- Beranda
- Komunitas
- Story
- Stories from the Heart
Aku, Kursi Bapak dan Jeglongan Sewu.


TS
leacataleya
Aku, Kursi Bapak dan Jeglongan Sewu.
Aku, Kursi Bapak, Dan Jeglongan Sewu.

Video berjudul 'Jeglongan Sewu' yang kuunggah menuai reaksi dari para netizen.
Hampir semua komentar mereka sangat pedas saat mengkritisi lambannya pemerintah dalam mengatasi suatu masalah.
Video yang menggambarkan kondisi jalanan yang menghubungkan dua kecamatan itu rusak parah. Hampir sepanjang jalan bertebaran lubang disertai genangan air bila hujan. Itu sebabnya diberi nama Jeglongan Sewu.
"Bu, itu anakmu bikin malu.
Tadi, bapak ditegur sama Pak Camat gara-gara status dan video yang diunggah anakmu pada akun Facebooknya. Bapak ini 'kan kepala desa, tapi anaknya jadi provokator, piye, toh?" keluh bapak pada ibu.
"Lha, tapi yang ditulis Abi emang bener 'kan, Pak? Dari dulu sampai sekarang jalan antar kecamatan itu rusak, kok," jawab ibu. Terdengar nada suara ibu seperti setengah meledek.
"Ibu itu sebenarnya belain siapa, toh? Belain bapak opo Abi?" tanya bapak suaranya terdengar kesal.
"Yo, bela yang benar toh, Pak.
Membela yang mementingkan hajat orang banyak." Bijak sekali jawaban ibu kudengar.
"Bu, seharusnya ibu memahami posisi Bapak saat ini, sebab pada pilkada berikutnya ada yang mau mensponsori aku untuk maju pada pemilihan calon Bupati. Kalo kelakuan Abi begitu terus, bisa-bisa nanti nggak ada partai yang mau meminang bapak," ujarnya.
"Iya, Pak. Tapi yang dilakukan Abi itu benar, kok, dia cuma protes pada jalanan yang berlubang, bukan berbuat makar atau jadi teroris," ucap ibu masih membelaku.
"Yo wis, intinya ibu kasih tahu sama Abi agar jangan lagi bikin status-status provokasi! Aku nggak enak sama Pak Camat," tegasnya pada ibu
Aku tersenyum mendengar perdebatan kedua orangtuaku dari dalam kamar Sesekali kepalaku melongok ke arah mereka. Akhirnya kali ini bapak merespon ulahku setelah sebelumnya beliau terkesan tak peduli dengan apa yang kutulis.
Menjelang sore, aku keluar kamar berniat berkumpul dengan teman-teman di bawah pohon Asam seperti biasanya untuk membahas tema apalagi yang akan dijadikan gorengan politik selanjutnya.
Kulihat bapak sedang sibuk dengan Hpnya di ruang tengah.
"Mau ke mana?" tegur bapak, saat aku melewatinya.
"Mau lihat lubang, Pak," jawabku singkat.
"Duduk, bapak mau ngomong!" perintahnya.
Langkahku terhenti seiring dengan perintahnya, aku duduk berhadapan dengannya.
"Maksudmu apa? Menulis status-status ini?" ujarnya seraya menyodorkan Hpnya kepadaku.
"Jangan pura-pura nggak tahu, Pak. Status itu kubuat, untuk mewakili kemarahan banyak orang di desa ini.
Karena hasil panen para petani dibeli dengan harga murah, sementara kebutuhan hidup semakin mahal. Infrastruktur yang katanya dijadikan sebagai akses untuk meningkatkan ekonomi tak kunjung diperbaiki.
Yang ada sekarang malah Listrik, BBM, dan Pajak semua naik," terangku pada bapak.
"Jadi, kamu bikin status provokatif seperti ini, untuk memancing emosi warga?" Kali ini wajah bapak terlihat kesal. Namun, emosinya masih terjaga.
"Iya, Pak." Kuanggukan kepala dengan penuh keyakinan.
"Itu hasil kuliahmu selama lima tahun? Cuma jadi provokator?" Setengah mengejek bapak bertanya padaku.
"Bapak kenapa sekarang jadi anti kritik, sih?
Oh, Abi tahu, bapak berubah karena mau masuk partai dan ingin mencalonkan jadi Bupati 'kan?"
Aku sadar pertanyaan ini akan membuat bapak marah. Tapi aku puas.
Aku dan bapak memang selalu berbeda sudut pandang pada setiap persoalan.
"Bi, asal kamu tahu, bapak ini sudah hidup lebih lama dari pada kamu, aku sudah mengalami apa saja yang belum kamu alami." Bapak mulai emosi, beliau berbicara sambil menunjuk-nunjuk wajahku.
"Memang sekarang jamannya internet, jamannya sosial media, semua orang punya panggung untuk jadi tukang kritik. Orang yang sekolahnya nggak lulus SD pun bisa menyinyiri Profesor, bahkan bisa mencaci maki Kiyai seenaknya. Mereka nggak butuh wakil buat marah-marah, mereka bisa melakukannya sendiri.
Jadi, apa yang kamu lakukan ini cuma menambah kuota orang nyinyir di negeri ini. Paham kamu, Bi!" Ucapnya kesal.
Perkataan bapak barusan seperti menampar wajahku.
Ada yang menelusup ke dalam hati, bahwa semua yang bapak katakan memang ada benarnya.
Selama ini, tulisan, status atau video yang kuunggah kebanyakan berisi ujaran kebencian dan menggiring opini publik pada pemerintahan yang kuanggap tidak becus.
Tak pernah sekali pun aku memprovokasi warga dengan ide yang bisa membuat satu gebrakan baru untuk memberi solusi agar permasalahan di desa sedikit teratasi.
Aku justru lebih sering memperkeruh masalah yang ada dengan menampilkan berbagai macam kekurangan yang terlihat di desa kami.
Usai berdebat aku keluar rumah dengan perasaan tak keruan. Di bawah pohon Asam yang terletak di pinggir Jeglongan Sewu aku merenung.
Perdebatan dengan bapak barusan benar-benar membuatku resah. Kata-katanya masih terngiang di telingaku sampai sekarang.
Untuk menghilangkan rasa resah kukeluarkan Hp dari saku celana lalu kubuka akun jejaring sosial. Banyak notifikasi yang masuk pada akun Facebookku.
Beberapa berita dan status dari pengguna lainnya berseliweran di beranda akunku, satu di antaranya ada yang meminta sumbangan untuk perbaikan masjid.
Ah, kenapa tak terpikir olehku dari dulu!
Kupikir dan kurangkai kata demi kata agar menjadi sebuah seruan indah pada anak bangsa untuk Ibu Pertiwi.
'Kemerdekaan, sudah dalam genggaman sejak lama. Tugas kita mengisinya, hilangkan pertentangan di antara kita, hentikan keluhan tentang Ibu Pertiwi.
Ayo! Sama-sama kita membangun negeri, singsingkan lengan baju, angkat cangkul-cangkul, kita tutup lubang jalan yang menghambat kemerdekaan kita. Mari kita hapus air mata Ibu Pertiwi agar terlihat cantik kembali.
Setelah selesai kuketik segera kuunggah.
Tak lama statusku dibanjiri ratusan komentar kurang dari satu jam.
Dalam diskusi ringan di kolom komentar tercetuslah ide penggalangan dana
'Menutup Jeglongan Sewu.'
Secepatnya dimulailah pembentukan panitia agar lebih terkordinasi.
Tak disangka gerakan galang dana 'Menutup Jeglongan Sewu' mendapat respon luar biasa bukan hanya dari nitizen saja, tetapi dari semua lapisan masyarakat dan para aparat desa serta dua kecamatan setempat.
Dalam waktu dua hari, aksi galang dana 'Menutup Jeglongan Sewu' sudah mencapai target.
Beberapa di antaranya ada yang menyumbang berupa pasir, batu kerikil dan semen. Setelah disepakati, kerja bakti akan dilaksanakan dua hari lagi, tepat pada tanggal tujuh belas Agustus setelah upacara pengibaran bendera.
***
Hari kemerdekaan tiba, upacara pengibaran bendera berlangsung khidmat.
Sesuai rencana para warga berkumpul di sepanjang jalan Jeglongan Sewu. Ramainya melebihi hari kemerdekaan tahun-tahun sebelumnya karena kaum laki-laki dan para pemuda yang ada di tempat berkumpul untuk kerja bakti.
Sedangkan para perempuan bersatu memberikan dukungan berupa menyediakan minuman dan camilan.
Kulihat bapak tersenyum sambil mengacungkan ibu jarinya padaku.
Tersirat ada rasa bangga di wajahnya.
Terimakasih, Pak. Opini tanpa aksi tak akan menutup Jeglongan Sewu.

Video berjudul 'Jeglongan Sewu' yang kuunggah menuai reaksi dari para netizen.
Hampir semua komentar mereka sangat pedas saat mengkritisi lambannya pemerintah dalam mengatasi suatu masalah.
Video yang menggambarkan kondisi jalanan yang menghubungkan dua kecamatan itu rusak parah. Hampir sepanjang jalan bertebaran lubang disertai genangan air bila hujan. Itu sebabnya diberi nama Jeglongan Sewu.
"Bu, itu anakmu bikin malu.
Tadi, bapak ditegur sama Pak Camat gara-gara status dan video yang diunggah anakmu pada akun Facebooknya. Bapak ini 'kan kepala desa, tapi anaknya jadi provokator, piye, toh?" keluh bapak pada ibu.
"Lha, tapi yang ditulis Abi emang bener 'kan, Pak? Dari dulu sampai sekarang jalan antar kecamatan itu rusak, kok," jawab ibu. Terdengar nada suara ibu seperti setengah meledek.
"Ibu itu sebenarnya belain siapa, toh? Belain bapak opo Abi?" tanya bapak suaranya terdengar kesal.
"Yo, bela yang benar toh, Pak.
Membela yang mementingkan hajat orang banyak." Bijak sekali jawaban ibu kudengar.
"Bu, seharusnya ibu memahami posisi Bapak saat ini, sebab pada pilkada berikutnya ada yang mau mensponsori aku untuk maju pada pemilihan calon Bupati. Kalo kelakuan Abi begitu terus, bisa-bisa nanti nggak ada partai yang mau meminang bapak," ujarnya.
"Iya, Pak. Tapi yang dilakukan Abi itu benar, kok, dia cuma protes pada jalanan yang berlubang, bukan berbuat makar atau jadi teroris," ucap ibu masih membelaku.
"Yo wis, intinya ibu kasih tahu sama Abi agar jangan lagi bikin status-status provokasi! Aku nggak enak sama Pak Camat," tegasnya pada ibu
Aku tersenyum mendengar perdebatan kedua orangtuaku dari dalam kamar Sesekali kepalaku melongok ke arah mereka. Akhirnya kali ini bapak merespon ulahku setelah sebelumnya beliau terkesan tak peduli dengan apa yang kutulis.
Menjelang sore, aku keluar kamar berniat berkumpul dengan teman-teman di bawah pohon Asam seperti biasanya untuk membahas tema apalagi yang akan dijadikan gorengan politik selanjutnya.
Kulihat bapak sedang sibuk dengan Hpnya di ruang tengah.
"Mau ke mana?" tegur bapak, saat aku melewatinya.
"Mau lihat lubang, Pak," jawabku singkat.
"Duduk, bapak mau ngomong!" perintahnya.
Langkahku terhenti seiring dengan perintahnya, aku duduk berhadapan dengannya.
"Maksudmu apa? Menulis status-status ini?" ujarnya seraya menyodorkan Hpnya kepadaku.
"Jangan pura-pura nggak tahu, Pak. Status itu kubuat, untuk mewakili kemarahan banyak orang di desa ini.
Karena hasil panen para petani dibeli dengan harga murah, sementara kebutuhan hidup semakin mahal. Infrastruktur yang katanya dijadikan sebagai akses untuk meningkatkan ekonomi tak kunjung diperbaiki.
Yang ada sekarang malah Listrik, BBM, dan Pajak semua naik," terangku pada bapak.
"Jadi, kamu bikin status provokatif seperti ini, untuk memancing emosi warga?" Kali ini wajah bapak terlihat kesal. Namun, emosinya masih terjaga.
"Iya, Pak." Kuanggukan kepala dengan penuh keyakinan.
"Itu hasil kuliahmu selama lima tahun? Cuma jadi provokator?" Setengah mengejek bapak bertanya padaku.
"Bapak kenapa sekarang jadi anti kritik, sih?
Oh, Abi tahu, bapak berubah karena mau masuk partai dan ingin mencalonkan jadi Bupati 'kan?"
Aku sadar pertanyaan ini akan membuat bapak marah. Tapi aku puas.
Aku dan bapak memang selalu berbeda sudut pandang pada setiap persoalan.
"Bi, asal kamu tahu, bapak ini sudah hidup lebih lama dari pada kamu, aku sudah mengalami apa saja yang belum kamu alami." Bapak mulai emosi, beliau berbicara sambil menunjuk-nunjuk wajahku.
"Memang sekarang jamannya internet, jamannya sosial media, semua orang punya panggung untuk jadi tukang kritik. Orang yang sekolahnya nggak lulus SD pun bisa menyinyiri Profesor, bahkan bisa mencaci maki Kiyai seenaknya. Mereka nggak butuh wakil buat marah-marah, mereka bisa melakukannya sendiri.
Jadi, apa yang kamu lakukan ini cuma menambah kuota orang nyinyir di negeri ini. Paham kamu, Bi!" Ucapnya kesal.
Perkataan bapak barusan seperti menampar wajahku.
Ada yang menelusup ke dalam hati, bahwa semua yang bapak katakan memang ada benarnya.
Selama ini, tulisan, status atau video yang kuunggah kebanyakan berisi ujaran kebencian dan menggiring opini publik pada pemerintahan yang kuanggap tidak becus.
Tak pernah sekali pun aku memprovokasi warga dengan ide yang bisa membuat satu gebrakan baru untuk memberi solusi agar permasalahan di desa sedikit teratasi.
Aku justru lebih sering memperkeruh masalah yang ada dengan menampilkan berbagai macam kekurangan yang terlihat di desa kami.
Usai berdebat aku keluar rumah dengan perasaan tak keruan. Di bawah pohon Asam yang terletak di pinggir Jeglongan Sewu aku merenung.
Perdebatan dengan bapak barusan benar-benar membuatku resah. Kata-katanya masih terngiang di telingaku sampai sekarang.
Untuk menghilangkan rasa resah kukeluarkan Hp dari saku celana lalu kubuka akun jejaring sosial. Banyak notifikasi yang masuk pada akun Facebookku.
Beberapa berita dan status dari pengguna lainnya berseliweran di beranda akunku, satu di antaranya ada yang meminta sumbangan untuk perbaikan masjid.
Ah, kenapa tak terpikir olehku dari dulu!
Kupikir dan kurangkai kata demi kata agar menjadi sebuah seruan indah pada anak bangsa untuk Ibu Pertiwi.
'Kemerdekaan, sudah dalam genggaman sejak lama. Tugas kita mengisinya, hilangkan pertentangan di antara kita, hentikan keluhan tentang Ibu Pertiwi.
Ayo! Sama-sama kita membangun negeri, singsingkan lengan baju, angkat cangkul-cangkul, kita tutup lubang jalan yang menghambat kemerdekaan kita. Mari kita hapus air mata Ibu Pertiwi agar terlihat cantik kembali.
Setelah selesai kuketik segera kuunggah.
Tak lama statusku dibanjiri ratusan komentar kurang dari satu jam.
Dalam diskusi ringan di kolom komentar tercetuslah ide penggalangan dana
'Menutup Jeglongan Sewu.'
Secepatnya dimulailah pembentukan panitia agar lebih terkordinasi.
Tak disangka gerakan galang dana 'Menutup Jeglongan Sewu' mendapat respon luar biasa bukan hanya dari nitizen saja, tetapi dari semua lapisan masyarakat dan para aparat desa serta dua kecamatan setempat.
Dalam waktu dua hari, aksi galang dana 'Menutup Jeglongan Sewu' sudah mencapai target.
Beberapa di antaranya ada yang menyumbang berupa pasir, batu kerikil dan semen. Setelah disepakati, kerja bakti akan dilaksanakan dua hari lagi, tepat pada tanggal tujuh belas Agustus setelah upacara pengibaran bendera.
***
Hari kemerdekaan tiba, upacara pengibaran bendera berlangsung khidmat.
Sesuai rencana para warga berkumpul di sepanjang jalan Jeglongan Sewu. Ramainya melebihi hari kemerdekaan tahun-tahun sebelumnya karena kaum laki-laki dan para pemuda yang ada di tempat berkumpul untuk kerja bakti.
Sedangkan para perempuan bersatu memberikan dukungan berupa menyediakan minuman dan camilan.
Kulihat bapak tersenyum sambil mengacungkan ibu jarinya padaku.
Tersirat ada rasa bangga di wajahnya.
Terimakasih, Pak. Opini tanpa aksi tak akan menutup Jeglongan Sewu.






tien212700 dan 28 lainnya memberi reputasi
29
2.3K
58


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan