DiNa853Avatar border
TS
DiNa853
Mata Hati
Suara tangisan terdengar di sebuah bilik kecil berdinding anyaman bambu. Seorang wanita tengah meratapi nasib putrinya yang masih berumur dua bulan. Sekilas sang putri memang terlihat normal seperti bayi pada umumnya, wajahnya yang lucu membuat siapapun yang memandang ingin melayangkan ciuman. Namun di balik itu semua, mata sang putri tak berfungsi untuk merespon rangsangan apapun.

“Sudahlah, Midah! Jangan terus-terusan kau tangisi anak kau itu,” ucap Nenek Sani—ibunda Hamidah.

“Kasihan dia, Mak! Midah khawatir dengan masa depannya nanti,” balas Hamidah seraya mengusapkan ujung kerudung di pipinya yang basah.

“Mamak paham perasaan kau, tapi tak elok kalau kau terus-terusan menangis macam tu! Sudahlah ... Tuhan pasti punya rencana di balik semua ini.” Wanita tua itu kembali mencoba menenangkan putrinya.

Sementara suami Hamidah—Nurman—masih berada di negeri seberang sebagai pahlawan devisa, demi menyambung hidup keluarganya. Sistem kontrak kerja yang mengikat tak memungkinkan Nurman untuk pulang menemani masa-masa sulit istrinya. Nurman begitu terpukul kala mengetahui kabar tentang kondisi putrinya. Namun, sebagai seorang pria ia harus selalu bersikap bijak dalam setiap masalah.

“Kuatkan hatimu, ya, Dek! Biar bagaimana dia tetap anak kita. Anugerah dari Tuhan yang harus kita jaga dan rawat baik-baik. Kau tak boleh terus-terusan bersedih.” Nasehat Nurman kepada istrinya suatu hari saat berhubungan lewat telpon.

Mutiara, nama yang disematkan untuk putri kecil mereka. Sang neneklah yang selalu setia menjaga kala Hamidah pergi meladang. Nenek Sani senang melantunkan ayat-ayat suci Alquran ketika bersama cucunya. Suara yang merdu berpadu dengan bacaan yang tartil membuat Mutia terbuai dalam pangkuannya. Tilawahnya juga kerap kali menenangkan Mutia saat sedang rewel.

Mutia tumbuh menjadi anak perempuan yang cerdas dan ceria. Ayahnya tak lagi merantau ke negeri seberang, karena ia ingin membantu istrinya untuk mendidik Mutia menjadi wanita sholihah. Perlahan Nurman dan Hamidah mampu menerima kondisi Mutia dengan segala kekurangannya. Meskipun orang-orang di sekitarnya masih sering merendahkan keadaan Mutia.

“Cantik-cantik kok buta, mana ada lelaki yang mau meminang?” sindir salah seorang tetangga ketika Hamidah membawa Mutia jalan-jalan di sekitar rumahnya.

Hamidah yang mendengar tak mampu berkata apapun. Ia memilih masuk ke rumahnya.

Sore hari saat menemani suaminya minum kopi di teras rumah, Hamidah mengadukan semua keluh kesahnya. Asap kopi yang masih mengepul dan sepiring singkong rebus di meja menemani obrolan sore itu.

“Yah ... namanya juga orang banyak, Dek! Tak usah kau terlalu memasukkannya dalam hati,” kata Nurman usai mendengar curahan hati istrinya.

“Iya, Bang! Cuma aku yang tidak rela jika anakku dihina,” balas Hamidah kesal.

“Doakan saja orang yang menghina anak kau itu, Midah! Sekarang dengarlah apa yang Mutia baca!” sahut Nenek Sani. Ia datang dari belakang sambil menuntun Mutia kemudian menyerahkannya ke dalam pangkuan Hamidah.

Nenek Sani hendak menunjukan kepada pasangan suami istri itu bahwa Mutia yang masih berusia tiga tahun mampu menghafalkan surat-surat pendek dalam Alquran. Meskipun pelafalannya belum jelas, tetapi ayat-ayat yang di baca benar alurnya.

“Masya Allah ...,” ucap Nurman dan Hamidah hampir bersamaan.

Semenjak mengetahui hal itu, mereka getol mengajarkan sang putri bertilawah. Mutia memang tak bisa melihat, tetapi pendengaran yang begitu tajam ditambah otak yang cerdas menunjangnya cepat dalam menghafal Alquran. Tak heran di usianya yang ke tujuh ia sudah menghafal seluruh ayat-ayat Alquran.

Semakin bertambah usia, suara Mutia semakin indah dengan makhorijul huruf—tempat keluarnya huruf —yang tepat saat bertilawah.

Kemampuan luar biasa yang Mutia miliki sempat menggemparkan warga kampungnya. Orang-orang yang awalnya memandang rendah kini mulai mengakui kelebihan Mutia. Mereka bahkan termotivasi untuk lebih rajin menghafal Alquran.

Hingga di satu kesempatan, sebuah stasiun TV sedang mengadakan audisi untuk para penghafal Quran cilik. Mutia berhasil lolos dan ikut dalam ajang bergengsi itu. Ia ditemani sang ibu melenggang ke ibukota untuk mengikuti tahap selanjutnya.

Saat ditanya oleh salah satu dewan juri, “Apa keinginan terbesar Mutia, apakah Mutia ingin bisa melihat?”

Ia menggelengkan kepala dan menjawab dengan lantang hingga menggetarkan seisi studio, “Mutia hanya ingin memakaikan mahkota untuk Ayah, Ibu dan Nenek di akhirat nanti.”

Masya Allah ....

End.
Diubah oleh DiNa853 06-02-2020 06:41
leacataleya
leacataleya memberi reputasi
1
276
17
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Komunitas Pilihan