Kaskus

Hobby

kangsholeh1Avatar border
TS
kangsholeh1
ARIF (part1)

“Sudah besar mau jadi apa Rif?”
 
“Mau jadi dokter, buat nyembuhin ibu!”
 
Anak kecil itu menangis sesenggukan di depan makam Neneknya, mengingat kembali percakapannya dengan sang nenek untuk terakhir kalinya. Senyum dan raut wajah neneknya masih ia simpan rapi diingatan. Sementara ibunya terdiam dihadapan, menatap pada makam yang mestinya ia juga tangisi. Air mata sudah kering, wanita berparas mungil itu hanya diam terheran melihat kenyataan yang ia hadapi.
 
Khofifah nama ibunya, menjadi bisu sejak trauma yang ia alami saat sepuluh tahun lalu. Dan kini anaknya, Arif tersudut lemah. Anak lelaki yang baru berusia sembilan tahun itu harus ikhlas melepas kepergian nenek yang selama ini membanting tulang menghidupi dirinya juga ibunya yang bisu.
 
Khofifah berhenti bicara, sejak ia mengalami kejadian mengenaskan. Dirudapaksa saat usianya masih belia, 15 tahun. Dan menjadi bertambah parah gangguan otaknya setelah ia melahirkan Arif. Anak lelaki yang tak pernah ia sentuh atau dekati. Anak yang seharusnya menjadi tanggung jawabnya. Dia Khofifah, dan kini bocah berusia sembilan tahun itu harus berpikir keras, berjuang menjadi besar dan dewasa agar dia dan ibunya bisa bertahan hidup.
 
Kembali dari makam, anak itu terus menggenggam jemari lentik ibunya yang patuh padanya. Tubuh dan usianya mungkin lebih besar dari Arif, tapi otaknya jauh dari kata normal. Semenjak kejadian itu Khofifah lebih memilih bungkam, tak peduli akan hidup, semua terampas ketika kejadian malang itu menimpanya.
 
Dan kini Arif, memaksa senyum pada ibunya. Berusaha ikhlas meski ia tak paham apa makna ikhlas, berusaha sabar meski ia tak tahu apa itu sabar. Semua yang ia tahu hanya tentang wanita tua yang kini jasadnya telah terpendam jauh di dalam tanah. Bagaimana neneknya berjuang mencari makan, bagaimana neneknya bersikap baik pada Khofifah meski menyusahkan, bagaimana neneknya menahan air mata ketika masalah datang padanya. Arif tak tahu semua, ikhlas, sabar, hanya bisa ia dapatkan di mata seorang nenek yang kini telah tutup usia.
 
Mereka tiba di rumah yang reyot di Kampung Sentul, sebuah kampung yang katanya bukan kampung aslinya. Karena dulu, ketika Khofifah mengandung tanpa status menikah, Khofifah dan ibunya diusir dan pindah ke kampung ini. Menetap di gubuk reyot, membesarkan Arif dan itu pun harus membayar uang sewa.
 
“Bu… Ibu jualan gado-gado kayak nenek ya!” teriak Arif, sementara Khofifah diam duduk menekuk lututnya, bola mata berputar, dan menggoyang-goyangkan badannya ke depan dan belakang
 
“Bu… bu,” lirih Arif hingga perlahan bola mata itu berhenti berputar dan diam menatap mata mungil Arif dia mengerjapkan mata dan mengangguk-angguk.
“Ibu bisa?”


Khofifah mengangguk lagi, Arif antar ibunya ke dapur menunjukkan semua peralatan dapur, ulekan juga bumbu kacang yang sempat dibuat nenek tempo hari, juga sayuran yang belum disiangi. Ia tarik tangan Khofifah, kemudian memaksanya untuk membantu. Khofifah mampu, ia paham, ia menyiangi sayuran, kemudian Arif membawa satu persatu perabotan ke depan. Warung mereka tetap buka, meski baru ditinggal nenek kesayangannya. Karena hidup terus berlanjut, dan dia butuh uang untuk makan dan sekolah.
 
Si Arif kecil, duduk terdiam memandangi wajah ibunya yang terdiam di warungnya yang sepi. Khofifah hanya diam, bahkan tak sesekalipun mengajak bicara, memeluk atau bahkan menciumnya. Anak lelaki kecil itu pun ingin, ibunya sembuh. Ingin tahu dimana ayahnya yang tak pernah diceritakan dalam lembaran hidupnya, tak pernah ia dengar dari mulut neneknya. Air mata mengalir, kemudian ia edarkan pandangan kesekeliling gubuknya yang reot. Memikirkan dirinya harus bekerja keras, tak lagi membantu nenek tapi kini menjadi tulang punggung untuk ibunya yang kata orang setengah tidak waras. Alasan penyakit ibunya tak pernah ia ketahui, yang ia tahu adalah ibunya seperti itu sebelum melahirkannya. Aneh. Padahal, beberapa piala penghargaan tersusun rapi di atas lemari Khofifah. Arif pun melihatnya satu per satu. Ibunya pernah menjadi juara matematika, pernah juga menjadi juara bahasa inggris, tapi semua itu sia-sia.
 
Arif terdiam, hingga tak lama seseorang datang membeli gado-gado. Khofifah bangkit, linglung seperti orang bodoh hingga membuat orang itu menunggu. Anak kecil itu bangkit, kemudian mengambil alih pekerjaannya.
 
“Biar Arif aja bu, ibu duduk saja.” Khofifah tak diam, ia menggerutu mengeluarkan suara seraya memaksa. Hasilnya tak sempurna.
 
“Arif aja bu! Ibu duduk disitu!” perintah anak lelaki berusia sembilan tahun. Tak pantas untuk didengar, tapi ini Arif, anak lelaki itu memang terpaksa berteriak karena keadaan Khofifah.
“Rif… kamu kenapa masih jualan? Kan masih berduka?”
 
“Kalo nggak jualan, nanti sayurannya busuk, nenek sudah belanja kemarin.” “Ibumu tuh ajari Rif, kasihan kamu. Ya Allah Nak.”
 
“Ini Bu,” kata Arif seraya memberikan sebungkus gado-gado. “Ini,” balasnya memberikan selembar kertas merah padanya. “Kembaliannya belum ada bu.” “Ndak apa-apa Rif, buat kamu.”
Wajahnya semringah, meski air mata terus mengalir merindukan keberadaan sang nenek.
 
Anak itu duduk di samping ibunya yang selalu termenung. Merebahkan kepalanya di bahu
 
Khofifah yang mungil. Terisak, kemudian perlahan menangis.
 
“Alhamdulillah Bu… kita dapat uang,” katanya sesenggukan. Anak sekecil itu kini harus berjuang. Membayangkan dirinya akan pergi sekolah, menyusuri perbukitan juga hutan dan sungai, dan kemudian cemas memikirkan ibunya. Siapa yang akan menjaga ibunya, Khofifah tak pernah membuka suara. Bahkan untuk makan dan minum pun selalu diingatkan neneknya atau bahkan disuapi.


 
***



Malam itu. Arif terlelap memeluk erat tubuh Khofifah. Tatapan mata Khofifah kosong, perlahan wanita yang kini berusia 24 tahun itu memandanginya. Mengelus rambut Arif dan mencium ubun-ubunnya. Hingga perlahan terdengar suara dari mulut kecil Arif mengingat sang nenek yang terbiasa menyanyikan tembang dolalan sebelum matanya terpejam, terasa nyata dan dekat. Seakan pelukan nenek masih ia rasakan. Lirih anak kecil itu menyanyi, menembus keheningan malam, puluhan bahkan ratusan bintang malam, bersahutan seperti menghiburnya. Udara malam yang masuk ke sela-sela bambu tua, semakin membuat Khofifah mengeratkan pelukannya.
 
Gambang Suling

 
Gambang suling kumandhang swarane

 
Thulat-Thulit kepenak unine

 
Unine mung nrenyuhake

 
Bereng lan kentrung

 
Ketipung usling sigrak gambangane

 
 
Sesak napasnya, hingga akhirnya matanya lelah mengeluarkan air mata. Arif sesenggukan kemudian terlelap.
 
***

 
 
Matahari menerobos masuk melalui sela-sela bambu kediaman Nyai Masna. Seorang nenek penjual gado-gado yang baru saja meninggal satu minggu yang lalu. Setelah masa berduka, anak lelaki itu harus kembali ke sekolah. Sejak pagi ia sudah bangun, membuat sarapan untuk dirinya juga ibunya. Ia tatap Khofifah, wanita itu memang tak pernah mau mencoba bangkit. Banyak yang bilang salah satu syarafnya putus saat ia mengalami depresi yang sangat berat. Satu minggu ini, kebutuhan rumah masih aman. Beberapa tetangga meski rumah berjauhan tetap mengirimkan bantuan. Beras dan lainnya masih cukup untuk satu bulan kedepan. Tapi, Arif. Harus bekerja, untuk membiayai kebutuhan hidup lainnya.
 
Pagi ini bersamanya, Khofifah turun bukit. Mengantarkan putranya menuju sekolah, tapi ini bukan mengantar. Ini Arif yang memaksa karena anak itu khawatir terjadi sesuatu terhadap ibunya. Ini adalah pertama kali ia mengajak Khofifah. Tak henti tangan mungil itu menggamit jemari lentik ibunya. Mereka berjalan, menempuh perjalanan satu kilometer jauhnya. Menyusuri pedesaan, Khofifah wajahnya terlihat mungil dan cerah, rambutnya sebahu ia kuncir kuda, kulitnya putih dan senyum di wajahnya gemilang. Untuk sekian lama akhirnya ia bisa meninggalkan rumah cukup jauh. Kemeja lapuk juga rok prisket coklat tua ia kenakan dengan sedal jepit yang sudah lapuk. Menggandeng erat tangan putranya yang mengenakan seragam lecek, tanpa alas kaki, sepatunya ia sanggah di leher karena perjalanan cukup jauh dan mesti menyebrangi sungai. Hal yang sama katanya dulu saat Khofifah masih sekolah.
 
Jalan berbukit yang belum beraspal, hutan pinus dan keindahan persawahan dengan pesona perbukitan di hadapan menemani perjalanan mereka. Berjalan penuh gairah, senyum di


wajah Arif mengembang tak henti tertawa melihat sikap ibunya yang hampir sama dengannya.
 
Senang bermain, usil dan bercanda riang.
 
“Lif! Belajar yang pinter yoo!” teriak salah seorang warga desa. Anak lelaki itu menjawab dengan semangat, “yo!” ia bersyukur tinggal di lingkungan yang begitu peduli akannya. Kelaparan bukan menjadi soal, tempat tinggal selama tidak ada badai dan hujan besar masih aman, tapi siapa yang mau memikirkan masa depannya? Memikirkan biaya pendidikan atau setidaknya mewujudkan harapan Arif untuk bisa menjadi dokter? Arif dengan semangat ia terus melangkah hingga tiba di desa Wonogoro, Lumbang, Probolinggo. Riuh, anak-anak berlarian menuju sekolah. Arif tidak sendiri, beberapa temannya pun ikut serta melakukan perjalanan bersamanya. Mereka tak beralas kaki, dengan seragam lecek, menyusuri hanya bermodalkan semangat.
 
Setibanya di sekolah sebuah keran telah tersedia di halaman sekolah mereka mencuci kaki, kemudian mengenakan sepatu yang sebelumnya mereka lingkarkan di leher.
“Ibu, tunggu disini ya.”
 
Khofifah diam, dia duduk di pelataran sekolah. Sementara Arif masuk ke dalam. Berjam-jam anak itu tekun belajar serius. Memerhatikan guru dengan harapan ia bisa menjadi dokter ketika besar. Matematika menjadi pelajaran kesukaannya seperti Khofifah dulu. Setelah bel berdering, anak-anak berhamburan ke luar sekolah. Dan Arif, berlari menemui Khofifah di tempat sebelumnya ia tinggalkan. Anak itu berlari dengan semangat yang nyata, berusaha mengumpulkan lembaran-lembaran nilai di atas 80. Arif bersuka, hari ini pun tugasnya mendapat nilai 100.
 
Dan langkahnya terhenti, mendadak batinnya cemas lagi. Kaca-kaca mulai terlihat di kedua matanya. Khofifah tidak berada di tempatnya. Anak itu berlari keluar, berteriak sejadi-jadinya memanggil-manggil nama ibunya. Kembali lagi ke sekolah, meminta tolong dengan rekan guru dan mereka pun berhamburan.

“Buuu… buuu!” teriak Arif seraya berlari mencari keberadaan Khofifah.
 
Hatinya menangis, menjadi dewasa bukanlah harapannya. Ia pun ingin bebas seperti anak-anak lainnya. Arif kecil lelah. Ia edarkan pandangan dan tak menemukan tanda-tanda keberadaan ibunya. Berlari lagi, hingga kemudian matanya tertuju pada sebuah rumah besar yang jaraknya tak jauh dari sekolah. Rumah mewah dengan pekarangan yang cukup luas. Pagar hitam berdiri kokoh di depan, dan ibunya lirih menjerit-jerit di depan gerbang. Mata Khofifah terbelalak, penuh nanar memerah dan menatap bengis.
 
“Bu!” teriaknya seraya berlari mendekat, kemudian lirih menangis memeluk Khofifah dengan erat.
“Ayo bu.”
 
“Dia ibumu?” tanya security berseragam safari hitam.
 
“Iya pak.”
 
“Ibumu dibawa ya dek, sebentar lagi ada mobil mau keluar!” “Iy-iya, pak.”
 
“HAAAAA!” teriak Khofifah histeris, wanita itu berontak hingga tubuh Arif terpental. Khofifah lari lagi menuju gerbang, berteriak hingga mulutnya menempel dibesi kokoh berwarna


hitam. Dan mendadak, air mata Arif runtuh. Untuk pertama kalinya, dalam hidupnya ia melihat reaksi emosi yang berbeda. Bahkan bisa mendengar suara ibunya dengan jelas.
“HAAAAA!”
 
“Bu!”
 
Tak lama penghuni rumah terlihat keluar menggunakan mobilnya, mobil jeep berwarna hitam berhadapan dengan tubuh Khofifah yang mematung di pagar. Beberapa ekor anjing dilihatnya sengaja dilepaskan untuk mengusir Khofifah. Arif ketakutan, menangis, menarik-narik tubuh ibunya. Pilu, Khofifah tak bergerak. Hingga tak lama, seorang lelaki dengan kemeja hitam dan kacamata hitam menghiasi wajahnya keluar dari mobil.
 
“Siapa! Ruslan!” teriak lelaki itu seraya berlari ke arah luar. Ia buka gerbangnya, kemudian melempar beberapa lembar uang kertas ke arah Khofifah dan Arif, Khofifah bangkit ia menatap dengan penuh nanar kemudian melompat dan mencengkram leher lelaki di hadapan, meludah, dan berteriak.
“Ibuuuu!” Arif semakin kacau, puluhan warga mendadak hadir. Kemudian menarik tubuh Khofifah dan mengempaskan tubuhnya ke jalan. Lelaki itu adalah Nur Dandi, lelaki terpandang yang cukup dikenal masyarakat setempat. Keturunan dari seorang kepala desa.
 
Setelahnya, lelaki itu mematung, meraba lehernya yang sempat terluka karena jemari Khofifah. Sementara warga menarik tubuh Khofifah ke jalan, dan mengolok-olok dengan sebutan orang gila. Anak kecil di sampingknya, menangis. Memeluk tubuh ibunya, dan refleks air mata lelaki itu terjatuh.
 
Dandi berjalan pelan ke arah Khofifah yang kini tak karuan. Wanita itu kini diam, dia memang nampak tak waras. Kemudian berusaha menerawang akan wajahnya yang taka sing baginya, wajah yang mendadak membuat tubuhnya menjadi dingin, ia duduk mensejajarkan tubuhnya pada Khofifah. Sementara Arif terus sibuk menenangkan ibunya.

“Kamu…?”
 
“HAAAA” teriak Khofifah lagi meronta berusaha melukai lelaki di hadapannya. Hingga membuat tubuh Dandi lemah, gontai. Melihat wajah Khofifah yang sepertinya tak asing baginya, kemudian nanarnya bergerak menatap Arif, bentuk wajah dan hidungnya sangat mirip dengannya. Napasnya tersengal. Ia tarik napas dalam-dalam.
“Nyuwun ngapunten, Pak… maaf…”
 
“Ini…” katanya memberikan sehelai sapu tangan pada Arif dari saku kemejanya. “Matur nuwun, Pak.” Jawab Arif seraya mengusap wajah ibunya dengan sapu tangan
 
pemberian lelaki yang kini mematung di hadapan. Sementara Khofifah terduduk diam melotot ke Arah Dandi.
“Usiamu berapa Nak?”
 
“Sanga!”
 
Dandi bangkit, perasaan bersalah itu mendadak hadir di relung. Air mata begitu saja menetes di pipi. Tangannya terkepal, ia diam melihat Khofifah yang perlahan mengundurkan tatapan ke arahnya. Hingga kemudian, Arif bisa menenangkannya dan membawanya pergi.
“Tunggu!” lelaki itu berlari mengejar mereka. Kemudian mengeluarkan beberapa lembaran merah dari dompet, mengepalkannya pada anak lelaki yang wajahnya begitu mirip dengan dirinya saat kecil, bentuk hidung juga rahang yang hampir sama.


 
“Banyak sekali?” Mata Arif terbelalak, senang kemudian diam lagi, jika mengingat nasihat nenek.
 
[Dirimu bukan pengemis toh Le, bukan juga benalu, dirimu adalah cahaya yang memberikan kehangatan di setiap hati yang dingin. Dirimu adalah bintang yang memberikan keindahan di setiap hati yang bersedih, Surya dan Bintang berada di atas, dan selalu memberi tak pernah menerima. Inget itu, Le!]

 
Arif tersenyum, sesenggukan menangis teringat nenek lagi.
 
“Matur nuwun Pak.” Jawab Arif dengan membungkukkan badan mengembalikan setumpuk uang dan tersenyum.
 
Gontai Dandi memandang Khofifah juga Arif, hatinya sesak melihat mereka membelakangi dan perlahan jauh meninggalkannya. Semilir angin mengembuskan peluh di wajah juga air mata yang kini deras di mata, membawanya pada angan sepuluh tahun lalu, angan ketika seorang gadis desa perlahan berjalan menapaki perbukitan dengan gairah yang nyata, seorang gadis dari sekolah berprestasi di kotanya. Dahinya mengernyit, tangannya terkepal dan perlahan roboh.

jiyanqAvatar border
tata604Avatar border
lina.whAvatar border
lina.wh dan 5 lainnya memberi reputasi
6
1.5K
7
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan