ZaharaIzzahAvatar border
TS
ZaharaIzzah
Melepasmu
MELEPASMU

Silvia mematung di depan cermin. Gaun putih dengan renda berwarna emas menjadi pelengkap kecantikannya. Mahkota di kepala, menjadikannya bak Ratu Cleopatra.

Senyumnya merekah sempurna. Hari yang dinantikan telah tiba. Sayup terdengar janji suci dari pengeras suara.

Ucapan syukur terlontar pelan dari bibir yang terpoles indah, bersamaan dengan air mata penuh haru. Kedua tangannya terangkat, mengaminkan lantunan doa.

Akhirnya, penantian selama delapan belas bulan terbayar sumpah setia mengarungi bahtera bersama. Selama itu, Silvia setia menanti sang kekasih menjalankan tugas mulia demi bangsa dan negara.

Cincin pengikat yang melingkar di jari manis kala acara pertunangan, menguatkan keyakinan, mencipta harapan, dia akan kembali.

Demi sebuah tradisi pingitan, Silvia tak menjemput tunangannya di dermaga saat kedatangan para tentara dari negara perang.

Demi sebuah janji yang tersirat pula, tanggal pernikahan telah ditentukan. Seolah tak ingin berlama lagi. Seakan tak mampu menahan gejolak rindu menggebu, dari dua insan yang saling terpaut hati.

Pintu kamarnya terbuka. Hatinya berdetak tak menentu. Setelah sekian lama tak bersua, canggung kembali mendera. Hingga ia bertemu kembali dalam akad suci.

Perlahan, seorang lelaki mendekatinya. Diikuti oleh beberapa orang di belakang yang membawa kamera. Seketika, kamar pengantin seolah menjadi panggung pertunjukan. Bersiap mengabadikan pose skenario cantik.

"Persiapan pengambilan gambar!" Seorang pemegang kamera memberi aba-aba pada tim nya.

"Ok. Siap!" jawab salah satu tim pemegang lampu penerang.

Lelaki itu semakin mendekat. Silvia berdiri dan membalikkan badan, meraih tangan suami di depannya, mencium penuh cinta terpendam.

Tatapan keduanya bertemu. Ada rasa yang tak mampu diungkap. Rasa yang tak bisa terucap. Lidah keduanya kelu. Mereka membisu.

Tangan mereka saling mengait. Berulang kali silvia berusaha menghempas, namun sia-sia belaka. Tubuh mereka kini tak berjarak, sangat dekat. Terasa embusan napas saling menerpa.

Arahan pengambil gambar, membuat Silvia tak berkutik. Sempurna, sesuai skenario mereka.

"Oke, bagus. Hasilnya memuaskan. Kami tinggal dulu," ucap salah satu tim pemotretan.

Tinggallah mereka berdua. Sepasang pengantin yang terikat satu jam yang lalu.  Bersiap menjalani takdir, tanpa dirancang sebelumnya.

Silvia tertunduk lesu di pinggir ranjang. Air matanya tak tertahan lagi. Ia bahkan tak peduli polesan di wajahnya berantakan.

"Apa-apaan semua ini?" tanya Silvia dengan suara parau.

"Sil." Lelaki itu berusaha meraih pundak istrinya. Silvia menepis.

"Mengapa kamu mempermainkanku? Mengapa kamu mempermainkan pernikahan?"

Lelaki di depannya menggeleng. Silvia masih tergugu dengan tangisnya.

"Mengapa kamu yang datang? Mengapa kamu yang hadir? Mengapa kamu?" Rentetan pertanyaan Silvia semakin membuat dirinya hanyut dalam kebodohan. Dia dibodohi. Dia dibohongi.

"Maaf." Suami di depannya hanya mampu berucap satu kata, yang ia sendiri tak merasa bersalah dalam hal ini.

"Mengapa kamu? Mengapa bukan Mas Rey?"

Lelaki itu terdiam, masih di posisi semula.

"Katakan, katakan Al, ini bercanda saja, kan?" Tatapan penuh harap terpancar dari mata sembab, dan maskara yang tak beraturan lagi.

Dia menggeleng, lagi.

"Katakan Alvaro, ini tidak sungguh-sungguh, bukan?" Silvia berharap ini hanya mimpi buruk, yang sesaat lagi dia akan terbangun,  dan meraih mimpi indah.

Alvaro berlutut di depan istrinya. Menangkup tangan yang sedari tadi meremas satu sama lain.

"Mengapa Mas Reynaldi tak menepati janjinya?" tanya Silvia pelan, nyaris tak terdengar.

"Mengapa kalian tega membohongiku? Sandiwara apa ini?" Silvia terus mendesak dengan deretan pertanyaan, yang baginya kejadian ini sulit dicerna akal.

Air mata Silvia kini sempurna membasahi mata lentik nan jelita. Alvaro tak tega melihat keadaan gadis di depannya. Ia berusaha menenangkan, mencoba memberi kehangatan. Namun, Silvia menolak. Ia menepis tangan Alvaro.

"Pergi! Aku ingin sendiri," ucapnya kemudian.

Alvaro mengerti, Silvia sangat terpukul. Reynaldi –abangnya–, dinantinya selama satu setengah tahun, ternyata tak datang di hari pernikahan mereka. Tergantikan olehnya, yang semula hanya calon adik ipar.

Sama terluka, saat ia memutuskan kekasihnya, seketika. Tak ada kesempatan memilih. Ia pun banyak berkorban.

Alvaro memutuskan keluar dari kamar. Ia memberi waktu untuk saling mencerna takdir. Entah, isakan Silvia seolah mengoyak sisi dalam dari dirinya. Ia terluka, tapi tak kuasa melihat luka gadis di depannya.

"Sil." Mamanya menepuk pundak putrinya, pelan. Gadis itu terduduk di bawah, melipat kedua lututnya dengan dua lengan.

"Tamu menunggu pengantin wanita," ucap mamanya lagi.

"Harusnya ... bukan aku pengantin wanita Alvaro. Dan harusnya pula, bukan dia yang jadi suamiku, Ma." Ucapannya pelan, namun mampu menusuk hati terdalam. Bagaimanapun, ia andil dalam masalah ini.

"Nanti, kita bicara, ya," bujuk mamanya. Ia memapah putrinya ke meja rias.

"Tunggu di sini, mama panggilkan periasmu, " ucap mamanya lagi.

"Harusnya, bicarakan pada Silvia, Ma, sebelum ini semua terjadi."

Langkahnya sempat terhenti, rungunya masih mendengar dengan jelas ucapan Silvia, putrinya. Ia hanya menghela napas, kemudian beranjak pergi.

Perias dengan cekatan memoles wajahnya, meskipun diulangi dari awal. Warna-warna di wajahnya berpindah pada tisu yang berserakan di lantai, beberapa menit yang lalu.

Tak butuh waktu lama, riasan itu kembali sempurna. Mama silvia kemudian mengajak menemui tamu wanita, dan mertuanya. Tatapan keduanya bertemu. Silvia tak mampu menyembunyikan air matanya.

"Kau tetap menantuku, bersama Reynaldi ataupun Alvaro," bisik mama Alvaro tepat di telinganya, saat mereka berpelukan.

Ah, sungguh memuakkan bagi Silvia. Ia terpaksa melempar senyum pada tamu yang hadir, walau hatinya tak rela.

Acara berlanjut hingga malam resepsi. Kedua mempelai bersanding di pelaminan. Ucapan selamat diterima keduanya. Tamu undangan tak peduli, atau bahkan tidak tahu jika pengantin pria tidak sesuai dengan nama yang tertera di kartu undangan.

Hingar bingar acara tak meredam gejolak di hati Silvia. Hati Ratu semalam itu tak menikmati suasana bahagia di sekitarnya.

Genggaman tangan Alvaro, semakin kuat, namun tak menyakiti. Entah, dalam hati kecilnya, ia khawatir Silvia beranjak pergi.

Malam semakin larut. Sepasang mata memandang Alvaro dengan penuh rasa iba. Sang Raja merana. Bahkan seolah tak punya nyali masuk ke kamar Ratunya.

Kini, ia harus jalani segala konsekuensi. Berani mengambil resiko setiap langkahnya. Itulah lelaki sejati.

Di lain sisi, ia malah menjadi pecundang yang meninggalkan kekasihnya tanpa alasan yang bisa dibenarkan.

Perlahan, ia masuk kamar impian, bagi sebagian orang tentunya. Namun, bagi mereka, tak lebih dari kamar kepasrahan pada takdir yang digariskan.

Gadis itu meringkuk, di atas kasur. Kelelahan menumpahkan air mata, membuatnya tak ingin sekadar berganti pakaian.

"Sil, gantilah bajumu! Cucilah muka dulu sebelum tidur." Alvaro mencoba membangunkan dengan lembut. Bukan kali ini saja, jauh sebelum rencana pernikahan pagi ini.

Mereka seumuran. Alvaro sangat menyayangi Silvia, sebagai calon kakak iparnya. Abangnya menitipkan gadis itu pada Alvaro. Alvaro menjaganya, bahkan seringkali kekasihnya –Renita– cemburu.

"Duduk sini!" titah Alvaro setelah Silvia mengganti gaunnya.

Silvia duduk di sudut ranjang. Agak jauh dari tempat Alvaro duduk.

"Sil, tanyakanlah! Apa yang mengganjal hatimu."

Silvia terdiam. Ia tampak lelah dan tidak bergairah untuk sekadar berkata.

"Maafkan aku."

"Kemana Mas Rey?"

Alvaro menghela napas panjang. Sesaat, matanya terpejam.

"Dia ... telah tiada." Alvaro menunduk dalam. Dari sudut matanya, ia bisa melihat gadis itu menatapnya, dan kemudian kembali terisak.

"Kenapa tak memberi tahu?"

Alvaro menggeleng.

"Tidak menyelesaikan masalah. Undangan sudah tersebar, bukan?"

"Bisa dibatalkan," ucapan Silvia parau.

"Pernikahan bukan hanya urusan dua insan manusia, tapi pemersatu dua keluarga."

Alvaro melirik sekilas istrinya, kemudian melanjutkan ucapannya, "Memberitahumu saat itu apakah baik untuk kejiwaanmu? Mengapa tidak melanjutkan garis takdir?"

"Kau tak perlu bersusah berkorban untukku," lanjut Silvia lagi.

"Mas Rey menitipkanmu, memintaku menjagamu."

Alvaro mengambil napas dalam-dalam, menghempaskan kencang, sebelum ia melanjutkan ucapannya.

"Anggap saja, aku sedang tidak berkorban untukmu. Aku sedang berkorban untuk Mas Rey, berkorban untuk orang tuaku dan orang tuamu."

Silvia menatapnya lekat.

"Mari kita berdamai dengan takdir. Anggap saja kita masih seperti dulu, berteman baik. Jangan kau anggap aku menggantikan Abangku. Karena, mungkin selamanya tak bisa terganti." Pemilik mata elang itu menatap Silvia tajam.

"Aku tidak akan memaksa apa-apa. Pun tak akan menuntutmu. Bagaimana?"

Alvaro mendekat ke arah Silvia, kemudian mengulurkan tangannya.

"Kita berteman."

Silvia menatap mantan calon adik iparnya. Ia tak percaya, Alvaro setenang itu. Ragu, ia menyambut tangan Alvaro.

Hati lelaki itu sedikit tenang setelah Silvia mau mengerti. Tangan kirinya mengusap mata lentik gadis di depannya.

"Jangan menangis! Janjiku padanya, membuatmu bahagia, walau aku yang harus terluka."

Bersusah payah ia menahan air matanya, sia-sia. Ia tetap menangis. Menangisi kepergian calon suaminya, menangisi kebodohannya,  menangisi orang di depannya, yang ia tahu lebih banyak pengorbanannya.


*****

bang.dot
tata604
lina.wh
lina.wh dan 8 lainnya memberi reputasi
9
1.3K
12
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Komunitas Pilihan