mambaulathiyahAvatar border
TS
mambaulathiyah
Rembulan Di Atas Laut
Rembulan Di Laut Pantura
Part 1


"Gus, jenengan yakin mau melamar Mbak Nisa?" Pertanyaan Awwal, kang ndalem yang setia kepadaku, membuatku kembali meyakinkan hati. Dia pula yang berulang kali memintaku untuk meyakinkan Ibu sebelum benar-benar melamar wanita pilihanku.

"Insyaallah, Wal." Aku menjawabnya dengan mantap.

"Tapi, Gus. Jenengan tak takut sama anggapan masyarakat?"

"Anggapan yang bagaimana?" Aku berusaha mencari informasi apa yang disembunyikan Kang Awwal.

"Ah, sudahlah, Gus. Kalau memang Gus Jakfar tidak tahu. Saya lebih baik diam."

Kulihat punggung Kang Awwal berlalu menjauh, membiarkanku sendiri menikmati rembulan di atas deburan ombak sambil menyesap secangkir kopi pahit bikinannya. Sejauh mata memandang hanya ada hamparan laut luas dengan ketenangannya yang menyembunyikan segala riak di bawah arusnya. Persis seperti Nisa. Janda tanpa anak yang akan segera kupinang.

Kemudian aku segera memandang ke arah Kang Awwal menghilang tadi. Jadi yang dia maksud anggapan masyarakat adalah karena aku akan menikah dengan seorang janda?

Karena itu pula, Ibu awalnya kukuh menolak. Putranya yang perjaka ini kenapa bisa sampai memiliki rasa kepada seorang janda yang bahkan hanya kulihat dua kali. Pertama, saat dia memberikan pesanan kebaya brokat Ibu dan kedua saat dia maju ke depan panggung untuk menyelesaikan hafalan alfiyahnya.

Ya, Nisa dulu adalah santri Abah dan Ibu. Terpaksa keluar pondok karena dinikahkan muda oleh orang tuanya. Hingga usia pernikahannya yang baru berusia setahun itu terpaksa berakhir karena meninggalnya sang suami.

Setelah itu, Nisa izin nyantri lagi tapi dengan cara tidak mukim, mengingat dia memikul beban pekerjaan selepas kematian bapaknya. Abah mengizinkan karena kecerdasan Nisa yang sungguh di atas rata-rata.

Namun, sorot matanya yang tajam saat tak sengaja bertatapan denganku kala itu menawan hatiku. Belum lagi senyumnya.

Hai, rembulan. Kau kalah indah dengannya. Aku memandang rembulan itu lagi lalu tersenyum bahagia.

Besok, aku akan datang dengan segala mimpi dan bersiap menerima kenyataan.

Semoga, Mbak Nisa mau kupinang ya Allah.


****


"Gus, jenengan yakin sudah mengabarkan kedatangan jenengan ke Mbak Nisa?" Kang Awwal menatapku dengan penuh tanda tanya saat dilihatnya rumah Nisa yang sederhana itu sepi tanpa terlihat anggota keluarganya yang lain.

Aku menggaruk kepalaku yang tadi tertutup kopyah. Meskipun tidak gatal.

"Belum, Kang. Biar surprise."

"Ya Allah, Gus gembul. Mau ngelamar orang kok kayak hantu. Kulonuwun dulu, Gus." Kang Awwal mengacak-acak rambutnya sendiri. Aku yang mau ngelamar eh, dia yang sibuk.

"Ya, namanya juga tidak pengalaman, Kang," selorohku sambil berjalan ke arah pintu rumah Nisa, lalu mengetuknya.

"Kalau sudah pengalaman, Gus ... nikah lagi ya malah diam-diam mboten kulonuwun," kelakarnya di belakangku yang segera kujawab dengan dua jempol.

Kemudian, suara langkah kaki seseorang mendekat ke arah kami. Pintu kayu usang itu berderit waktu dibuka dan wajah ayu Mbak Nisa menyambut kami dengan ramah.

"Masyaallah, Gus Jakfar. Waalaikum salam." Matanya sekali lagi membuatku berdebar. Kerudung merahnya yang menyala menambah semangat dalam hatiku. Suaranya yang merdu membuat doaku melangit lebih tinggi agar lamaranku hari ini diterimanya.

"Monggo, pinarak ... Gus. Kang Awwal."

Kami berdua mengangguk lalu duduk di lantai beralas karpet tipis yang mulai pudar warnanya. Sementara Nisa pamit ke dalam untuk memanggil ibunya keluar menyambut kami. Dia merasa tak enak jika hanya bertiga dengan kami.

Aku mengangguk mengizinkan.

Begitu Nisa keluar lagi dengan ibunya dan sepiring singkong goreng hangat di tangannya, hatiku berlompatan tak karuan. Setiap senyumannya yang terselip di antara bincang-bincang santai yang kubicarakan membuat bibirku tak berhenti memanjatkan doa.

Lalu ... Derr. Waktunya lamaranku meluncur ke arahnya.

"Maaf sebelumnya Mbak Nisa. Ibuk. Saya kesini karena ada hajat sebenarnya." Tanganku berkeringat. Beberapa kali aku berduel dengan preman pasar belum pernah setegang ini.

"Anu ... Inu ... Niku ...."

Hanya itu yang keluar dari mulutku. Kang Awwal menahan tawanya hingga terbatuk-batuk. Ketika aku melotot ke arahnya dia barulah diam.

"Nggeh, Gus. Monggo," jawab Ibu Nisa.

"Begini. Saya mau melamar Nisa."

Lega. Akhirnya terucap juga. Tapi wajah kaget Nisa dan Ibunya segera membuatku sedih. Apalagi bukan binar kebahagiaan yang terpancar di wajah mereka.

"Gus, monggo minumannya diminum dulu. Mungkin jenengan kurang minum jadi ngomongnya ngelantur." Kali ini Nisa sendiri yang melancarkan keraguan atas lamaranku. Padahal aku datang ke sini dengan sungguh-sungguh.

"Aku bersungguh-sungguh." Wajah serius dan suara tegasku kali ini membuat mata bulat sempurna Nisa kaget bukan kepalang.

"Jika kau bersedia, maka aku sangat bahagia. Jika tidak, maka kita mungkin belum berjodoh." Jujur, ada kekecewaan dalam nada suaraku. Sepertinya itupun ditangkap Nisa juga karena dengan segera mimik wajahnya berubah lebih sendu.

"Gus, jenengan tahu kalau saya ...."

"Janda. Iya." Aku memotong ucapannya.

"Dan ... Kami juga keluarga tak punya, Gus." Ibu Nisa kali ini yang berbicara. Setitik air mata keluar dari mata tuanya.

Ya Allah, mereka benar-benar orang yang sangat bersahaja.


"Jenengan juga harus paham, Gus. Kematian suami Nisa juga sering dikaitkan dengan kutukan pada dirinya." Nisa tertunduk lebih dalam.

Kutukan? Kutukan apa?

"Maka sebelum Gus Jakfar melamar harusnya Gus Jakfar tahu tentang ini." Ibu Nisa menangis lagi.

"Jenengan tahu apa kutukan itu menurut orang-orang?"

Aku menggeleng. Lalu kulirik Kang Awwal. Wajahnya tertunduk dalam tanda dia telah paham apa maksudnya ini semua.


"Nisa, dianggap wanita pembawa sial. Karena dia lahir saat purnama maka itu bisa menyebabkan seseorang kehilangan nyawa."

Mulutku terkatup. Nalarku mencerna penjelasan Ibu Nisa, dan hatiku tak bergeming karenanya.

"Baik, Mbak Nisa tolong pikirkan jawabannya. Seminggu lagi saya datang."

"Gus ...." Nisa hendak berkata tapi kuberikan isyarat padanya agar dia tidak melanjutkan.

"Niat baik, insyaallah diberi Tuhan kebaikan pula."

Lalu aku pamit dengan wajah lesu tak bersemangat. Ternyata menerima kenyataan itu sulit dan pahit.

Kang Awwal memanggilku berkali-kali tapi langkah kakiku kian jauh hingga akhirnya kutatap lagi rembulan itu di atas langit dengan nafas memburu karena habis berlari. Benarkah ada kutukan seperti itu? Batinku bergemuruh. Perasaanku berkecamuk. Mungkin guyuran air wudlu akan bisa meredakan panas dalam hatiku.

Seminggu lagi aku akan kembali Nisa dan menagih jawaban atas lamaranku.



Bersambung ....

Ada yang baca gak ya? Wkwk
Diubah oleh mambaulathiyah 07-02-2020 01:13
ipung1976
nona212
pulaukapok
pulaukapok dan 21 lainnya memberi reputasi
22
4.3K
60
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Komunitas Pilihan