- Beranda
- Komunitas
- Entertainment
- The Lounge
Inilah Alasan Kenapa Sistem Pendidikan Indonesia Belum Sebaik Finlandia


TS
abdulkarim15
Inilah Alasan Kenapa Sistem Pendidikan Indonesia Belum Sebaik Finlandia
Halo, gansis. Kali ini saya akan posting thread berjudul "Inilah Alasan Kenapa Sistem Pendidikan Indonesia Belum Sebaik Finlandia". Kalau thread ini repost ataupun berantakan, minta maaf ya. Silakan Membaca.

Sampai saat ini, negara yang dinobatkan memiliki pendidikan terbaik di dunia adalah Finlandia, bahkan kabarnya US dan Korea Selatan akan menduplikasi sistem pendidikan dari Finlandia. Tampaknya, pendidikan memang segitu pentingnya sampai-sampai negara adidaya mau merubah sistem pendidikannya demi mendapat generasi penerus bangsa yang menjanjikan. Hal ini tak luput juga dari Indonesia. Perhatian para pakar pendidikan, guru, dosen, aktivis hingga mahasiswa FIP/FKIP pun tertarik untuk menganalisis pendidikan Finlandia.
Banyak diantara mereka menemukan perbedaan antara pendidikan di Indonesia dengan pendidikan di Finlandia, seperti tidak adanya PR, singkatnya durasi bersekolah, tidak adanya ujian nasional, usia masuk sekolah 7 tahun, guru minimal S2, dan masih banyak lagi faktor lainnya. Sayangnya, upaya pemerintah Indonesia dalam menyelenggarakan pendidikan berkualitas baik direalisasikan dengan caranya sendiri berupa pergantian kurikulum yang terlalu “ambisius”.
Padahal, mungkin saja kesalahan Indonesia bukan terletak pada kurikulumnya. Jika diibaratkan, kurikulum adalah pistol, seandainya seseorang ingin menembak mengenai terget, maka yang harusnya berkualitas baik bukan pistolnya, namun skilldari si penembak tersebut. Sama halnya dengan pendidikan, jika ingin mendapatkan hasil pendidikan yang berkualitas baik, yang perlu dibenahi bukan kurikulumnya, namun keterampilan mengajar dan kompetensi gurunya.
Pemerintah Indonesia sudah menyadari perbedaan pendidikan di Indonesia dengan Finlandia, tapi mengapa kita masih belum bisa memperoleh pendidikan sebaik Finlandia? Simak beberapa lima kemungkinan alasannya berikut ini.
1. Rendahnya anggaran pendidikan

Anggaran pendidikan Indonesia hanya 20% dari APBN atau sekitar 416 triliun rupiah. Ini mungkin telah dipertimbangkan untuk dialokasikan kepada beasiswa, BOS, gaji guru, dan biaya lainnya. Namun demikian, rendahnya anggaran pendidikan akan berdampak pada kualitas penyelenggaraan pendidikan, dan kualitas penyelenggaraan pendidikan yang rendah jelas berdampak pada output pendidikan, maka jangan heran kalau pendidikan Indonesia tidak bisa sebaik Finlandia, sebab “modal” pemerintah untuk investasi jangkan panjang yang satu ini sangat minim.
Bilamana meninjau fasilitas non fisik penunjang pendidikan Finlandia, guru merupakan profesional lulusan S2 yang dibiayai secara penuh oleh pemerintah. Sekolah negeri bebas biaya, sekolah swasta pun diatur secara ketat. Meskipun mayoritas tingkat kesejahteraan masyarakat baik, namun Finlandia tidak mematok harga untuk anak bersekolah, sehingga kesempatan belajar terbuka lebar untuk anak yang memiliki potensi dari kalangan menengah kebawah. Dengan kata lain, pemerintah memberikan beasiswa full kepada siswa di sekolah negeri dan calon guru yang kuliah hingga S2. Jika 416 T anggaran pendidikan di Indonesia bisa menghasilkan layanan pendidikan seperti sekarang, tidak dapat dibayangkan berapa yang dikeluarkan pemerintah Finlandia untuk menyelenggarakan pendidikan yang sedemikain rupa. Hmm, pasti keren, ya?
2. Renggangnya seleksi penerimaan mahasiswa keguruan

Seleksi mahasiswa untuk masuk FKIP/FIP/IKIP sebaiknya dilakukan secara ketat, dalam artian hanya mereka yang punya kompetensi atau punya indikator sebagai guru saja yang bisa lolos masuk. Karena bukan tidak mungkin, besarnya peluang masuk di jurusan ini akan menjadikan FKIP menjadi pilihan terakhir manakala calon mahasiswa telah putus asa lantaran tak lolos pada jurusan lain. Dampak tidak adanya passion mahasiswa dalam mendalami ilmu pendidikan ini, ialah tidak seriusnya mahasiswa dalam menjalani studi, berorientasi pada nilai (bukan kompetensi), dan kualitas lulusan tidak sesuai dengan kebutuhan institusi pendidikan. Terlebih lagi jenjang mereka adalah S1.
3. Faktor sosio-kultural masyarakat

Masyarakat Indonesia adalah masyarakat yang unik. Mereka memiliki cara tersendiri tentang bagaimana mendidik anak tanpa sekolah, bagaimana mengajari keturunannya untuk bisa hidup dengan memanfaatkan alam. Faktor sosial budaya merupakan salah satu alasan pokok mengapa Indonesia tidak bisa sebaik Finlandia dalam hal pendidikan, sebab betapapun pemerintah memberikan keleluasaan untuk bersekolah melalui Kartu Indonesia Pintar, BOS, beasiswa siswa berpretasi dan lain-lain. Jika masyarakat menomorduakan kepentingan pendidikan, maka potensi anak yang sebenarnya bisa dikembangkan melalui pendidikan tak bisa tereksplorasi dan berkembang.
4. Ikatan dinas mahasiswa keguruan

Tidak adanya ikatan dinas atau jaminan pekerjaan bagi mahasiswa lulusan FKIP menjadi alasan berikutnya mengapa pendidikan kita tak bisa sebaik Finlandia. Tidak tersedianya lapangan pekerjaan bagi lulusan FKIP menyebabkan mereka mengajar sebagai guru sukwan dengan sangat terpaksa, hal ini berimplikasi pada motif yang mendasari karir mereka, bukan sebagai pengajar lagi, melainkan sebagai pencari uang. Pekerjaan bukanlah soal kompetensi dan profesionalitas, tapi soal penghasilan. Hal ini tentu saja akan memperburuk kualitas pendidikan. Terlebih lagi diberlakukan sistem K2 oleh pemerintah, dimana sekolah tertentu tidak diperbolehkan untuk menerima guru sukwan, lalu dikemanakan lulusan FKIP yang jumlahnya tidak sedikit ini? Apakah hanya akan meningkatkan angka pengangguran terdidik?
5. Lebih mengutamakan lamanya belajar ketimbang kualitas pengajaran

Profesor Erno August Lehtinen, guru besar pendidikan dari Universitas Turku, Finlandia, sebagaimana diberitakan Detik.com pada (8/10/2016) memaparkan bahwa yang terpenting dalam suatu pendidikan adalah kualitas pengejarannya, bukan lamanya pembelajaran. Jika dikomparasikan dengan pendidikan di Indonesia akan tampak jelas perbedaannya. Bahwa pembelajaran dengan durasi yang lama di Indonesia membuat hasil belajar tidak maksimal. Terlebih lagi, masih ada PR yang harus dikerjakan, belum lagi ikut les di Lembaga Bimbingan Belajar (LBB). Dengan demikian maka porsi belajar akan terlalu banyak dan dengan banyaknya beban akan menghambat tumbuh kembang siswa.
Artikel ini menguraikan secara sederhana soal alasan mengapa pendidikan kita tidak bisa sebaik Finlandia, bukan untuk mencari-cari kesalahan pemerintah atau pihak tertentu, bukan juga menunjukkan kelemahan dari pendidikan maupun pemerintah Indonesia, namun lebih kepada bahan evaluasi agar kedepannya dapat dipertimbangkan sistem pendidikan yang ideal sesuai dengan UU, APBN yang tersedia, kebutuhan masa depan dan karakteristik masyarakat Indonesia.
SUMBER => Shopback
Demikian thread ini saya posting. Jika suka, kasih cendol atau bintang 5. Jika tidak suka, kasih bata. Terima Kasih.
Spoiler for Alasan Kenapa Sistem Pendidikan Indonesia Belum Sebaik Finlandia:
5 Alasan Mengapa Pendidikan Indonesia Tak Sebaik Finlandia

Sampai saat ini, negara yang dinobatkan memiliki pendidikan terbaik di dunia adalah Finlandia, bahkan kabarnya US dan Korea Selatan akan menduplikasi sistem pendidikan dari Finlandia. Tampaknya, pendidikan memang segitu pentingnya sampai-sampai negara adidaya mau merubah sistem pendidikannya demi mendapat generasi penerus bangsa yang menjanjikan. Hal ini tak luput juga dari Indonesia. Perhatian para pakar pendidikan, guru, dosen, aktivis hingga mahasiswa FIP/FKIP pun tertarik untuk menganalisis pendidikan Finlandia.
Banyak diantara mereka menemukan perbedaan antara pendidikan di Indonesia dengan pendidikan di Finlandia, seperti tidak adanya PR, singkatnya durasi bersekolah, tidak adanya ujian nasional, usia masuk sekolah 7 tahun, guru minimal S2, dan masih banyak lagi faktor lainnya. Sayangnya, upaya pemerintah Indonesia dalam menyelenggarakan pendidikan berkualitas baik direalisasikan dengan caranya sendiri berupa pergantian kurikulum yang terlalu “ambisius”.
Padahal, mungkin saja kesalahan Indonesia bukan terletak pada kurikulumnya. Jika diibaratkan, kurikulum adalah pistol, seandainya seseorang ingin menembak mengenai terget, maka yang harusnya berkualitas baik bukan pistolnya, namun skilldari si penembak tersebut. Sama halnya dengan pendidikan, jika ingin mendapatkan hasil pendidikan yang berkualitas baik, yang perlu dibenahi bukan kurikulumnya, namun keterampilan mengajar dan kompetensi gurunya.
Pemerintah Indonesia sudah menyadari perbedaan pendidikan di Indonesia dengan Finlandia, tapi mengapa kita masih belum bisa memperoleh pendidikan sebaik Finlandia? Simak beberapa lima kemungkinan alasannya berikut ini.
1. Rendahnya anggaran pendidikan

Anggaran pendidikan Indonesia hanya 20% dari APBN atau sekitar 416 triliun rupiah. Ini mungkin telah dipertimbangkan untuk dialokasikan kepada beasiswa, BOS, gaji guru, dan biaya lainnya. Namun demikian, rendahnya anggaran pendidikan akan berdampak pada kualitas penyelenggaraan pendidikan, dan kualitas penyelenggaraan pendidikan yang rendah jelas berdampak pada output pendidikan, maka jangan heran kalau pendidikan Indonesia tidak bisa sebaik Finlandia, sebab “modal” pemerintah untuk investasi jangkan panjang yang satu ini sangat minim.
Bilamana meninjau fasilitas non fisik penunjang pendidikan Finlandia, guru merupakan profesional lulusan S2 yang dibiayai secara penuh oleh pemerintah. Sekolah negeri bebas biaya, sekolah swasta pun diatur secara ketat. Meskipun mayoritas tingkat kesejahteraan masyarakat baik, namun Finlandia tidak mematok harga untuk anak bersekolah, sehingga kesempatan belajar terbuka lebar untuk anak yang memiliki potensi dari kalangan menengah kebawah. Dengan kata lain, pemerintah memberikan beasiswa full kepada siswa di sekolah negeri dan calon guru yang kuliah hingga S2. Jika 416 T anggaran pendidikan di Indonesia bisa menghasilkan layanan pendidikan seperti sekarang, tidak dapat dibayangkan berapa yang dikeluarkan pemerintah Finlandia untuk menyelenggarakan pendidikan yang sedemikain rupa. Hmm, pasti keren, ya?
2. Renggangnya seleksi penerimaan mahasiswa keguruan

Seleksi mahasiswa untuk masuk FKIP/FIP/IKIP sebaiknya dilakukan secara ketat, dalam artian hanya mereka yang punya kompetensi atau punya indikator sebagai guru saja yang bisa lolos masuk. Karena bukan tidak mungkin, besarnya peluang masuk di jurusan ini akan menjadikan FKIP menjadi pilihan terakhir manakala calon mahasiswa telah putus asa lantaran tak lolos pada jurusan lain. Dampak tidak adanya passion mahasiswa dalam mendalami ilmu pendidikan ini, ialah tidak seriusnya mahasiswa dalam menjalani studi, berorientasi pada nilai (bukan kompetensi), dan kualitas lulusan tidak sesuai dengan kebutuhan institusi pendidikan. Terlebih lagi jenjang mereka adalah S1.
3. Faktor sosio-kultural masyarakat

Masyarakat Indonesia adalah masyarakat yang unik. Mereka memiliki cara tersendiri tentang bagaimana mendidik anak tanpa sekolah, bagaimana mengajari keturunannya untuk bisa hidup dengan memanfaatkan alam. Faktor sosial budaya merupakan salah satu alasan pokok mengapa Indonesia tidak bisa sebaik Finlandia dalam hal pendidikan, sebab betapapun pemerintah memberikan keleluasaan untuk bersekolah melalui Kartu Indonesia Pintar, BOS, beasiswa siswa berpretasi dan lain-lain. Jika masyarakat menomorduakan kepentingan pendidikan, maka potensi anak yang sebenarnya bisa dikembangkan melalui pendidikan tak bisa tereksplorasi dan berkembang.
4. Ikatan dinas mahasiswa keguruan

Tidak adanya ikatan dinas atau jaminan pekerjaan bagi mahasiswa lulusan FKIP menjadi alasan berikutnya mengapa pendidikan kita tak bisa sebaik Finlandia. Tidak tersedianya lapangan pekerjaan bagi lulusan FKIP menyebabkan mereka mengajar sebagai guru sukwan dengan sangat terpaksa, hal ini berimplikasi pada motif yang mendasari karir mereka, bukan sebagai pengajar lagi, melainkan sebagai pencari uang. Pekerjaan bukanlah soal kompetensi dan profesionalitas, tapi soal penghasilan. Hal ini tentu saja akan memperburuk kualitas pendidikan. Terlebih lagi diberlakukan sistem K2 oleh pemerintah, dimana sekolah tertentu tidak diperbolehkan untuk menerima guru sukwan, lalu dikemanakan lulusan FKIP yang jumlahnya tidak sedikit ini? Apakah hanya akan meningkatkan angka pengangguran terdidik?
5. Lebih mengutamakan lamanya belajar ketimbang kualitas pengajaran

Profesor Erno August Lehtinen, guru besar pendidikan dari Universitas Turku, Finlandia, sebagaimana diberitakan Detik.com pada (8/10/2016) memaparkan bahwa yang terpenting dalam suatu pendidikan adalah kualitas pengejarannya, bukan lamanya pembelajaran. Jika dikomparasikan dengan pendidikan di Indonesia akan tampak jelas perbedaannya. Bahwa pembelajaran dengan durasi yang lama di Indonesia membuat hasil belajar tidak maksimal. Terlebih lagi, masih ada PR yang harus dikerjakan, belum lagi ikut les di Lembaga Bimbingan Belajar (LBB). Dengan demikian maka porsi belajar akan terlalu banyak dan dengan banyaknya beban akan menghambat tumbuh kembang siswa.
Artikel ini menguraikan secara sederhana soal alasan mengapa pendidikan kita tidak bisa sebaik Finlandia, bukan untuk mencari-cari kesalahan pemerintah atau pihak tertentu, bukan juga menunjukkan kelemahan dari pendidikan maupun pemerintah Indonesia, namun lebih kepada bahan evaluasi agar kedepannya dapat dipertimbangkan sistem pendidikan yang ideal sesuai dengan UU, APBN yang tersedia, kebutuhan masa depan dan karakteristik masyarakat Indonesia.
SUMBER => Shopback
Demikian thread ini saya posting. Jika suka, kasih cendol atau bintang 5. Jika tidak suka, kasih bata. Terima Kasih.






4iinch dan 48 lainnya memberi reputasi
49
9.3K
Kutip
179
Balasan


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan