
Untuk kedua kali-nya saya diinterogasi oleh penjaga pintu yang dengan tegas mengusir semua mahasiswa. Status saya sebagai Dottoranda mengijinkan saya untuk tetap ke kampus, tetapi tentunya tidak disarankan.
Sabtu, 7 Maret 2020
Beredar informasi bahwa seluruh Lombardia dan 14 provinsi di utara Italia akan ditutup. Provinsi-provinsi tersebut adalah: Modena, Reggio Emilia, Parma, Rimini dan Piacenza (di Emilia Romagna), Pesaro dan Urbino (di Marche), Venezia, Padua dan Treviso (di Veneto), Asti, Novara, Verbano-Cusio-Ossola, Vercelli dan Alessandria (di Piemonte).
Selang beberapa lama kemudian, dekrit tersebut disahkan. Karantina akan diberlakukan dari 8 Maret hingga 3 April 2020.
Media sosial saya kemudian dibanjiri foto dan video dari stasiun kereta di Milan yang dipenuhi orang-orang yang ingin kabur dari karantina. Italia memang cukup dinamis dan ada banyak orang-orang dari selatan yang pindah ke utara. Otomatis dengan situasi seperti ini, mereka yang dari selatan berusaha untuk pulang agar dapat dekat dengan keluarganya.
Bukan hanya Milan, kami juga dikabarkan bahwa ada banyak karavan yang memasuki provinsi Lucca di Toskana dari provinsi Reggio Emilia yang memang masuk zona merah.
Kolega-kolega yang berasal dari daerah-daerah berbeda pun memutuskan untuk bersikap penuh tanggung jawab dan membatalkan rencana Paskah mereka agar tidak menyebarkan COVID19 lebih jauh.
Meski demikian, kehidupan di Siena terasa seperti biasa. Pasar swalayan masih ramai, begitu juga jalan-jalan di kota.
Minggu, 8 Maret 2020
Hari Minggu seakan berjalan lambat di Italia. Menjelang siang hari, saya memutuskan untuk keluar dan memantau kondisi sekeliling kota. Sekitaran saya terasa lengang tetapi normal. Saya tidak bisa memutuskan apakah dekrit karantina tersebut mulai berdampak, atau memang karena hari itu adalah hari Minggu.
Menjelang sore hari, Banchi di Sopra, jalan paling sibuk di Siena, masih menunjukkan aktivitas walaupun lengang.
Berjalan menuju Piazza il Campo, pusat kota dan rumah dari Palio yang merupakan atraksi utama Siena, saya masih melihat beberapa turis berwajah Asia dengan masker di wajah.
Sementara itu bar dan restoran di piazza terlihat cukup penuh dengan penduduk lokal yang masih melakukan ritual apperitivo.
Saya menyempatkan diri mengunjungi salah satu gelateria dan mendapati bak-bak gelato yang setengah penuh. Artinya, cukup banyak pengunjung yang membeli gelato hari itu.
Saya mengakhiri hari saya dengan memanjat Fortezza di Medicea yang terutama banyak dikunjungi penduduk Siena untuk jogging. Masih banyak orang yang berlari atau hanya duduk-duduk menikmati malam.
Di pojok-pojok benteng tersebut juga ada sekelompok anak-anak yang sedang bermain di pusat kebugaran terbuka untuk publik, dan juga sekelompok remaja yang sedang bercanda.

Sama seperti biasanya, jadwal perkuliahan saya lumayan padat hari itu. Di waktu istirahat saya dan teman-teman berkumpul di kantor Dottorandi (kandidat Doktor) untuk makan siang bersama.
Tidak ada kecurigaan bahwa hari tersebut berbeda dengan hari lainnya, sampai salah satu rekan postdoc kami datang dan membawa kabar terbaru: ada desas desus bahwa universitas akan ditutup.
Kami mengintip ke koridor dan memang dosen-dosen dan administrator terlihat sibuk. Meskipun belum ada kabar resmi, kami langsung mengambil ponsel dan mengecek berita di internet. Memang ada spekulasi dari pemerintah bahwa sekolah dan universitas mungkin ditutup, meskipun kabar terlengkap baru akan diberitakan sore harinya.
Saya tidak terlalu berpikir banyak tentang desas desus tersebut karena tahu bahwa regione saya, Toskana, sudah berjuang keras agar kehidupan tetap berlanjut normal.
Tiga kota besar di Toskana: Pisa, Firenze, dan Siena merupakan daerah yang sangat populer dengan turis mancanegara. Bukan hanya anggur, daerah ini terkenal sebagai tempat kelahiran masa Renaisans di benua Eropa. Dengan latar belakang seperti itu, tentunya pariwisata merupakan industri yang sangat penting untuk Toskana.
Sepinya turis mancanegara yang memenuhi jalan-jalan di kota juga saya anggap dikarenakan musim dingin yang belum berakhir. Biasanya, turis-turis mulai berdatangan setelah April.
Setelah semua sesi perkuliahan selesai, saya memutuskan untuk menyiapkan bahan-bahan belajar di rumah kalau-kalau dekrit tersebut diluluskan. Isu yang saya dengar mengatakan bahwa penutupan sekolah akan sampai tanggal 15 Maret 2020, yang berarti kami mungkin terkunci di rumah selama 10 hari.
Tidak lupa saya pergi ke pasar swalayan untuk mempersiapkan stok makanan. Situasi di pasar swalayan cenderung normal. Foto-foto yang kami lihat di internet tentang panic buying di Milan tidak nampak di Siena. Rak pasta dan kertas toilet, dua hal yang paling mendasar untuk orang Italia, masih cukup penuh. Para pelanggan pun berbelanja seperti biasanya tanpa terburu-buru.
Sesampai di rumah, ponsel saya berdering pertanda ada email masuk. Ternyata benar, kami dikabarkan bahwa universitas akan tutup sampai tanggal 15 Maret 2020. Penutupan yang dimaksud adalah pemberhentian proses belajar mengajar dan ujian sementara Dottorandi tetap diperbolehkan ke kantor.
Email tersebut juga diakhiri dengan pesan menenangkan dari Rektor yang menginformasikan bahwa mahasiswa dan staf yang tidak membayar kontribusi ke sistem kesehatan nasional akan ditanggung oleh pemerintah Toskana dalam kasus COVID19.
Walaupun sudah ada kabar bahwa akhirnya Siena kota memiliki satu kasus positif dari kalangan mahasiswa, tapi saya cukup percaya dengan sistem kesehatan di Italia dan tidak terlalu ambil pusing.
Kamis, 5 Maret 2020
Hari pertama penutupan sekolah dan universitas juga kebetulan jatuh pada hari dimana saya tidak ada jadwal kuliah. Saya menghabiskan hari berkoordinasi dengan dosen-dosen yang kuliahnya terdampak penutupan.
Satu dosen mengabulkan permintaan kami untuk tetap melakukan kelas secara fisik, walaupun sebenarnya hal tersebut ilegal. Dosen lainnya bersikukuh untuk kuliah lewat Skype walaupun kami semua berencana datang ke kampus. Saya memutuskan untuk ke kampus untuk belajar dan juga untuk menghemat tagihan gas yang cukup mahal jika saya harus tinggal seharian di rumah.
Beberapa kolega terlihat masih datang di kampus dan di sepanjang koridor saya bisa mendengar suara dosen-dosen yang sedang membuat rekaman kuliah untuk dikirim ke mahasiswa.
Saya bisa merasakan atmosfer kebingungan di fakultas karena penutupan ini. Bukan cuma karena hal ini berarti jadwal kuliah dan ujian berubah, tetapi karena dosen dan administrator yang memiliki anak menjadi kebingungan. Maklum, di Italia lazim kedua orang tua bekerja, sehingga di situasi seperti ini ada kebingungan mengenai siapa yang akan menjaga anak-anak mereka.
Sore harinya ketika berjalan pulang, saya bisa melihat bahwa ada banyak anak-anak yang bermain bersama di taman dan orang dewasa yang berkumpul di bar untuk minum kopi atau apperitivo. Tentunya ini bukan hal yang diharapkan oleh pemerintah Italia ketika mereka memutuskan untuk menutup sekolah dan universitas.
Sementara itu, grup penanganan COVID19 yang dibentuk oleh KBRI seminggu sebelumnya mulai berdering. KBRI menjadwalkan sebuah panggilan Skype dengan WNI dari berbagai kota dan juga meminta kami untuk memutakhirkan data.
Inisiatif dari KBRI tersebut dimaksudkan agar kami bisa mendapat perkembangan terakhir terutama jika ada WNI yang terkena COVID19. Selain itu, kami diinformasikan perihal travel warning dan restriction yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia.
Dari berbagai grup WhatsApp dengan WNI dan PPI Italia, sepertinya banyak yang memutuskan untuk kembali ke Indonesia. Banyak juga yang memutuskan untuk tinggal di Italia agar tidak membawa virus kembali ke Indonesia.
Jumat, 6 Maret 2020
Saya tidak ikut berpartisipasi dalam panggilan Skype dengan KBRI karena kesibukan kuliah, tetapi kemudian saya diberikan rangkuman. Beberapa WNI meminta tolong KBRI untuk menyediakan masker dan pembersih tangan yang memang sudah langka di berbagai kota sejak Januari kemarin.
Selain itu, situasi WNI di berbagai kota pun lumayan stabil. Di kampus sendiri, walaupun kami sebenarnya melakukan hal ilegal, dengan tetap mengadakan kuliah yang sebagian fisik dan sebagian jarak jauh, administrator tidak terlalu banyak berkomentar. Program perkuliahan ini cukup menyita waktu dan tidak bisa ditunda, sehingga kami memutuskan untuk sebisa mungkin melanjutkan perkuliahan dengan normal.
Tidak ada perasaan ketakutan tentang COVID19 di antara saya dan teman-teman di kampus. Meski demikian, suasana sepi di kampus mulai terasa.
Untuk kedua kali-nya saya diinterogasi oleh penjaga pintu yang dengan tegas mengusir semua mahasiswa. Status saya sebagai Dottoranda mengijinkan saya untuk tetap ke kampus, tetapi tentunya tidak disarankan.
Sabtu, 7 Maret 2020
Beredar informasi bahwa seluruh Lombardia dan 14 provinsi di utara Italia akan ditutup. Provinsi-provinsi tersebut adalah: Modena, Reggio Emilia, Parma, Rimini dan Piacenza (di Emilia Romagna), Pesaro dan Urbino (di Marche), Venezia, Padua dan Treviso (di Veneto), Asti, Novara, Verbano-Cusio-Ossola, Vercelli dan Alessandria (di Piemonte).
Selang beberapa lama kemudian, dekrit tersebut disahkan. Karantina akan diberlakukan dari 8 Maret hingga 3 April 2020.
Media sosial saya kemudian dibanjiri foto dan video dari stasiun kereta di Milan yang dipenuhi orang-orang yang ingin kabur dari karantina. Italia memang cukup dinamis dan ada banyak orang-orang dari selatan yang pindah ke utara. Otomatis dengan situasi seperti ini, mereka yang dari selatan berusaha untuk pulang agar dapat dekat dengan keluarganya.
Bukan hanya Milan, kami juga dikabarkan bahwa ada banyak karavan yang memasuki provinsi Lucca di Toskana dari provinsi Reggio Emilia yang memang masuk zona merah.
Kolega-kolega yang berasal dari daerah-daerah berbeda pun memutuskan untuk bersikap penuh tanggung jawab dan membatalkan rencana Paskah mereka agar tidak menyebarkan COVID19 lebih jauh.
Meski demikian, kehidupan di Siena terasa seperti biasa. Pasar swalayan masih ramai, begitu juga jalan-jalan di kota.
Minggu, 8 Maret 2020
Hari Minggu seakan berjalan lambat di Italia. Menjelang siang hari, saya memutuskan untuk keluar dan memantau kondisi sekeliling kota. Sekitaran saya terasa lengang tetapi normal. Saya tidak bisa memutuskan apakah dekrit karantina tersebut mulai berdampak, atau memang karena hari itu adalah hari Minggu.
Menjelang sore hari, Banchi di Sopra, jalan paling sibuk di Siena, masih menunjukkan aktivitas walaupun lengang.
Berjalan menuju Piazza il Campo, pusat kota dan rumah dari Palio yang merupakan atraksi utama Siena, saya masih melihat beberapa turis berwajah Asia dengan masker di wajah.
Sementara itu bar dan restoran di piazza terlihat cukup penuh dengan penduduk lokal yang masih melakukan ritual apperitivo.
Saya menyempatkan diri mengunjungi salah satu gelateria dan mendapati bak-bak gelato yang setengah penuh. Artinya, cukup banyak pengunjung yang membeli gelato hari itu.
Saya mengakhiri hari saya dengan memanjat Fortezza di Medicea yang terutama banyak dikunjungi penduduk Siena untuk jogging. Masih banyak orang yang berlari atau hanya duduk-duduk menikmati malam.
Di pojok-pojok benteng tersebut juga ada sekelompok anak-anak yang sedang bermain di pusat kebugaran terbuka untuk publik, dan juga sekelompok remaja yang sedang bercanda.
Quote:
Diubah oleh gabener.edan 14-03-2020 13:11






4iinch dan 4 lainnya memberi reputasi
5
2.3K
26


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan