Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

galih17Avatar border
TS
galih17
CERPEN : Muslihat di Pasar Senggol

   

Sudah lebih dari satu jam Bimo mengayuh sepedanya. Hari minggu merupakan waktu yang tepat baginya untuk bersepeda, membakar timbunan lemak. Salah satu upaya Bimo untuk menurunkan berat badannya yang mencapai 85 kilogram. Dan hari ini merupakan hari Minggu ke dua dia bersepeda. Di sepanjang jalan bersepeda, dia sering menjumpai sepasang muda – mudi. Bersepeda berdua, atau berjalan berpasangan saling menggandeng tangan. Sebenarnya Bimo iri melihatnya, mengingat dia sering jatuh cinta, namun tak pernah dicintai.

“Bimo, Bim.” Suara seorang laki – laki dan perempuan yang memanggil namanya bersamaan. Kepala Bimo berputar mencari asal suara itu. Di sebuah pertigaan di seberang jalan sepasang muda – mudi melambaikan tangan. Bimo segera memutar setir sepeda ke arah mereka.

“Irfan, Manda. Kalian ternyata,” sapa Bimo sembari menekan rem sepedanya.

“Iya, biasa. Hari Minggu enaknya jalan – jalan pagi. Wah, kamu semangat banget bersepeda. Lancar program dietmu, Bim?” tutur Irfan.

“Tentu semangat, dong. Biar lemak jahat di perutku hilang.” Bimo menegakkan badan sambil menepuk perutnya yang buncit.

“Ini kamu mau ke mana, Bim? Ke pasar?” tanya Manda.

“Iya, aku mau istirahat dulu di sana. Biasa, lah. Sambil cuci mata, hehehe. Dari habis subuh aku bersepeda. Capek,” keluh Bimo.

“Lah, kalau kamu ke pasar terus makan jajan, mana ada gunanya kamu bersepeda, Bim?” Irfan membalas.

“Ah, ngemil sedikit kan nggak masalah. Ya, sudah. Aku lanjut ke pasar dulu, ya.” Bimo kembali mengayuh sepedanya meninggalkan Irfan dan Manda. Setelah agak jauh Bimo menengok kembali ke arah dua temannya tadi. Dia melihat Irfan dan Manda, sepasang kekasih itu berjalan bergandengan tangan. Hari Bimo menjerit, aku juga ingin punya pacar.

Hiruk pikuk manusia terlihat di sebuah perempatan jalan. Tepat di salah satu sudutnya ada sebuah pasar yang dituju oleh Bimo. Pasar Senggol namanya. Memang unik nama pasar itu, tetapi penamaannya juga bukan tanpa sebab dan peristiwa. Entah mulai kapan Pasar Senggol mulai ada, yang jelas pasar ini awalnya hanya buka di hari Minggu pagi.

Hanya sebuah tanah lapang saja untuk orang berjualan. Terutama penjual makanan atau jajanan khas tradisional seperti, cenil, kicak, gethuk, thiwul,nasi ampok, lopis, dan nasi pecel. Karena pembeli selalu ramai dan berhimpitan, mereka saling bersenggolanl satu sama lain. Itulah asal mula pasar ini bernama Pasar Senggol. Kini Pasar Senggol sudah dibangun oleh pemerintah desa. Dibuat lapak – lapak untuk pedagang layaknya pasar pada umumnya, dan beroperasi setiap hari hingga malam. Tidak hanya hari Minggu saja seperti pada awalnya. Tetapi tetap menjadi pasar yang menjual makanan, bisa dikatakan menjadi sentra kuliner di daerah itu.

Bimo akhirnya bisa duduk bersila di salah satu lapak pedagang. Bagi orang bertubuh gemuk seperti Bimo, duduk bersila memerlukan teknik khusus mengingat perut  dan pahanya yang cukup besar. “Lopis setunggal bungkus, Bu.(Lopi satu bungkus, Bu)”

Dimaem mriki, to, Mas?(Dimakan di sini, Mas)” tanya ibu penjual.

Inggih, Bu.(Iya, Bu)” Bimo kemudian membuka tutup botol air minum yang dibawanya, lalu mengalirkan air melewati kerongkongannya. Segar rasanya.

Sembari menunggu pesanannya selesai, Bimo melihat pengunjung lain di sekelilingnya. Semua pengunjung tampak menikmati waktu berakhir pekan, menikmati hari Minggu yang cerah ini. Pandangan mata Bimo akhirnya tertuju pada seorang gadis manis. Wajahnya kalem, tatapan matanya lembut keibuan. Memakai baju polos warna biru muda, dengan setelan rok lebar sepanjang lutut berwarna hitam. Tak pelak, Bimo terkesan pada pandangan pertama.

Cenil setunggal bungkus, Bu. Maem mriki.(Cenil satu bugkus, Bu. Makan di sini)” Gadis itu membeli makanan di tempat yang sama dengan Bimo. Dia lantas duduk lesehan di samping kiri Bimo.

Bimo mencuri pandang ke arah gadis itu, rambutnya lurus sepanjang punggung. Tak ketinggalan Bimo melirik ke arah kaki, dimana dia melihat betis gadis itu mulus dan bersih. Untuk sesaat Bimo merasakan ketegangan, terutama di bagian selangkangannya. Pikiran nakalnya mulai berfantasi. Seandainya aku bisa membelai betis yang indah itu.

Sang penjual menghampiri mereka, memberikan pesanan yang diwadahi daun pisang. Bimo lantas menyantap makanan manis itu dengan pikiran berkecamuk, berusaha memberanikan diri berkenalan dengan gadis di sampingnya.

“Sendirian juga, to, Mbak?” ucap Bimo memulai upayanya.

Si gadis masih mengunyah makanan, lalu melihat Bimo dengan senyum manisnya. “Iya, Mas,” balasnya setelah menelan satu makanan yang sudah halus dikunyah.

“Sampean, sepertinya bukan berasal dari daerah sini, ya?

“Iya, saya bukan dari daerah sini, Mas. Saya dari luar kota.”

Bimo menganggukkan kepalanya mendengar jawaban itu. Melanjutkan melahap makanan kesukaannya itu sampai habis.

“Di sini kerja, Mbak?”

“Iya, Mas. Saya jadi asisten rumah tangga. Rumah majikan saya di perumahan seberang pasar ini.”

“Oh, begitu. Sudah berapa lama kerja di sini?”

“Belum juga genap satu bulan, Mas. Sampean sendiri rumahnya di mana, Mas?”

“Rumahku, di dusun sebelah selatan sana. Hanya lima menit saja bersepeda dari pasar Senggol ini sudah sampai rumahku. Mampir saja kalau sampean mau.”

“Aduh, saya jarang  keluar rumah, Mas. Nggak enak sama majikan. Masih baru juga, belum tahu daerah sini.”

“Lha ini bisa keluar rumah?”

Iya, karena majikan pergi ke luar kota. Nanti malam baru pulang, Mas.”

Mereka berdua sudah menghabiskan makanan masing – masing. Bimo merasa senang bisa berbicara banyak dengan gadis yang baru dikenalnya itu. Perlahan dia menggeser posisi duduknya lebih dekat dengan si gadis. “Oh, iya. Nama sampean siapa? Lupa belum kenalan.” Tak lupa Bimo menyodorkan tangan kanannya. “Aku Bimo.”

“Aku Sukma, Mas.”

Cukup lama mereka bersalaman. Bimo sangat menikmati halusnya kulit tangan Sukma. Bahkan dia berani mengelus punggung tangan Sukma dengan ibu jarinya. Bukannya berontak, Sukma malah melempar senyum yang membuat Bimo takluk dengan paras cantik dan menawan itu.

“Tanganmu halus sekali,” rayu Bimo.

Dengan cepat Sukma menarik tangannya, “Ah, biasa saja, Mas. Dilihat orang. Malu, Mas.”

“Oh, iya. Makananmu tadi biar aku yang bayar. Anggap saja sebagai perkenalan kita.”

“Aduh, Mas Bimo baik sekali. Terima kasih ya, Mas.”

Setelah membayar makanan, Bimo kembali duduk di samping Sukma. Kali ini posisi duduknya sudah saling berhimpitan dengan Sukma. Yang ada di pikiran Bimo, Sukma terasa sudah sangat dekat, seperti sudah berbulan – bulan menjadi teman.

“Setelah ini, sampean mau ke mana?”

“Mau pulang, Mas. Mengerjakan tugas di rumah majikan. Bersih – bersih, biasa lah, Mas. Kerjaan ART.”

“Boleh aku antar?”

“Boleh, tapi aku jalan kaki.”

“Tidak, apa – apa. Sebentar, aku mengambil sepedaku dulu. Kamu tunggu di pintu keluar ya.”

“Iya, Mas Bimo.”

Setelah mengambil sepedanya, Bimo menemui Sukma yang sudah menunggunya. Mereka berdua berjalan berdampingan, Bimo menuntun sepeda dengan di sebelah kanannya. Tak berselang lama Bimo dibuat kaget oleh tindakan Sukma. Gadis itu merangkul tangan kiri Bimo. Seerrrrrr, darah Bimo berdesir. Nafas Bimo sempat tak beraturan, dampak dari campuran rasa senang, gugup, dan grogi. Hal yang baru pertama kali dia rasakan.

“Kenapa, Mas Bimo? Sampean nggak marah, kan?”

“Marah kenapa? Masa berjalan dengan bidadari seperti kamu aku malah marah.”

“Ah, Mas Bimo, bisa saja.” Tangan kiri Sukma mencubit perut Bimo. Tepat di atas pusarnya.

Pikiran Bimo sudah tak karuan setelah medapat cubitan itu. Terlebih lagi saat tangan kanan Sukma merangkul pinggang Bimo, bahkan juga menggerayangi saku belakangnya. Bimo sedikit melenguh menikmati sentuhan itu. Dia menganggap sudah bisa menaklukkan hati Sukma. Tetapi bisa jadi Bimo sendiri yang telah takluk oleh Sukma.

Di ujung jalan, di depan pos kamling Sukma menghentikan langkahnya. “Mas, sekarang jam berapa?”

Bimo mengambil smartphonedari saku celana, “Sekarang jam....”

Belum sempat Bimo menjawab, Sukma langsung mengambil smartphoneBimo dengan cepat. “Wah, sudah jam setengah delapan,” pekik Sukma setelah melihat waktu di smartphone Bimo yang ada di tangannya. “Mas, sampean sampai di sini saja ya mengantarku?”

“Loh, kenapa?”

“Sudah agak siang, Mas. Nggak enak nanti dilihat tetangga majikanku. Aku masih baru di sini, Mas.”

“Oh, begitu. Baiklah, aku paham.”

Sukma menggenggam tangan Bimo, lalu mengambil alih sepeda milik pemuda itu. “Aku pamit dulu, Mas. Lain waktu kita bisa ketemu lagi. Daaahhh....” Bibir Sukma dikecupkan, seolah memberi ciuman kepada Bimo.

Bimo hanya terdiam saja, seperti terhipnotis melihat Sukma berlalu menggunakan sepedanya. Gerakan pantat Sukma saat mengayuh sepeda membuat kedua matanya tak berkedip. Setelah berbelok, Sukma tak terlihat lagi. Bimo merasa pusing dan lemas. Dia duduk di pos kamling itu, semakin lemas dia berbaring. Kedua pelupuk matanya terasa sangat berat. Tidak berapa lama pandangan matanya menjadi gelap.

Matahari sudah di atas kepala, tanda hari sudah siang. Seorang satpam perumahan melihat seseorang berbaring di pos kamling. Dia mendapati pemuda bertubuh gemuk sedang tidur. “Mas, bangun, Mas.” Tidak ada respon, satpam itu menggoyang – goyang tubuh untuk membangunkannya. “Mas..., Mas, bangun, Mas. Woiii....”

Bimo akhirnya membuka matanya, kepalanya terasa sedikit pusing. Seperti ditusuk jarum. “Ada apa, ya, Pak?” Bimo mulai bangun dan memegang kepalanya.

“Sampean tidur atau ketiduran di sini?”

“Tidur? Saya tadi kan...,” ucapan Bimo terputus sesaat. Dia kaget. “Loh, sepeda saya mana?” Bimo beranjak dari tempatnya, melihat sekeliling mencari sepedanya. Dia mulai panik!

Pak satpam malah bingung dengan kepanikan Bimo. “Mas, sebentar. Kamu itu siapa? Dan dari mana?”

Nafas Bimo seperti nafas orang yang baru berlari. “Rumah saya di desa sebelah selatan sana, Pak. Saya bersepeda dari rumah tadi pagi, lalu mampir beli makanan di pasar Senggol.” Bimo meraba – raba saku celananya, dan semakin panik. “Loh, HP-ku, dompetku juga nggak ada. Aduh, piye iki? Aduuuh....”

“Sabar, Mas. Tenang dulu. Lha sampean dari pasar terus tidur di pos kamling ini bagaimana ceritanya?” Pak satpam memegang pundak Bimo dan sedikit mendorongnya dengan pelan. Tanda untuk Bimo kembali duduk.

“Tadi di pasar saya kenalan dengan seorang gadis, lalu jalan sampai ke sini. Setelah itu....”

“Siapa nama gadis itu, Mas?”

“Aduh, saya lupa pak. Wajahnya juga saya sudah nggak ingat.”

Pak satpam rupanya sudah tahu kejadian apa yang dialami oleh Bimo. “Jadi, barang – barang milikmu hilang semua?”

“Iya, Pak. HP, sepeda, dompet saya hilang semua.”

“Kasusnya seperti minggu lalu, tetapi di desa sebelah. Kebetulan saat itu korbannya adalah keponakan saya sendiri. Sampean ini korban gendam. Pelaku mendekatimu dan kalian berkenalan. Kesadaranmu dikendalikan, barang – barangmu diambil. Lalu pelaku pergi. Saya turut prihatin dengan kejadian yang menimpa sampean.”

“Yungalah. Ya, ampun.... Apes aku” Tubuh Bimo menjadi lemas mendengar penjelasan pak satpam itu.





Selesai.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 


 

Diubah oleh galih17 05-03-2020 02:10
Gimi96
NadarNadz
nona212
nona212 dan 23 lainnya memberi reputasi
24
3.2K
33
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Komunitas Pilihan