Kaskus

Story

suwokotumdexAvatar border
TS
suwokotumdex
Permainan Tuan Takdir (cerpen)
Permainan Tuan Takdir (cerpen)

Dulu aku memang bersikap acuh tak acuh, tapi sekarang keadaannya berbeda. Meringkuk di sudut kamar dengan rasa yang tak pasti. Ada yang terasa sesak di dalam dada. Namun, aku tidak tahu pasti kenapa.

Padahal ... sebelumnya kami hanya bercanda, soal ungkapan sayang dan cinta. Ya, aku hanya bercanda.

Akan tetapi, sepertinya waktu membiarkan hati untuk tak selalu membeku pada dia yang t'lah menghianat.

Kini, aku merasakan apa yang disebut dengan kegagalan. Sayangnya ... untuk yang kedua kali, sungguh, bukanlah hal yang patut aku banggakan.

Tangan menarik lutut semakin lekat, yang kulihat sekarang hanyalah gelap. Aku lebih memilih untuk menutup mata dan telinga, membiarkan otak bermain dengan logika, hingga waktu yang tidak ditentukan.

Aku sempat berpikir, bukankah aku laki-laki, kenapa harus seperti ini?

Terkadang, logika pun tak mampu mengalahkan kekuatan perasaan.

Aku kalah.

"Besok, kita akan gimana, ya?" tanyanya waktu itu, membuat dahiku sedikit berkerut. Lantas, membuatnya tertawa kecil menahan senyuman. "Maksudnya, suatu saat nanti kita akan menjalani hidup yang seperti apa, ya?" lanjutnya.

Aku mengulum senyuman. "Coba tanya kepada Tuan Takdir, mungkin dia tau jawabannya."

Gadis bersurai hitam panjang itu kembali tersenyum. Wajahnya merona saat terkena sinar senja yang kekuningan. Binar di matanya, sungguh indah, membawa tatapan teduh yang menyejukan.

"Kakak saja yang bertanya, aku akan menunggu jawabannya," ujarnya.

"Enggak, kami udah lama nggak berteman," jawabku sekenanya.

"Hmm ... kalian bertengkar? Itu tidak baik, loh, Kak. Gimana kalau nanti kita temui Tuan Takdir, dan mencoba untuk berteman dengannya. Siapa tahu, kita bisa bertanya banyak hal kepadanya, 'kan?" jelasnya dengan wajah polos.

Aku merebahkan tubuh ke atas rumput. Desir angin membelai wajah ini, terasa dingin, tapi lama-kelamaan membawa kehangatan, yang berasal dari gadis itu. "Ya, mungkin jika aku datang bersamamu, Tuan Takdir akan lebih membuka hati agar kita bisa berteman."

Sialan!

Hatiku menjerit, mungkin, atau memang mulutku yang berteriak. Aku kembali sadar masih di tempat yang sama, duduk memeluk lutut di sudut kamar. Netra t'lah basah oleh rasa hampa yang sudah menjalar ini.

Kenapa aku menangis?

Kuangkat wajah dan menyeka air mata yang terus merembas.

Kenapa aku bersedih?

"Jangan bersedih, Kak, pasti ada jalan," tuturnya suatu waktu, terngiang di dalam kepala, lagi.

Kenangan itu kembali berputar di dalam kepala, saat awal pertemuan, saat di mana tak ada rasa yang terlampau besar untuknya. Di sebuah taman, saat kaki telah lelah untuk melangkah, tubuh kami bersenggolan.

Aku ingat, dia adalah gadis kurang populer saat kami masih di sekolah yang sama, sebuah SMA swasta beberapa tahun lalu. Namun, bukan berarti aku melupakan wajahnya yang kini bertambah lebih manis.

"Setelah aku lulus, kamu masih sering ke perpustakaan?" tanyaku, seraya menggigit es krim, duduk berdua di bangku taman ini.

Gadis itu mengangguk. "Iya, masih banyak novel yang harus aku baca."

"Jangan hanya baca novel, buku sejarah di sana kan banyak, pelajari juga!" ujarku pelan.

"Halah, Kakak aja dulu nggak pernah baca buku sejarah, banyakan baca komik sama novel juga, nggak usah sok-sokan nyuruh, deh!" Gadis itu tertawa, membawaku larut pada nostalgia. Kemudian tertawa bersama ... yang kini hanya tersisa kepingan memori saja. Kenangan saat kami mulai akrab karena sering bertemu di ruang baca sekolah, dulu.

"Sekarang, kamu udah kelas 12, 'kan? Sebentar lagi lulus."

"Iya, Kak, begitulah."

Di pertemuan kami yang entah ke berapa, mendadak sikapnya berubah. Menjadi lebih pemurung, bahkan sering menolak untuk kuajak ke luar. Banyak beralibi, aku tahu karena dia memang tak pandai berbohong.

Hingga, saat itu kutanya, "Ada apa, akhir-akhir ini kamu jadi lebih pemurung?"

Gadis yang biasanya selalu memancarkan binar keceriaan di matanya, kini meredup, bahkan hilang. Seolah ada lubang besar yang menyesap jiwanya hingga perlahan habis. Ia sering tampak menunduk atau membuang muka saat kutanya, seperti sedang menyembunyikan sesuatu. Ya, sesuatu yang tidak perlu kutahu.

Namun, mana mungkin aku bisa diam menanggapi sikapnya yang mendadak berubah.

Apa karena aku melakukan kesalahan?

Apa karena aku yang terlalu cepat untuk akrab dengannya?

Apa?

"Ini nggak ada hubungannya dengan Kakak, kok," jelasnya saat aku bertanya lewat sambungan telepon. Suaranya terdengar bergetar, entah karena apa, yang jelas getaran itu menyiksanya. Aku bisa merasakan kejanggalan ... rasanya aneh, bukan?

"Kenapa? Bilang saja." Aku sedikit memaksa.

"Enggak ada, Kak, udah, ya, assalamualaikum ...."

Sambungan terputus. Ia buru-buru mematikannya. Lagi-lagi, aku hanya bisa bertanya ... kenapa?

Blarrr!

Petir yang menggelegar membuatku sadar dari lamunan. Mengangkat tubuh yang terasa kaku karena duduk di sini hampir berjam-jam. Lantas berjalan mendekati jendela yang mengembun karena percikan air hujan dari luar.

Malam kembali datang bersama air dari langit yang tercurah ke bumi, seolah tahu apa yang sedang kurasakan. Sesak. Dada ini seperti berlubang, ada yang hilang. Namun, bukankah dia memang belum pernah mengisi sepenuhnya, ataukah aku yang terlalu berharap lebih.

Netraku menatap liar ke luar sana. Rinai hujan membawa otakku untuk mengarungi lautan kenangan, lagi.

Kini, aku duduk sendirian di bangku taman. Menggenggam sebuah buku catatan berwarna hitam, yang terselip pulpen di dalamnya. Aku menunggu seseorang untuk datang ke sini. Namun, hampir dua jam aku sendirian, gadis bersurai panjang itu tak kunjung datang.

Apakah dia membenciku?

Tidak, aku tidak boleh berpikiran negatif seperti itu. Bagaimana pun juga, aku merasa tak pernah melukainya, mungkin.

Aku merebahkan punggung, menghela napas dan menatap awan putih di atas sana. Burung elang terbang berputar di langit, mencari sesuatu, sama sepertiku. Mencari apa yang belakangan ini menjadi hal yang sangat mengganjal.

Aku mencari sebuah kebenaran.

Sayangnya kebenaran itu belum juga datang menemuiku. Andai aku sudah berteman dengan Tuan Waktu, mungkin bisa kutanyakan kepadanya, sampai kapan harus menunggu ketidakpastian.

Saat kucoba memejamkan mata, langkah gontai terdengar mendekat. Cepat aku membuka mata kembali. Gadis itu, dia berdiri dua meter di depanku. Binar di matanya telah pupus, bahkan menatapku saja tak berani, ia membuang muka.

Aku berdiri dan mendekatinya, tapi dia mundur sejauh aku melangkah ke depan.

Ia menghindar.

Aku menghela napas, sedikit kecewa. Namun, aku memang harus siap menerima sikapnya yang sekarang.

"Setidaknya duduk, dan jelaskan semuanya," perintahku pelan. Gadis itu menurut, dan duduk di bangku taman, aku juga, hanya saja ... kami duduk di bangku yang berbeda.

"Na—"

"Kakak," pungkasnya. Aku diam, membiarkan dia yang berbicara. "Aku ingin mengakui semuanya."

"Aku juga ingin mengakuinya," ucapku tegas.

"Kakak—"

"Aku suka sama kamu, Na!"

"Aku hamil, Kak!" Suaranya meninggi.

Aku, tidak tuli, 'kan? Apa yang dikatakannya. "Jangan bercanda, Na, nggak—"

"Aku hamil, Kak! Aku tidak bercanda, dan aku akan keluar dari sekolah untuk segera dinikahkan." Air mata meluncur deras dari netranya. Isakan yang membuat dadaku terasa sesak itu, menyisakan lubang besar di dalam dada.

Dia bohong! Pasti bohong! "Kamu pasti bohong, 'kan?"

"Kakak tau, 'kan, aku tak pandai berbohong. Kali ini, aku tidak berbohong, tidak ...."

Aku kembali terdiam. Hingga, saat petir kembali menggelegar di angkasa, untuk yang kesekian kalinya, aku terbangun dari lamunan.

Bayangan saat terakhir kali kami berbicara, tergambar jelas di antara rinai hujan itu. Sederas apapun, tak akan pernah bisa menghapusnya.

Aku hanya berharap, sesak ini tak terbawa sampai waktu yang lama. Hanya Tuan Takdir yang bisa memberiku bocoran. Namun, sayangnya aku tak sempat berteman dengannya.

~ END
Gimi96Avatar border
NadarNadzAvatar border
nona212Avatar border
nona212 dan 17 lainnya memberi reputasi
18
2K
13
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan