Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

dianasywaraAvatar border
TS
dianasywara
Anak Tukang Becak
Penulis : DiaNasywAra (Sukmawati)
#RepostFromKBM
#KisahInspiratif
=============================

"Halah, kamu itu pakai kuliah segala!! Harusnya kamu tahu diri, bapakmu itu cuma tukang becak. Gadis seusia kamu sudah banyak yang bekerja, bisa menghasilkan uang sendiri!"

Aku cuma bisa mengucap istighfar mendengar kata-kata bude. Bukan cuma sekali aku mendengar kata-kata itu, tapi tetap saja selalu menorehkan sakit hati yang sama.

"Bilang sama bapak kamu itu, utangnya bayar! Makanya, nggak usah maksa nyekolahin anak. Mau makan aja susah!"

"Iya, Bude. Nanti Tiwi bilang ke bapak." Aku cuma menunduk, sebagian dalam hati kecilku mengakui kalau kata-kata itu ada benarnya.

Bude berlalu pergi sambil menghentakkan kakinya. Wajar saja jika dia marah, utang Bapak sudah menunggak lebih dari tiga bulan. Sejak maraknya ojek online, sudah jarang yang menggunakan tenaga Bapak. Tak jarang, dalam sehari Bapak tidak mendapatkan penumpang. Pulang dengan tangan kosong. Sesekali jika beruntung, Bapak dipanggil untuk mengangkut sesuatu menggunakan becak. Upahnya lumayan.

***

"Pak, bagaimana kalau Tiwi berhenti kuliah saja."

"Kamu itu ngomong apa toh, Nak." Seperti biasa, Bapak menanggapi dengan santai sambil menyesap kopi pekat yang kusuguhkan.

"Tadi bude datang menagih utang. Tiwi tahu, kemarin Bapak sudah punya uangnya, tapi Tiwi minta untuk bayar uang praktek," ucapku, sedih dan menyesal.

"Memang harus diutamakan dulu sekolah kamu. Bude bisa menunggu."

"Tapi, Pak ...."

"Bapak ini bodoh, Makanya hidup kita miskin. Bapak tidak mau, kamu hidup miskin juga seperti Bapak ini."

"Apa harus dengan sekolah, Pak? Tiwi sehat dan kuat, sudah bisa cari kerja agar Bapak tak perlu bekerja lagi."

"Kalau kamu mau bantu bapak, kamu belajar yang rajin. Lulus kuliah dulu, baru bekerja!" Ucapan Bapak terdengar tegas, sehingga tak bisa kubantah lagi.

Sejak Ibu meninggal, kami hanya tinggal berdua. Ibu meninggal karena pendarahan setelah melahirkan adikku secara prematur dalam usia kandungan tujuh bulan. Seminggu kemudian, adik pun pergi menyusul ibu.

Usia Bapak masih muda, beberapa kali kusarankan agar Bapak menikah lagi tapi jawabannya tetap sama.

"Bapak mungkin akan menikah, tapi nanti. Saat kamu sudah berhasil."

Terkadang di lain waktu Bapak akan menjawab, bahwa beliau takut jika menikah, maka akan memiliki tanggungan baru. Sehingga Bapak tidak bisa menyekolahkanku.

Semua itu menjadi pemicu untukku, agar belajar lebih rajin dari yang lain. Saat teman-temanku berlibur aku mengisi waktu menjadi guru private untuk anak SD dan SMP.

Saat teman-temanku masih meringkuk dalam selimut, aku membuka kembali materi kuliah yang telah diajarkan oleh dosen.

Sejujurnya, dalam usia muda-ku, ada kalanya aku iri dengan teman-teman di kampus. Mereka selalu punya waktu luang yang banyak, jalan-jalan ke mall berombongan ataupun dengan pacar. Aku? Jangankan pacaran, bahkan menyukai lawan jenis pun aku tak berani. Tepatnya, tak pantas. Aku tak punya waktu untuk itu.

Jalan-jalan dan refreshing adalah hal yang mewah bagiku. Aku tak punya uang lebih, bahkan untuk sekadar menginjak yang namanya lobby mall. Uang yang diberikan ayah hanya cukup untuk ongkos ke kampus. Aku selalu membawa bekal dari rumah dan jika sangat menginginkan sesuatu, aku memilih berjalan kaki, agar uang angkot bisa kutabung.

Beruntung, aku mendapat beasiswa sebagai mahasiswa tidak mampu dan berprestasi, jadi Bapak tidak pusing mengenai pembayaran SPP.

Cuma satu tujuanku, aku harus lulus secepatnya, agar bisa bekerja seperti yang diimpikan Bapak.

Tak gampang memang, terkadang putus asa melihat Bapak banting tulang mengerjakan apa saja yang bisa menghasilkan uang. Sekali waktu, aku mendapati Bapak mengiba kepada Bude agar bisa dipinjami uang lagi, meskipun harus menutup telinga mendengar kata-kata yang sangat menyakitkan dari Bude.

Akhirnya, setelah tiga tahun sebelas bulan kemudian, aku bisa menyelesaikan kuliah, dengan nilai yang sangat memuaskan.

***

"Pratiwi Sudarman. IPK 3,75." Terdengar namaku dipanggil, setelah diumumkan sebagai mahasiswa cumlaude, peraih IPK tertinggi. Aku melangkah menuju panggung.

Kulihat Bapak berdiri dengan percaya diri di antara para orang tua mahasiswa lainnya. Melakukan tepuk tangan paling keras. Wajahnya menyiratkan raut yang sangat bahagia.

Kuikuti ceremony dengan khidmat, kuucapkan terima kasih dengan tulus pada rektor saat beliau menjabat tanganku dan mengucapkan selamat.

Seperti mimpi, hari ini aku berdiri di sini. Sebagai lulusan termuda dan terbaik di antara tiga ribu mahasiswa yang menggunakan toga yang sama.

Seumur hidup, aku tak pernah melihat Bapak menangis. Bahkan saat Ibu dan Adik meninggal, beliau tabah. Akan tetapi, hari ini kulihat Bapak meneteskan air mata.

"Nak, terima kasih." Bapak memelukku, aku terisak dalam dekapannya. Tak kuperdulikan lagi mereka yang menatap kami. Mungkin bagi mereka, kelulusan ini adalah hal yang biasa, tapi tidak bagiku.

"Tiwi!" Sebuah suara memanggilku, aku melepaskan diri dari pelukan Bapak. Kulihat dosen pembimbingku di sana. Aku melepaskan toga kemudian menyalaminya.

"Terima kasih atas bantuannya, Pak," ucapku sambil sedikit membungkukkan badan.

"Pak Rektor ingin bicara."

"Baiklah, Pak. Bapak saya boleh ikut?" tanyaku.

"Iya, silahkan. Justru Pak Rektor sekalian ingin bertemu dengan Bapak Tiwi."

Rektor berdiri menyambut kami.

"Silahkan duduk," ucapnya sambil menunjuk ke sofa yang berada di depannya.

"Pertama-tama, Bapak ingin mengucapkan selamat atas kelulusannya. Sudah lama para dosen di sini memperhatikan Tiwi."

Aku dan Bapak cuma diam, menanti kata-kata Pak Rektor selanjutnya.

"Kami juga tahu tentang profesi Bapak yang, maaf, sebagai tukang becak. Jujur, kami sangat bangga pada Bapak dan ananda Tiwi." Pak Rektor, membungkuk pada Bapak dan Bapak membalaanya degan membungkukkan tubuh lebih rendah.

"Karena itu, kami bermaksud meminta tolong, kirasanya ananda Pertiwi sudi mengabdi sebagai asisten dosen muda di kampus ini, nanti akan kami beri beasiswa S2, agar bisa mengabdi di kampus ini sebagai dosen."

Ucapan Pak Rektor itu membuat aku dan Bapak sejenak saling pandang.

"Bersedia, kan?" tanya Pak Rektor.

"Be-- bersedia, Pak!" Aku menyalami semua yang berada di ruangan itu, tanpa kecuali. Termasuk Mbak Inah penjaga kantin yang selalu membuatkan kopi. Mataku buram oleh air mata. Ketika semua orang telah kusalami, aku menubruk kaki Bapak. Bersujud di sana.

***

Gaji sebagai asisten dosen memang kecil, tapi aku bersyukur. Untuk pertama kali dalam hidupku, aku memiliki penghasilan sendiri dan bisa membeli apa saja yang kuinginkan.

Sejak saat itu, aku melarang Bapak bekerja. Aku selalu mendesaknya untuk menikah, tapi jawabannya, beliau akan menikah setelah aku menikah.
Mengenai Bude, dia selalu membanggakanku. Semua orang yang ditemui pasti akan diceritakannya tentang perjuangan Bapaj yang menyekolahkanku. Bude selalu menjadikanku sebagai contoh untuk anak-anaknya.

"Kalian itu sekolah yang rajin! Biar pintar seperti kakakmu Tiwi!!"
Suara Bude yang keras bahkan terdengar sampai ke rumah sederhana kami, tiapkali dia mengomeli anak-anaknya.

- End-

Makassar, 12 Feb 2020
Diubah oleh dianasywara 11-02-2020 22:45
nurulnadlifa
NadarNadz
nona212
nona212 dan 16 lainnya memberi reputasi
17
1.8K
20
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Komunitas Pilihan