Quote:
Jakarta -
Akulturasi budaya Tionghoa dan Jawa sebagai budaya lokal di Semarang telah berlangsung lama dan menghasilkan harmoni tersendiri di kota itu. Semua itu, kata Harjanto Halim, merupakan proses yang secara terus-menerus diperjuangkan tanpa jeda dan tanpa putus asa.
"Akulturasi akan menghasilkan harmoni bila semua pihak saling membuka diri," kata Harjanto yang juga Ketua Perkumpulan Sosial Boen Hian Tong di Semarang kepada tim Blak-blakan detik.com. Sekalipun demikian, ia melanjutkan, pihak minoritas ada baiknya untuk lebih membuka diri dan bersikap toleran. Rumus tersebut berlaku sama di semua negara.
Karena itu bagi etnis Tionghoa di Indonesia, kata Ketua Komunitas Pecinan Semarang Untuk Pariwisata (Kopi Semawis) itu, tak bisa lagi berlindung di balik trauma masa Orde Baru untuk mempertahankan eksklusifisme dan tertutup. Sebab Orde Baru sudah 20 tahun berlalu, dan iklim reformasi harus diakui lebih demokratis.
"Sekali lagi, bila berkaca ke negara-negara maju pun akulturasi yang harmonis itu harus diperjuangkan bersama-sama. Jangan putus asa," ujar Harjanto Halim.
Dia mengaku sejak awal reformasi berupaya melanjutkan tradisi orang tuanya untuk senantiasa membaur dengan masyarakat lokal. Untuk memperkuat dan memperluas jangkauan dia melakukannya lewat Kopi Semawis. Komunitas ini biasa menggelar perayaan imlek dengan melibatkan masyarakat luas dalam bentuk bazar.
"Kami menutup jalan di Pecinan untuk menggelar bazar dan berbagai pertunjukkan. Peserta dan peminatnya semua masyarakat, bukan cuma dari etnis Tionghoa," kata Harjanto Halim.
Selain itu, Kopi Semawis juga menggelar acara basuh kaki orang tua oleh anak-anak mereka. Peserta untuk mengikuti tradisi yang baru kembali digelar ini juga lumayan banyak.
"Bahkan ada teman saya yang muslimah dan berjilbab ikut acara ini. Banyak orang tua yang menangis mendapat perlakuan semacam itu," ujarnya.
Selain imlek, karena merasa lahir dan besari di lingkungan budaya, pengelola usaha Marimas (produsen minuman segar) itu juga biasa menggelar kenduri setiap malam satu Syuro yang merupakan tradisi Jawa. "Buat saya, saya menikmati kok. Dan menjadi Indonesia itu sebenarnya tidak sulit kok," ujarnya.
Tak cuma itu. Sebagai rasa syukur, terima kasih, dan penghormatan terhadap KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur), bersama masyarakat Semarang setiap tahun menggelar haul untuk Gus Dur.
"Kemarin kami merayakannya antara lain dengan diskusi buku Pecinan di Pecinan karya Tedi Kholiludin," ujarnya.
Selengkapnya, saksikan Blak-blakan bersama Harjanto Halim, "Menjadi Indonesia itu Tidak Sulit", di detik.com, Jumat, 24 Januari 2020.
(jat/jat)
akulturasi
kelompok orang yang rumah ibadahnya dibakar, dan tempat ibadahnya diprotes malah mengatakan bahwa mereka harus lebih toleran
D
Quote:
ingat pepatah dari tuhan orang kafir:
"Orang-orang
ECLAMtidak akan senang kepada kalian sampai kalian mengikuti agama mereka, Surah Al BaqarVihara ayat 120
Tapi setidaknya saya setuju dengan pendapat akulturasi budaya. Karena Indonsia selamat dari radikalisme agama karena akulturasi budaya. Budaya yang ada di Indonesia, terutama budaya Jawa yang berperan penting dalam meredam radikalisme dan ekstrimisme. Ingat kah kalian ada agama yang dulu memerangi budaya pada saat perang padri?
Jika tidak, maka budaya luar akan masuk ke Indonesia dan menggantikan budaya Indonesia yang lama. Dan budaya itulah yang akan menjadi BENCANA bagi NUSANTARA, budaya menjadi bomber bunuh diri demi 72 bidadari.