- Beranda
- Komunitas
- Buat Latihan Posting
Cerpen: SEBUAH IMPIAN


TS
neesyara
Cerpen: SEBUAH IMPIAN
BIOLA
oleh: Neesyara

Sumber: Pixabay.com
Ada jalan yang harus kutempuh sebab ada arah yang ingin kutuju.
Ada cita yang ingin kugapai walau badai kerap menghadang.
Mengubur dalam-dalam impian karena sebuah alasan, sanggupkah?
***
Aku termenung di bawah langit malam, menatap purnama dan kerlip ribuan bintang. Ingin kulihat satu saja bintang di sana yang terjatuh, lalu meminta satu permohonan. Impian.
Malam ini trotoar terlihat sepi. Atau mungkin perasaanku yang memang selalu merasa sendiri, walau di keramaian sekalipun. Tak peduli orang-orang menatap penuh heran, aku hanya ingin diam. Sendiri.
Andai saja ibu masih ada.
Andai saja dulu aku tak egois.
Andai saja dulu aku tak terus memaksa.
Andai saja dulu ayah menolak.
Andai saja ayah tak menyusul ibu.
Andai saja dulu itu semua tidak terjadi!
Andai ... andai ... andai. Hanya 'andai' yang selalu terucap di lisan yang hampir tak pernah berbicara.
Semua itu selalu menghantui pikiranku. Pikiran tentang impian yang malah berakhir kekacauan.
Ibu telah meninggal setelah melahirkan Radit---adikku---ketika aku berusia 5 tahun. Sejak saat itu, ayah hanya sendiri mengurus dan membiayai hidup kami berdua.
Saat usia 13 tahun, aku terus meminta pada ayah untuk membelikan biola. Ayah selalu bilang belum punya uang, tetapi aku terus memaksa.
"Ayah ... Hana ingin biola. Hana suka biola. Hana ingin belajar biola. Hana mau jadi pemain biola yang hebat."
Bibir ayah tersenyum di wajah yang tampak sudah mengerut.
"Hana mau jadi pemain biola?"
"Iya!" seruku bersemangat.
Tangannya mengelus lembut puncak kepala. "Besok ayah akan membelikannya." Ia memelukku. Terasa ada cairan menetes di pundak. Ayah menangis.
Walau tubuhnya telah renta, ayah tak menyerah untuk mewujudkan impianku itu. Aku bahagia memiliki ayah hebat seperti ayah.
Namun, ketika hari esok yang kutunggu-tunggu tiba, bukanlah senyuman yang terukir di wajah, melainkan tangis yang begitu menyesakkan. Ayah menjadi korban tabrak lari ketika akan membeli biola itu untukku.
Rasanya bagai dihantam berjuta belati. Sakit. Perih.
Aku meremas jemari lalu mengusap wajah gusar. Menyesali egoku yang membuat ayah tiada. Malam semakin larut dan orang-orang telah benar-benar hilang.
Saatnya aku pulang.
----
Aku berjalan perlahan menyusuri trotoar, sambil sesekali menyeka bekas cairan bening yang masih hinggap di pelupuk mata.
Hingga kulihat di ujung jalan sana ramai orang berkerumun. Ada apa?
Entah dorongan dari mana, kakiku bergerak cepat melangkah ke sana.
"Anak siapa ini?"
"Kok bisa malem-malem di tengah jalan begini?"
"Orang tuanya dimana?"
Itulah ucapan orang-orang yang kudengar sebelum netraku menangkap sosok anak tergeletak lemah bersimbah darah. "RADIT!"
Dengan sigap aku terobos kerumunan dan memeluk tubuh kecil adikku. Air mata kembali berderai, semakin deras. Baru saja aku mengenang masa lalu yang menyesakkan, sekarang apa ini? Tidak. Tidak. Aku tak mau kehilangan orang yang kusayang lagi. Aku tak mau kehilangan Radit. Tak akan! Aku berteriak histeris. Di tengah isakan, orang-orang mulai membantu membawa Radit ke rumah sakit.
Di sepanjang jalan aku terus merutuki kebodohanku. Mengapa Radit tidak diam saja di rumah? Mengapa ia selalu mencariku ketika malam bahkan semakin larut? Aku selalu mengatakan padanya, bahwa aku bekerja dan akan selalu pulang malam. Namun, anak itu benar-benar tak pernah mau mendengarkan. 'Semoga kamu baik-baik saja, Dik,' batinku lemah.
---
Tak ada yang tahu apa yang akan terjadi dalam hidup. Semua benar-benar mengejutkan. Bertahun-tahun aku meratapi perih, letih. Menjalani hidup dengan senyuman palsu. Hanya Radit satu-satunya harta berharga yang masih bersamaku. Dan sekarang, ia divonis mengalami kerusakan pada jantung?
Tidak!
Tangisku kembali pecah ketika mendengar pernyataan dari sang dokter. Seolah ada badai ombak yang menghantam, jiwaku hancur berkeping.
Aku tak memiliki uang untuk membiayai operasi Radit. Karenanya, aku membawanya pulang dan akan merawatnya di rumah. Membelikan obat dari apotik setiap hari. Sehingga aku harus bekerja lebih giat untuk membiayai hidup kami, sekolah Radit, dan juga obatnya.
Uang yang sudah terkumpul dalam celengan kupakai untuk membayar biaya rumah sakit Radit kemarin. Uang itu aku niatkan untuk membeli Biola, impianku. Namun, lagi-lagi harus 'ku kubur dalam-dalam impian itu. Impianku sedari kecil.
Seminggu berlalu dan kondisi Radit semakin membaik walau terkadang ia sering meringis sakit. Seminggu ini juga ia terus memaksa untuk sekolah walau aku bersikeras melarang. Katanya, "Adit kuat, Kak. Kasihan kakak capek-capek kerja buat biaya sekolah Adit, masa Adit malas-malasan, sih."
Aku tersenyum hangat mendengar ucapannya waktu itu. Semangatnya membuat jiwa hampaku kembali bernyawa.
Malam kembali menyapa selepas aku selesai bekerja. Sejenak saja aku termenung di sini, di bawah temaram purnama yang sedikit tertutup awan. Sudah kebiasaanku sedari dulu, hingga aku tak bisa meninggalkan kebiasaan ini. Kebiasaan termenung di trotoar seraya mengenang masa kelam.
Mulai sekarang, aku akan pulang lebih awal dan tidak menunggu larut malam, sebab Radit pasti menungguku.
Aku bersemangat kembali ke rumah, membawa makanan kesukaan Radit yang baru mampu kubeli. Dan benar dugaanku, di depan pintu, terlihat Radit sedang menungguku sambil sesekali menguap.
"Kakak!" teriaknya berlari menyambutku. Aku tersenyum sembari memberikan makanan itu untuknya. Wajahnya tampak sangat senang.
"Kakak ayo ikut Adit!"
Ia menarik-narik tanganku, membuatku mempercepat langkah.
"Ngapain kita kesini?" tanyaku ketika Radit bukan membawaku ke dalam rumah, melainkan ke taman di seberang jalan. Tempatnya lumayan jauh dari rumah kami.
Gelap. Tak ada sedikit pun cahaya. Purnama pun seolah enggan menampakkan sinarnya. Benar-benar gelap. Dan, aku baru tersadar, Radit tidak berada di sini. Sejak kapan ia terlepas dari tanganku? Kemana Radit?
Perasaanku mulai berkecamuk. Di tengah gelapnya malam, angin semakin kencang menelusup kulitku. Dingin.
Tiba-tiba tampak secercah cahaya di ujung sana seiring alunan musik yang terdengar, lalu merambat hingga memutariku---yang ternyata sedang berada di tengah taman.
Jantungku seolah berpacu semakin cepat. Tanganku menutup mulut yang melebar. Mataku membelalak. Beberapa anak mengitariku sembari bermain biola. Biola? Ah, mimpiku!
Cairan bening meluncur begitu saja menyelimuti wajahku. Apa semua ini? Aku benar-benar terkejut. Batin berseru begitu haru dan netra semakin berderai.
Sungguh ini seperti mimpi! Ya, mimpiku!
Radit berdiri paling bersinar di antara anak-anak sebayanya itu. Ia tersenyum hangat padaku. Diri ini benar-benar tak kuasa. Secepat mungkin aku menghampiri lalu memeluk Radit, adikku. Ia meringis karena aku terlalu erat memeluknya.
"Kakak suka, nggak?" katanya.
Kutatap lekat adikku ini. "Kakak sangaaaaatt sukaaaaa!"
"Adit ikut ekskul musik di sekolah. Adit tahu kakak ingin sekali bermain Biola, makanya Adit berlatih supaya bisa bermain bagus buat kakak." Tangannya berputar menunjuk anak-anak lain. "dan mereka semua teman-teman Adit, Kak."
Penuturannya membuat jiwaku semakin haru. Tetesan tangis tak dapat terhenti. Benar-benar hadiah yang amat terindah sepanjang hidup. Impianku tercapai walau Radit yang mewujudkan.
Aku ... bahagia.
oleh: Neesyara

Sumber: Pixabay.com
Ada jalan yang harus kutempuh sebab ada arah yang ingin kutuju.
Ada cita yang ingin kugapai walau badai kerap menghadang.
Mengubur dalam-dalam impian karena sebuah alasan, sanggupkah?
***
Aku termenung di bawah langit malam, menatap purnama dan kerlip ribuan bintang. Ingin kulihat satu saja bintang di sana yang terjatuh, lalu meminta satu permohonan. Impian.
Malam ini trotoar terlihat sepi. Atau mungkin perasaanku yang memang selalu merasa sendiri, walau di keramaian sekalipun. Tak peduli orang-orang menatap penuh heran, aku hanya ingin diam. Sendiri.
Andai saja ibu masih ada.
Andai saja dulu aku tak egois.
Andai saja dulu aku tak terus memaksa.
Andai saja dulu ayah menolak.
Andai saja ayah tak menyusul ibu.
Andai saja dulu itu semua tidak terjadi!
Andai ... andai ... andai. Hanya 'andai' yang selalu terucap di lisan yang hampir tak pernah berbicara.
Semua itu selalu menghantui pikiranku. Pikiran tentang impian yang malah berakhir kekacauan.
Ibu telah meninggal setelah melahirkan Radit---adikku---ketika aku berusia 5 tahun. Sejak saat itu, ayah hanya sendiri mengurus dan membiayai hidup kami berdua.
Saat usia 13 tahun, aku terus meminta pada ayah untuk membelikan biola. Ayah selalu bilang belum punya uang, tetapi aku terus memaksa.
"Ayah ... Hana ingin biola. Hana suka biola. Hana ingin belajar biola. Hana mau jadi pemain biola yang hebat."
Bibir ayah tersenyum di wajah yang tampak sudah mengerut.
"Hana mau jadi pemain biola?"
"Iya!" seruku bersemangat.
Tangannya mengelus lembut puncak kepala. "Besok ayah akan membelikannya." Ia memelukku. Terasa ada cairan menetes di pundak. Ayah menangis.
Walau tubuhnya telah renta, ayah tak menyerah untuk mewujudkan impianku itu. Aku bahagia memiliki ayah hebat seperti ayah.
Namun, ketika hari esok yang kutunggu-tunggu tiba, bukanlah senyuman yang terukir di wajah, melainkan tangis yang begitu menyesakkan. Ayah menjadi korban tabrak lari ketika akan membeli biola itu untukku.
Rasanya bagai dihantam berjuta belati. Sakit. Perih.
Aku meremas jemari lalu mengusap wajah gusar. Menyesali egoku yang membuat ayah tiada. Malam semakin larut dan orang-orang telah benar-benar hilang.
Saatnya aku pulang.
----
Aku berjalan perlahan menyusuri trotoar, sambil sesekali menyeka bekas cairan bening yang masih hinggap di pelupuk mata.
Hingga kulihat di ujung jalan sana ramai orang berkerumun. Ada apa?
Entah dorongan dari mana, kakiku bergerak cepat melangkah ke sana.
"Anak siapa ini?"
"Kok bisa malem-malem di tengah jalan begini?"
"Orang tuanya dimana?"
Itulah ucapan orang-orang yang kudengar sebelum netraku menangkap sosok anak tergeletak lemah bersimbah darah. "RADIT!"
Dengan sigap aku terobos kerumunan dan memeluk tubuh kecil adikku. Air mata kembali berderai, semakin deras. Baru saja aku mengenang masa lalu yang menyesakkan, sekarang apa ini? Tidak. Tidak. Aku tak mau kehilangan orang yang kusayang lagi. Aku tak mau kehilangan Radit. Tak akan! Aku berteriak histeris. Di tengah isakan, orang-orang mulai membantu membawa Radit ke rumah sakit.
Di sepanjang jalan aku terus merutuki kebodohanku. Mengapa Radit tidak diam saja di rumah? Mengapa ia selalu mencariku ketika malam bahkan semakin larut? Aku selalu mengatakan padanya, bahwa aku bekerja dan akan selalu pulang malam. Namun, anak itu benar-benar tak pernah mau mendengarkan. 'Semoga kamu baik-baik saja, Dik,' batinku lemah.
---
Tak ada yang tahu apa yang akan terjadi dalam hidup. Semua benar-benar mengejutkan. Bertahun-tahun aku meratapi perih, letih. Menjalani hidup dengan senyuman palsu. Hanya Radit satu-satunya harta berharga yang masih bersamaku. Dan sekarang, ia divonis mengalami kerusakan pada jantung?
Tidak!
Tangisku kembali pecah ketika mendengar pernyataan dari sang dokter. Seolah ada badai ombak yang menghantam, jiwaku hancur berkeping.
Aku tak memiliki uang untuk membiayai operasi Radit. Karenanya, aku membawanya pulang dan akan merawatnya di rumah. Membelikan obat dari apotik setiap hari. Sehingga aku harus bekerja lebih giat untuk membiayai hidup kami, sekolah Radit, dan juga obatnya.
Uang yang sudah terkumpul dalam celengan kupakai untuk membayar biaya rumah sakit Radit kemarin. Uang itu aku niatkan untuk membeli Biola, impianku. Namun, lagi-lagi harus 'ku kubur dalam-dalam impian itu. Impianku sedari kecil.
Seminggu berlalu dan kondisi Radit semakin membaik walau terkadang ia sering meringis sakit. Seminggu ini juga ia terus memaksa untuk sekolah walau aku bersikeras melarang. Katanya, "Adit kuat, Kak. Kasihan kakak capek-capek kerja buat biaya sekolah Adit, masa Adit malas-malasan, sih."
Aku tersenyum hangat mendengar ucapannya waktu itu. Semangatnya membuat jiwa hampaku kembali bernyawa.
Malam kembali menyapa selepas aku selesai bekerja. Sejenak saja aku termenung di sini, di bawah temaram purnama yang sedikit tertutup awan. Sudah kebiasaanku sedari dulu, hingga aku tak bisa meninggalkan kebiasaan ini. Kebiasaan termenung di trotoar seraya mengenang masa kelam.
Mulai sekarang, aku akan pulang lebih awal dan tidak menunggu larut malam, sebab Radit pasti menungguku.
Aku bersemangat kembali ke rumah, membawa makanan kesukaan Radit yang baru mampu kubeli. Dan benar dugaanku, di depan pintu, terlihat Radit sedang menungguku sambil sesekali menguap.
"Kakak!" teriaknya berlari menyambutku. Aku tersenyum sembari memberikan makanan itu untuknya. Wajahnya tampak sangat senang.
"Kakak ayo ikut Adit!"
Ia menarik-narik tanganku, membuatku mempercepat langkah.
"Ngapain kita kesini?" tanyaku ketika Radit bukan membawaku ke dalam rumah, melainkan ke taman di seberang jalan. Tempatnya lumayan jauh dari rumah kami.
Gelap. Tak ada sedikit pun cahaya. Purnama pun seolah enggan menampakkan sinarnya. Benar-benar gelap. Dan, aku baru tersadar, Radit tidak berada di sini. Sejak kapan ia terlepas dari tanganku? Kemana Radit?
Perasaanku mulai berkecamuk. Di tengah gelapnya malam, angin semakin kencang menelusup kulitku. Dingin.
Tiba-tiba tampak secercah cahaya di ujung sana seiring alunan musik yang terdengar, lalu merambat hingga memutariku---yang ternyata sedang berada di tengah taman.
Jantungku seolah berpacu semakin cepat. Tanganku menutup mulut yang melebar. Mataku membelalak. Beberapa anak mengitariku sembari bermain biola. Biola? Ah, mimpiku!
Cairan bening meluncur begitu saja menyelimuti wajahku. Apa semua ini? Aku benar-benar terkejut. Batin berseru begitu haru dan netra semakin berderai.
Sungguh ini seperti mimpi! Ya, mimpiku!
Radit berdiri paling bersinar di antara anak-anak sebayanya itu. Ia tersenyum hangat padaku. Diri ini benar-benar tak kuasa. Secepat mungkin aku menghampiri lalu memeluk Radit, adikku. Ia meringis karena aku terlalu erat memeluknya.
"Kakak suka, nggak?" katanya.
Kutatap lekat adikku ini. "Kakak sangaaaaatt sukaaaaa!"
"Adit ikut ekskul musik di sekolah. Adit tahu kakak ingin sekali bermain Biola, makanya Adit berlatih supaya bisa bermain bagus buat kakak." Tangannya berputar menunjuk anak-anak lain. "dan mereka semua teman-teman Adit, Kak."
Penuturannya membuat jiwaku semakin haru. Tetesan tangis tak dapat terhenti. Benar-benar hadiah yang amat terindah sepanjang hidup. Impianku tercapai walau Radit yang mewujudkan.
Aku ... bahagia.






NiningMeu dan 3 lainnya memberi reputasi
4
459
4


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan