Muncul Gejala Fanatisme Pendukung Anies vs Risma, Ada Apa Ini?
TS
wijayanto999
Muncul Gejala Fanatisme Pendukung Anies vs Risma, Ada Apa Ini?
Jakarta - Warganet (netizen) penghina Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini bernama Zikria ditangkap polisi. Usut punya usut, Zikria menghina Risma karena tidak terima Gubernur Jakarta Anies Baswedan di-bully dan dibanding-bandingkan dengan Risma.
Yang lebih mencengangkan lagi, Zikria bukan orang Jakarta dan bukan juga orang Surabaya. Zikria adalah orang Bogor Jawa Barat yang bersimpati kepada Anies. Pelapor Zikria ke polisi adalah pihak yang menamakan dirinya sebagai Forum Arek Suroboyo Wani. Gejala fanatisme politik macam apa ini?
"Saya kira ini ada perebutan pemilih oleh elite politik, memperebutkan suara untuk 2024," kata pengamat politik sekaligus Direktur Eksekutif Median, Rico Marbun, kepada wartawan, Selasa (4/2/2020).
Hasil peneropongan Rico, dinamika politik yang menyeret emosi non-elite sebenarnya akan bermuara ke Pilpres 2024. Pangkalnya tetap tersangkut di puing-puing persaingan Pilpres 2019.
"Ada mantan pemilih Jokowi dan mantan pemilih Prabowo yang diperebutkan untuk suara di 2024. Semuanya kini memanfaatkan waktu sebaik-baiknya untuk memobilisasi opini. Simpatisan kemudian terbawa arus mobilisasi opini. Stimulan opini tetap berasal dari elite," kata Rico.
Dia melihat pendukung Risma sebagian adalah pemilih Jokowi, sedangkan pendukung Anies adalah mantan pemilih Prabowo. Meski di tataran elite Jokowi dan Prabowo sudah akur, namun emosi masyarakat biasa tak bisa semudah itu berbalik sikap. "Risma sebentar lagi akan selesai masa jabatannya di Surabaya, yakni 2020. Anies tak sampai 2022 juga sudah selesai masa jabatannya di DKI," kata Rico.
Supaya masyarakat tak terbelah seperti Pilpres 2019, Rico menyarankan kepala daerah-kepala daerah lain maju ke Pilpres 2024 kelak dan mulai menyiapkan diri. Lepas dari itu, Rico menyoroti kasus Zikria sebagai kasus Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE). UU itu disebutnya akan terus memakan korban. Dia menyarankan pejabat agar punya kuping agak tebal supaya tak terlalu latah lapor polisi bila mendengar kata-kata kasar.
"Ini adalah ekses dari kompetisi politik dan perangkat hukum," kata Rico.
Direktur Eksekutif Lembaga Survei Kelompok Diskusi Kajian Opini Publik Indonesia (KedaiKOPI), Kunto Adi Wibowo, memberikan telaah yang lebih jauh. Bila Rico Marbun menarik fanatisme pendukung Anies vs pendukung Risma sampai Pilpres 2019, Kunto menarik akar fanatisme ini bahkan sampai Pilpres 2014.
"Kampret sudah berevolusi jadi kadrun, cebong-pun juga sudah berevolusi. Ini adalah drama Cebong vs Kampret Season 3," kata Kunto.
Fanatisme ini terbentuk karena saking serunya Jokowi dan Prabowo bersaing di Pilpres. Meski Jokowi dan Prabowo sudah berrekonsiliasi, namun fanatisme di kalangan pendukung sudah kadung meresap ke relung-relung ruang bawah sadar masyarakat. Isu politik sudah masuk ke isu identitas.
"Ini bukan hanya masalah gagasan, tapi sudah masuk ke isu identitas. Ini seperti kanker, seperti virus, ini bukan virus corona tapi virusnya susah dihilangkan meski Jokowi dan Prabowo sudah akur," kata dia.
Asumsi yang mendasari persaingan ini adalah pengalaman politik Gubernur DKI pendahulu Anies, yakni Jokowi sendiri. Seolah-olah, seorang tokoh yang sudah menduduki kursi Gubernur DKI bakal langsung lanjut ke kursi Presiden RI. Maka pihak yang bukan pendukung Anies berpikir, harus ada sesuatu yang menghalangi sejarah itu terulang kembali.
"Antitesisnya adalah Risma. Keduanya sama-sama kepala daerah meski berbeda level, namun Surabaya dan Jakarta adalah dua kota besar di Indonesia. Terlebih lagi dua orang ini berasal dari dukungan partai berbeda," kata Kunto.
Risma Kian Diperhitungkan,Efek Anies Bikin Jakarta Ambyar
Dinamika perpolitikan negeri ini terus dinamis dampak media sosial jadi ajang kontestasi figur. Nama Risma yang awalnya hanya hanya jadi hembusan angin lewat saja tapi kini nama Risma kian meroket dalam kancah politik nasional. Efek dari kekacauan pengelolaan kota jakarta yang bikin ambyar oleh gubernur Anies baswedan, membuat harapan besar ditaruhkan dalam pundak Risma untuk bersedia membenahi jakarta.
Nama Risma kian menjadi penyejuk rindu perubahan jakarta, dampak dari kegalauan rakyat jakarta melihat kondisi kotanya kian tak terurus dibawah kepemimpinan Anies Baswedan. Bahkan rakyat jakarta menganggap Anies Baswedan gagal mengelola kotanya saat memberi pijakan pada satu tahun pertama. Rakyat jakarta menganggap jakarta kembali autopilot kayak jaman Fauzi Bowo yang terkesan minim perubahan dan terobosan.
Mungkin ukuran tersebut layak diberikan kondisi jakarta sekarang ini karena melihat perbandingan sebelumnya dimana era Jokowi Ahok begitu banyak terobosan pembangunan yang mampu menghadirkan perubahan bagi kotanya. Mulai dari relokasi rakyat miskin kota ke rusunnawa, MRT yang pernah mangkrak 25 tahun, ruang terbuka hijau dibangun besar besaran, hingga lingkar semanggi yang jadi tinggalan ahok.
Namun ketika kendali pemerintahan dibawah gubernur Anies Baswedan terkesan jakarta kian ambyar porakporanda tanpa ada perubahan yang dibanggakan. Makanya ketika nama Risma tiba tiba mencuat dijagat maya seolah olah gemuruh sambutan luar biasa disampaikan seluruh pelosok negeri karena Risma dinilai perempuan tangguh yang strong leadershipnya tinggi dalam pengelolaan penataan sebuah kota.
Rakyat jakarta juga menyambut gembira munculnya Risma yang akan mengakhiri masa jabatannya di surabaya. Penerimaan publik yang begitu luar biasa terhadap sosok Risma membuat kubu Anies baswedan dan pendukungnya kian ketakutan.
Makanya adanya upaya skenario pembumihangusan merusak citra Risma lewat setting media sosial. Maka disitulah munculnya polarisasi fanatisme antara pendukung Risma dan Anies Baswedan. Polarisasi yang muncul dari ketakutan yang berlebihan dari pendukung Anies Baswedan melihat semakin meroketnya nama Risma dalam dinamika politik nasional.
Risma dinilai punya kharisma tersendiri membuat para pendukung fanatik Anies Baswedan saat pilkada jakarta kemarin yang mulai bergeser menggadang gadang nama Risma memberikan energi pendobrakan terhadap perubahan jakarta seperti jaman Jokowi Ahok.
Fanatisme Risma versus Anies Baswedan kian membuncah saat serang serangan argumen riuh kembali di media sosial. Mencuatnya kasus warga bogor yang menghina Bu Risma adalah bagian dari pertarungan polarisasi media sosial.
Risma dianggap para pendukung Anies Baswedan telah menghalangi ambisi libido kekuasaab anies baswedan dalam berkuasa di negeri ini .Bahkan risma dianggap menenggelamkan Anies Baswedan yang minim prestasi.
Dengan modal 259 penghargaan yang diperoleh risma hasil apresiasi nasional maupun internasional terhadap kinerjanya menata kota, membuat catatan tersendiri bagi para pendukung Anies Baswedan semakin gencar memantau perkembangan surabaya dan mengkritisi kinerja Risma.
Polarisasi Risma Versus Anies baswedan bisa jadi memang bagian dari remahan ekses pilpres 2019. Tapi sebagian lain karena efek puncak kekecewaan rakyat jakarta yang melihat kondisinya kian porakporanda ditangan gubernur anies baswedan.
Munculnya narasi emosi dari warga bogor yang tertangkap tersebut merupakan kebingungan sebagian besar mayoritas pendukung Anies Baswedan yang kesulitan memberikan gambaran capaian prestasi yang diperoleh Anies Baswedan. Karena penghargaan yang diperoleh selama Anies memimpin merupakan apresiasi kinerja dari imbas positif pemerintahan jokowi ahok yang telah menata kota jakarta.
Narasi narasi emosi yang digencarkan kubu pendukung Anies Baswedan membuat para pecinta bu Risma mudah menggempur emosi para pendukung anies baswedan dengan segudang prestasi yang ditorehkan Risma di surabaya.
Maka ketika perempuan bogor yang terpancing emosinya tertangkap coba digiring opininya seolah Risma tirani atau otoriter terhadap pengkritiknya dan dinarasikan anies tidak coba menggunakan cara itu untuk menghukum pengkritiknya.
Pertempuran demi pertempuran kian riuh di media sosial setelah perbandingan kinerja antara Anies Baswedan dan Risma terkesan jomplang. Risma dengan berbagai kinerja positifnya menata kota sedangkan Anies Baswedan dalam salah urusnya menata jakarta.
Maka bukan tidak mungkin polarisasi ini akan terus ada hingga 2024, dan tidak menutup kemungkinan pertarungan dua kubu tersebut bukan untuk kontestasi pilkada DKI 2024 tapi untuk pilpres 2024....maka gan dan sis tetap bijaklah bersikap meskipun perbedaan antar kalian nyata ketika melihat sosok figur yang muncul.
Ingat gan dan sis.... Fanatik terhadap figur boleh tapi bijaklah dalam bermedia sosial agar tidak terjerat proses hukum....