- Beranda
- Komunitas
- News
- Berita Luar Negeri
Bagaimana Coronavirus Mendorong Timbulnya Sinophobia


TS
juraganind0
Bagaimana Coronavirus Mendorong Timbulnya Sinophobia

Quote:
Winnetnews.com - Coronavirus belakangan ini terus menjadi pusat perhatian dunia. Secara statistik, coronavirus (COVID-19) telah menginfeksi lebih dari 80.000 kasus di 67 negara di dunia dengan tercatat lebih dari 3.000 kematian.Meski dengan jumlah itu, angka kematian coronavirus tidak lebih tinggi dibandingkan MERS ataupun SARS, dengan persebaran yang cepat dan semakin luas sudah sewajarnya virus ini menimbulkan kewaspadaan di tingkat internasional.
Kepanikan dan kekhawatiran yang semakin meluas ini tak sedikit juga menimbulkan sentimen negatif hingga tindakan diskriminatif terhadap warga keturunan Cina di seluruh dunia. Diskriminasi atau sentimen anti keturunan Cina ini sendiri sering disebut sebagai sinophobia. Secara harfiah, sinophobia berasal dari gabungan dua kata yakni, 'sinae' yang dalam bahasa Latin berarti China dan 'phobos' yang dalam bahasa Yunani berarti takut.
Baca Juga: Beberapa Kebiasaan Sepele yang Bisa Meningkatkan Kekebalan Tubuh
Sentimen ini sudah ada bahkan dalam seabad yang lalu. Amerika Serikat misalnya, telah memiliki sejarah panjang dengan sinophobia, terutama pada Undang-Undang Pengecualian Cina tahun 1882 yang melarang seluruh buruh Tiongkok melakukan imigrasi.
Menanggapi maraknya rasisme terhadap masyarakat keturnan Cina. Komedian asal Inggris berketurunan Cina, Ken Cheng dalam akun Twitter pribadinya mencuitkan kurang dari 0.001% orang Cina terinfeksi coronavirus, namun sekitar 99.999% warga keturunan Cina mengalami tindakan rasis. Ia bahkan menyebut sentimen rasisme ini dengan sebutan coronaracism.
Pada Januari 2020 silam, tagar #JeNeSuisPasUnVirus yang berarti Saya Bukan Virus diciptakan oleh masyarakat berketurunan Asia Prancis di Twitter sebagai tanggapan terhadap serentetan serangan yang bermotivasi rasial di negara itu.
Kasus rasisme serupa juga dialami seorang YouTuber kecantikan bernama Michelle Phan yang juga sempat menjadi korban rasisme virus corona. Dalam akun Twitter pribadinya ia juga menyatakan kekesalannya karena banyak orang Amerika Serikat menyuruhnya untuk memakan kelelawar, yang kerap dianggap sebagai sumber wabah virus corona berasal.
Baca Juga: Yuk… Ajarkan Anak Rajin Cuci Tangan dengan Langkah Mudah Ini
Peran Media Sosial dalam Menimbulkan Stigma
Menyebar di era media sosial dan internet yang kian pesat perkembangannya, isu dan berbagai kabar tentang virus corona juga cepat menyebar melalui media sosial. Persebaran berita dan kabar yang bahkan sering kali menghasilkan misinformasi inilah yang kemudian menciptakan kepanikan massal.
Dilansir dari Aljazeera, menurut Harris Ali, seorang profesor sosiologi di Universitas York Toronto yang telah meneliti respon wabah SARS pada 2003 silam, mengatakan banyak dari insiden rasis pada waktu itu bersifat individual. Umumnya tindakan itu ada di tempat publik, seperti bus, kereta bawah tanah, hingga di tempat penyeberangan jalan.
Dalam kasus coronavirus, Ali juga mengatakan media sosial telah muncul sebagai tempat utama di mana orang menyebarkan sinophobia. Ia menunjuk sebuah petisi baru-baru ini yang dibuat oleh orang tua di dewan sekolah daerah Toronto. Ditandatangani oleh hampir 10.000 orang, petisi tersebut meminta Dewan Distrik Distrik York untuk memerintahkan sekolah-sekolahnya untuk melacak dan menyebutkan nama setiap siswa yang baru-baru ini bepergian ke Cina dan meminta siswa-siswa itu tinggal di rumah dan diisolasi.
Di sisi lain, media sosial juga telah membantu banyak orang untuk berbagi pengalaman dan meningkatkan kesadaran tentang apa yang terjadi di lapangan serta menjadi komponen penting dalam memerangi rasisme dan sinophobia.
Baca Juga: Ini Nih 4 Cara yang Bisa Kamu Lakukan untuk Jaga Kesehatan Emosi di Tengah Gempuran Penyakit
Nadia Alam salah satunya, pengguna Twitter yang juga seorang dokter di Ontario, Kanada ini membagikan kisah anaknya yang mengalami tindakan rasial di sekolah. Cuitannya itu menuai respons dan simpati publik yang begitu besar hingga menerima lebih dari 6.000 retweets dan 30.000 likes.
"Saya tahu media sosial bisa menjadi pedang bermata dua, tetapi reaksi terhadap tweet saya sangat luar biasa. Saya kagum dengan percakapan yang dihasilkannya di seluruh dunia ... Saya sangat tersentuh dan terinspirasi. Sangat indah kemanusian," sebutnya dikutip dari TIME.com.
Menurut Monica Schoch-Span, seorang antropolog medis dan seorang sarjana senior di Johns Hopkins Center for Health Security mengatakan stigma sosial dan diskriminasi adalah hal yang tidak bisa terhindarkan dari mewabahnya suatu virus yang sering diasosiasikan pada suatu kelompok, negara, atau benua tertentu.
Selama wabah flu babi H1N1 pada tahun 2009, orang Meksiko dan banyak orang Latin menjadi kambing hitam, dan selama wabah Ebola 2014, begitu pula orang-orang Afrika yang banyak disalahkan, atau ketika tahun 80an awal banyak orang Haiti yang kerap disalahkan atas menyebarnya virus HIV/AIDS.
Melihat semakin tingginya angka sinophobia dalam masa persebaran virus corona ini, WHO (World Health Organization) bahkan mengajak masyarakat secara internasional untuk memerangi penghakiman dan diskriminasi atas ras tertentu melalui akun Twitter resminya dengan tagar #FightRacism dan #StandUp4HumanRights.
Sumber
https://www.winnetnews.com/post/baga...nya-sinophobia
Hati hati dengan sinophobia


anasabila memberi reputasi
1
1.6K
Kutip
15
Balasan


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan